
©Winda/Bal
“Ting!” Sebuah notifikasi muncul di layar laptop, yang mana menandakan seseorang hendak masuk ke dalam pertemuan daring pagi itu. Segera setelah diberi akses, tampak seorang pria bertopi abu-abu menyapa sembari tersenyum kepada tim BALAIRUNG. Jumat (30-10), melalui ruang pertemuan daring tersebut, kami mulai berbincang hangat dengannya. Ia sejenak mengeluhkan kamera laptopnya yang kurang begitu baik. Wajahnya memang tampak buram di layar kami. “Maaf, kamera saya kurang bagus, soalnya ini laptop lama,” keluhnya.
Ia mengaku sengaja tidak membeli laptop baru karena laptop bekas yang digunakannya masih berfungsi dengan baik. Pria bernama Abdul Ghofar itu menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari salah satu prinsip zero waste yaitu refuse, yang berarti menolak membeli barang yang tidak dibutuhkan. Selain refuse, dalam zero waste, terdapat juga empat prinsip lain, yaitu reduce, reuse, recycle, dan rot. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang menghasilkan sampah. Reuse berarti menggunakan kembali barang yang masih dapat digunakan. Recycle berarti mengolah kembali sampah menjadi barang yang lebih bermanfaat dan Rot yang berarti pembusukan sampah untuk dapat digunakan kembali menjadi pupuk. Kelima unsur tersebut biasanya disingkat menjadi 5R. “Terlepas dari berbagai prinsip tersebut, secara umum, zero waste adalah gaya hidup yang berupaya untuk mengurangi produksi sampah,” terang Ghofar.
Wakil Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) itu menganggap, pada masa pandemi ini, produksi sampah semakin marak karena perilaku konsumtif masyarakat yang semakin meningkat. Penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan adanya peningkatan belanja online di masyarakat selama masa pandemi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya sampah plastik dari jasa antar paket yang meningkat sebesar 62 persen di wilayah Jabodetabek. LIPI menyebutkan bahwa perilaku konsumtif meningkat karena pada masa pandemi, masyarakat diimbau untuk tetap berada di rumah. Akibatnya, banyak masyarakat bergantung pada layanan pesan antar yang sebagian besar produknya dikemas menggunakan plastik, pembungkus gelembung, dan selotip. “Jadi, zero waste adalah salah satu upaya untuk mencegah perilaku konsumtif masyarakat, terutama saat pandemi,” ujar Ghofar.
Perilaku konsumtif sendiri adalah kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli secara tidak terencana. Bagi Faradesi Ardialisa, anggota komunitas Zero Waste Nusantara, perilaku konsumtif adalah sesuatu yang negatif. Ia memaknai perilaku konsumtif sebagai kegiatan membeli suatu barang yang tidak diperlukan. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan prinsip refuse. Fara menganggap bahwa penerapan prinsip refuse akan mengurangi perilaku konsumtif secara signifikan. “Dengan menerapkan gaya hidup zero waste, saya yakin perilaku konsumtif dapat dikurangi,” ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ghofar. Ia menjelaskan bahwa prinsip refuse merupakan pijakan pertama dalam menerapkan gaya hidup zero waste. Pelaku zero waste harus mampu menahan keinginan membeli barang baru, terlebih jika barang tersebut tidak terlalu penting. “Kita menolak membeli barang kalau itu belum dibutuhkan,” tegasnya.
Ghofar menekankan bahwa pada dasarnya, pelaku zero waste sebisa mungkin berusaha untuk memperpanjang usia pakai suatu barang. Hal tersebut dilakukan dengan cara membatasi pembelian barang-barang. Ghofar meyakini bahwa dengan memahami dan menerapkan prinsip ini, tentu akan berdampak pada penurunan perilaku konsumtif bagi pelaku zero waste. Ia mengaku bahwa gaya hidup zero waste yang dijalaninya telah berhasil menurunkan perilaku konsumtif dalam kehidupan sehari-hari. “Kalau dihitung persentase mungkin mengurangi perilaku konsumtif 30—40 persen,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Fara. Ia menjelaskan bahwa gaya hidup zero waste dapat menekan perilaku konsumtif pelakunya apabila dilandasi dengan kesadaran. Fara juga menceritakan pengalamannya yang telah menerapkan gaya hidup zero waste dalam berbelanja. Ia mengaku sering kali memiliki keinginan untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan. Namun, karena kesadaran akan prinsip zero waste, ia mencoba menahan diri untuk tidak membeli barang tersebut. Menurut Fara, hal ini dapat mengurangi perilaku konsumtifnya secara signifikan. “Kalau konsep itu sudah tertanam cukup kuat, sudah pasti mengurangi perilaku konsumtif,” ungkapnya.
Fara juga menambahkan bahwa penurunan perilaku konsumtif tidak hanya dirasakan olehnya, tetapi juga beberapa teman di komunitas Zero Waste Nusantara. Mereka berusaha mengurangi pembelian bahan makanan, seperti makanan anak-anak dan minyak goreng kemasan. Selain mengurangi sampah plastik, hal tersebut juga dapat mengurangi potensi sampah yang berasal dari makanan karena penggunaan bahan makanan yang berlebihan. “Kalau penggunaan bahannya berkurang, dia jadi lebih irit belanjanya,” sambung Fara.
Akan tetapi, gaya hidup zero waste masih memiliki persoalan yang perlu dipikirkan kembali. Dilansir dari laman The Jakarta Post, tren gerakan zero waste justru memicu pegiatnya untuk bersikap konsumtif. Orang-orang tergerak untuk membeli barang berlabel ramah lingkungan hanya untuk menunjukkan bahwa mereka telah menerapkan gaya hidup ini. Bahkan, barang-barang yang sebenarnya masih layak pakai diganti dengan yang dirasa lebih ramah lingkungan. Contohnya terlihat pada penggunaan botol minuman, tas belanja, serta peralatan makan dan sedotan berbahan stainless steel yang tengah marak di masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Ghofar menyatakan tak setuju. Ia menekankan bahwa barang ramah lingkungan itu dapat digunakan secara berulang-ulang, yang mana sejalan dengan prinsip reuse. “Kalau dihitung, lebih murah daripada beli barang sekali pakai,” tambahnya. Senada dengan Ghofar, Fara menilai adanya kesalahpahaman dalam memaknai zero waste. Fara menambahkan bahwa pembelian barang ramah lingkungan bukanlah sebuah keharusan dalam menerapkan zero waste. Sebab, menurutnya, zero waste justru mengajak untuk menggunakan barang yang masih layak pakai, bukan membeli barang baru.
Sementara itu, Arif Kusumawanto, Dosen Arsitektur Fakultas Teknik UGM, berpendapat bahwa zero waste merupakan gaya hidup yang visioner dan baik untuk kedepannya. Ia menggambarkan zero waste seperti proses pembuatan pupuk dari kotoran hewan ternak, yang mana kotoran tersebut tidak semata-mata dibuang, tetapi dimanfaatkan. Serupa dengan itu, zero waste mengubah sampah menjadi sesuatu yang bisa dimanfaatkan. “Zero waste itu membeli barang seoptimal mungkin sehingga kegiatan kita bisa terlaksana sebaik mungkin,” jelasnya.
Perbincangan kami ditutup pada siang hari bersama Arif. Dengan wajah yang penuh keyakinan, mata yang menatap tajam ke arah kamera, disampaikannya secarik pesan untuk semua insan. Ia menyampaikan bahwa sampah adalah masalah yang besar dan dibutuhkan tindakan yang besar pula untuk menanganinya. Berkaitan dengan hal tersebut, ia meyakini bahwa zero waste dapat menyelesaikan permasalahan sampah. Dengan demikian, menurutnya, zero waste dapat diturunkan ke generasi berikutnya untuk membuat bumi menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. “Semua bermuara pada kehidupan manusia yang lebih baik, sekarang, dan pada waktu yang akan datang,” pungkasnya.
Penulis: Endah Anifatusshalikah, Valentino Yovenky Ardi Bentarangga, Widiatri Kharisma (magang)
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati (Magang)