Pembicaraan tentang pandemi menjadi perbincangan yang membosankan dan seolah tak ada henti-hentinya. Hal ini dikarenakan dampak yang diakibatkan dari pandemi COVID-19 sangatlah luas hingga ke sektor-sektor paling mendasar dalam kehidupan masyarakat, sehingga pembicaraan tentang topik tersebut tidak dapat dihindari serta terus menjadi relevan. Sektor pendidikan menjadi satu dari banyak sektor primer masyarakat yang berubah secara signifikan praktiknya sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Agar dapat beradaptasi dengan situasi yang tidak memperbolehkan adanya kerumunan manusia, pembelajaran jarak jauh berbasis daring dinilai sebagai solusi sementara untuk melakukan proses belajar mengajar.
Pemberlakuan pembelajaran jarak jauh di Indonesia mendorong revolusi pendidikan di Indonesia yang berbasis teknologi. Kesetaraan, mandiri dan inklusivitas dalam pengaksesan pendidikan yang menjadi komponen metode pembelajaran jarak jauh sejalan dengan maksud gagasan Merdeka Belajar yang diusung oleh Menteri Pendidikan Indonesia (Abidah, 2020). Jika melihat ketersinggungan antara potensi gaya belajar baru serta infrastruktur teknologi yang tengah dikembangkan sekarang, apakah pendidikan di Indonesia akan mengalami perombakan dalam praktiknya pasca pandemi? Serta bagaimana ketiadaan hambatan berupa ruang geografis dapat berdampak pada fenomena rural rebound dan pemerataan teknologi di desa? Ulasan selanjutnya akan membahas kedua pertanyaan-pertanyaan tersebut secara mendalam.
Sintesis Sistem Daring-Luring Pasca Pandemi
Kedatangan pandemi COVID-19 pada awal tahun 2020 tentu menjadi hal yang tak terduga. Semua sektor di dalam kehidupan berbondong-bondong mencari alternatif untuk terus berjalan seperti biasa, mencoba berbagai macam cara untuk beradaptasi dengan situasi di tengah pandemi COVID-19 yang hadir pada awal tahun 2020, tidak terkecuali pada sektor pendidikan. Di Indonesia setidaknya ada sekitar 68 juta peserta didik termasuk didalamnya mahasiswa perguruan tinggi terkena dampak dari pandemi COVID-19 (Abidah, 2020).
Selama beberapa bulan terakhir sejak diberlakukannya pembelajaran jarak jauh kepada seluruh institusi pendidikan termasuk universitas, selama itu juga pendidikan di Indonesia terdorong secara paksa menuju revolusi pendidikan di era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Pendidikan di era revolusi industri 4.0 peserta didik mampu untuk berpikir kritis, mampu memecahkan masalah secara inovatif dan kreatif, serta keterampilan komunikasi dan kolaborasi. Sedangkan, masyarakat 5.0 merupakan sebuah konsep masyarakat yang berbasis teknologi, sehingga didalam pendidikan adanya pemanfaatan IoT (Internet of Things), pemanfaatan virtual atau augmented reality dan yang terakhir pemanfaatan AI (Artificial Intelligence) (Nastiti, 2020).
Perpindahan besar-besaran kelas tatap muka ke aplikasi ruang konferensi daring seperti Zoom Meeting, Google Meeting, Cisco Webex, bahkan Youtube Livestream membuat pendidikan tinggi Indonesia membawa Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat selangkah lebih inovatif seperti adanya kelas lintas prodi dan kampus, RECON (Relawan COVID-19), hingga KKN Tematik COVID-19 dilakukan guna melaksanakan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi selama masa pandemi (Rustandi, 2020). Pandemi COVID-19 mengharuskan individu untuk melakukan pembatasan berinteraksi sosial, sehingga pembangunan infrastruktur daring yang selama ini terhambat, tanpa diduga dipaksa untuk mengejar ketertinggalan agar kebijakan baru berupa sistem pembelajaran jarak jauh dari tempat tinggal masing-masing mahasiswa dapat berjalan sesuai apa yang diharapkan—merata serta substantif. Selain pemerintah yang diharuskan untuk berbenah, mahasiswa-mahasiswa secara individu juga diharapkan untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan belajar daring yang mendorong mahasiswa untuk lebih komunikatif dan fleksibel.
Reproduksi teknologi bersamaan dengan adanya pemberlakukan pembelajaran jarak jauh menjadi salah satu poin menuju tercapainya gagasan Merdeka Belajar pada sistem pendidikan Indonesia yang digagaskan oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Nadiem Makarim. Merdeka belajar berarti adanya kebebasan dalam belajar kepada setiap peserta didik, memberikan kesempatan untuk belajar secara bebas, nyaman, serta bahagia (Abidah, 2020). Perluasan penggunaan internet berpotensi dapat membuat sistem pendidikan lebih fleksibel, kemudian dapat menutup kesenjangan terhadap aksesibilitas pengetahuan, meningkatkan terciptanya berbagai ilmu interdisipliner, meningkatkan terjadinya kolaborasi antar universitas dan mahasiswa memiliki kebebasan untuk mengeksplor dirinya diluar kelas yang wajib dijalankan (Privateer, 1999). Revolusi pendidikan bersamaan dengan teknologi juga berdampak pada tenaga pendidik, tenaga pendidik yang lebih baik dari segi pengalaman dan kemampuan dari kota-kota besar dapat menjangkau daerah-daerah yang kesulitan untuk mendapatkan tenaga pendidik profesional (Jacob, 2016).
Pembaharuan terhadap sistem pendidikan di Indonesia seperti perpindahan ruang kelas di area daring kemudian memantik sebuah pertanyaan penting, apakah setelah pandemi berakhir akan ada bentuk sintesis, semacam penggabungan antara sistem daring dan luring? Dilihat dari rekam jejak sepanjang delapan bulan ini, bukan tidak mungkin sistem pendidikan di Indonesia akan terus menerapkan pendidikan dengan menggunakan teknologi seperti saat pandemi sedang berlangsung. Berdasarkan data riset Hootsuite yang dilakukan pada awal tahun, penetrasi internet di Indonesia mencapai 64% dari jumlah penduduk Indonesia, angka ini naik sebesar 17% dari tahun sebelumnya (Ludwianto, 2020). Selain itu, para mahasiswa dan tenaga pendidik yang terpaksa menggunakan internet sebagai alat perantara pembelajaran selama pandemi akan lebih bisa beradaptasi jika kedepannya harus melakukan hal yang sama. Maka dari itu, posibilitas sintesis metode daring dan luring dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi Indonesia pasca pandemi sangat tinggi.
Selama hampir satu tahun, mahasiswa dan dosen secara terus-menerus menggunakan ruang konferensi daring sebagai pengganti kelas tatap muka mereka. Digitalisasi berbagai kegiatan selama pandemi mulai dari sistem pengumpulan tugas, penyelenggaraan ujian, diselenggarakannya seminar-seminar antar kampus hingga pelaksanaan upacara kelulusan mahasiswa secara daring membuat bayangan tentang kembalinya keadaan ke status quo yang mengandalkan ruang-ruang kelas konvensional menjadi asing dan jauh.
Saat nantinya kelas-kelas kembali dibuka, universitas telah memiliki berbagai macam perangkat dan teknologi yang digunakan selama pandemi tentu tidak ingin menyia-nyiakan teknologi tersebut. Pilihan terhadap media ruang kelas dapat menjadi penawaran yang menarik. Kelas dapat dilakukan dengan dua cara sekaligus, tatap langsung atau secara daring melalui live streaming disaat yang bersamaan. Ruang diskusi yang biasanya memiliki batasan hanya didalam ruang kelas saja, kemungkinan pada dunia pendidikan pasca-pandemi menjadi tak terbatas lagi. Diskusi kelas yang belum selesai dapat dilanjutkan pada diskusi khusus diluar kelas dengan membuat diskusi virtual, memanggil seseorang ahli untuk memperluas lagi ide diskusi yang sebelumnya dibicarakan sehingga akan tercipta kelas dengan interaksi yang dinamis. Pilihan atas bentuk sintesis kelas daring-luring pasca pandemi juga dapat membebaskan mahasiswa dari beban untuk datang ke kelas tatap muka karena pemberian materi, pengumpulan tugas, diskusi, bahkan ujian dapat dilakukan secara daring. Hal-hal tersebut membuat sistem pendidikan dan cara kerja baik mahasiswa dan dosen menjadi lebih ringkas.
Sistem pendidikan yang diberlakukan bersamaan dengan reproduksi teknologi dapat membuat pendidikan lebih inklusif, menyebar ke seluruh lapisan masyarakat tanpa batas ruang dan waktu. Anggapan adanya bentuk sintesis di dalam sistem pendidikan di Indonesia juga dapat menjadi bentuk nyata terhadap revolusi pendidikan Indonesia yang mudah untuk dijangkau. Satu hal yang dapat menjadi pendorong dalam terwujudnya inklusivitas pendidikan selama masa pandemi ini adalah terjadinya gerakan rural rebound.
Fenomena Rural Rebound serta Dampaknya pada Pemerataan Akses Pendidikan
Berdasarkan definisi dari Kenneth Johnson, Rural rebound adalah mengacu pada perpindahan populasi dari wilayah urban atau perkotaan ke daerah rural atau pedesaan (bisa juga diartikan sebagai pinggiran kota) (Johnson, 1998). Urbanisasi cenderung terjadi seiring dengan modernisasi, namun di kebanyakan negara maju banyak kota yang sekarang mulai kehilangan populasi. Tren untuk berpindah ke lingkungan yang iramanya lambat serta tenang mengalami lonjakan di negara-negara yang telah memiliki infrastruktur yang memungkinkan untuk bekerja secara remote atau daring (Johnson, 1998). Tren ini telah dimulai sejak pasca Perang Dunia II ketika fenomena suburbanization terjadi, tetapi konteksnya saat itu adalah alat transportasi seperti mobil memungkinkan seseorang yang bekerja di kota untuk bertempat tinggal di desa (Browner, 2013). Penggerak tren saat ini adalah tersedianya metode daring yang memungkinkan aktivitas pekerjaan berada sepenuhnya di cloud internet.
Tidak hanya faktor jarak tempat kerja ke tempat tinggal, infrastruktur di desa dan pinggiran kota juga menjadi konsiderasi perpindahan masyarakat urban ke tempat tinggal yang lebih tenang. Awal dari tren retribusi populasi ini terjadi sekitar pada dekade pasca-Perang Vietnam hingga akhir dekade 90-an di Amerika Serikat. Pada saat itu tingkat pertumbuhan di negara bagian Amerika relatif tinggi dan stabil di wilayah desa. Perpindahan dan repopulasi pada daerah pedesaan di Amerika menjadi suatu tren retribusi populasi yang terjadi pada paruh terakhir abad ke-20 (Johnson, 2005). Hal ini menjadi cerminan dari pemulihan di wilayah pedesaan di Amerika Serikat. Negara-negara Skandinavia juga telah melihat persebaran populasinya mulai bergerak merata seiring dengan perpindahan masyarakat metropolitan ke area pedesaan, sehingga rasio urban dan rural berubah setiap tahun (Adamiak, 2017).
Apa yang dialami Amerika Serikat antara tahun 1970 dan 1998 adalah fenomena “dekonsentrasi” —yang mana individu secara bertahap berpindah dari tempat yang lebih padat ke tempat yang lebih sedikit penduduknya (Johnson, 1998). Ini adalah rebound, bukan reversal atau kembalinya individu yang sama ke tempat yang telah ditinggali sebelumnya. Masyarakat Amerika Serikat yang pindah ke area rural tidak “kembali” ke kehidupan bertani dan bercocok tanam. Mereka menggunakan teknologi yang sama canggihnya ketika hidup dan bekerja di kota, serta logika ekonomi menganggap ruang bukan lagi hambatan untuk bekerja secara efektif. Singkatnya, orang-orang ini adalah individu modern yang memilih untuk hidup secara sederhana karena mempunyai pilihan bekerja di tempat manapun yang mereka inginkan.
Konsep ini menjadi menarik ketika pandemi COVID 19 mulai menyeruak, tiba-tiba saja bekerja secara remote bukan lagi menjadi sebuah opsi melainkan sebuah keharusan. Hambatan geografis seperti jarak dari rumah tinggal ke tempat kerja menjadi hilang, sekarang semua orang yang memiliki teknologi yang mumpuni mempunyai kemungkinan yang sama—ruang kerja dan tentu saja, pendidikan dan akses informasi menjadi inklusif. Currency terhadap akses pendidikan dan pekerjaan bukan lokasi, melainkan teknologi. Sistem kerja saat pandemi kemungkinan akan tidak hilang sepenuhnya, remote working akan dijadikan sistem tetap yang menguntungkan perusahaan karena mereka tidak lagi harus memusingkan diri dengan biaya pemeliharaan gedung. Pada intinya, budaya kerja seperti ini akan pasti dijadikan opsi yang menguntungkan, sehingga akan meluas praktiknya.
Pada masa awal pandemi COVID-19 di Indonesia terjadi pergolakan pelaksanaan mudik masyarakat yang berasal dari kota-kota besar menuju kampung halaman mereka. Kegiatan mudik ini sudah jelas dilarang, tercantum pada PP No.21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 pada tanggal 31 Maret 2020 (Ihsanuddin dan Hakim, 2020). Namun, pelarangan ini dianggap terlambat oleh pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio. Sebelum dikeluarkannya PP No. 21 tahun 2020 tersebut, sudah banyak terjadi mudik prematur yang dilakukan oleh para pekerja sektor informal dan para mahasiswa yang bersekolah di kota-kota besar. Setidaknya tercatat 876 armada bus antar provinsi yang membawa kurang lebih 14 ribu penumpang dari kota-kota besar di Jawa (Rosana, 2020).
Pemudik prematur ini bagaikan gelombang pertama dari gerakan rural rebound di Indonesia. Perpindahan penduduk secara paksa selama pandemi COVID-19 ini tentu menjadi harapan optimis bagi pemulihan dan pembangunan daerah pedesaan di Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang meminta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy untuk mengantisipasi fenomena ruralisasi yang terjadi selama pandemi (Nurrohman, 2020). Perpindahan individu-individu metropolitan yang secara terpaksa membawa “kultur” mereka ke desa ini akan mengubah kontur kultur akses teknologi desa. Banyak pihak akan dipaksa dan memaksa diri untuk dapat menyamakan ritme dengan penghuni-penghuni baru desa yang berasal dari wilayah urban.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo beserta jajaran menterinya terus memberikan kebijakan-kebijakan yang dirasa dapat membantu, mengatasi, dan menghadapi kesulitan selama masa pandemi COVID-19 bersama masyarakat terutama didalam bidang kesehatan, ekonomi, serta teknologi dan pendidikan. Pada bidang pendidikan, Menteri Pendidikan Indonesia Nadiem Makarim telah mengeluarkan berbagai kebijakan baru seperti; alokasi dana pendidikan, keringanan UKT kepada mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, memberikan bantu distribusi kuota internet sebesar 50 GB kepada seluruh mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri serta membuat kurikulum darurat berupa ringkasan kurikulum nasional dengan hanya menuntaskan hal-hal esensialnya saja (Kurniawan, 2020).
Kemajuan daerah desa yang bersinggungan dengan adanya penetrasi teknologi yang merebak di wilayah Indonesia selama masa pandemi COVID-19 tentu menjadi pandangan optimis bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam perbincangan bersama Media Indonesia yang dilaksanakan pada 5 November 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh secara daring ini membuatnya optimis terhadap pendidikan Indonesia akan semakin maju, efisien dan lebih merdeka di masa depan. Beliau juga menyatakan bahwa berkat pandemi COVID-19 ini model pembelajaran mengalami akselerasi secara cepat akibat keterpaksaan mengkolaborasikan pendidikan dengan teknologi (Rustandi, 2020).
Sejatinya, perpindahan individu-individu metropolitan yang membawa “kultur” mereka ke desa ini akan mengubah kontur kultur akses teknologi desa. Para pendatang baru yang terdiri dari banyak pensiunan dan profesional yang ingin tidak lagi melihat urgensi tinggal di pemukiman padat wilayah urban; jika dapat tinggal di lingkungan tenang dengan tingkat teknologi yang sama, mengapa harus repot-repot tinggal di kota? Presiden Jokowi dalam rilis persnya pada 24 September 2020 mengatakan, “Kemerosotan ekonomi yang dialami negara saat ini yang mengakibatkan akhirnya memaksa banyak orang kembali ke kampung halaman untuk bertahan hidup. Ketika krisis ekonomi terjadi di perkotaan, desa akhirnya menjadi buffer zone saat ruralization terjadi.” (The Jakarta Post, 2020). Namun, adakah usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut? Jika diteruskan, dampaknya akan seperti apa?
Usaha-usaha pemerintah maupun swasta di desa untuk “memodernisasi” desa secara teknologi sudah getol dilakukan dengan banyaknya program-program bantuan yang bertujuan untuk memudahkan murid-murid di desa dalam pengaksesan pendidikan secara daring. Pemerintah melalui Program Keluarga Harapan (PKH) telah diinstruksikan oleh Presiden Jokowi untuk mendistribusikan 13.8 triliun rupiah kepada komunitas-komunitas desa agar siap menghadapi tantangan COVID-19, termasuk dalam penyediaan sarana prasarana teknologi. Langkah-langkah ini termasuk pembagian 50 GB bantuan kuota secara cuma-cuma (The Jakarta Post, 2020).
Tentu saja langkah-langkah ini dilakukan dalam konteks darurat pandemi, namun tidak menutup kemungkinan meluasnya penggunaan teknologi akan menjadi sebuah titik baru di sistem pendidikan dimana murid-murid di kantong-kantong terjauh dapat mengakses informasi dengan kualitas dan kuantitas yang sama asalkan mempunyai teknologi yang diperlukan. Perubahan yang awalnya hanya menjadi solusi sementara karena adanya pandemi, dapat menjadi blessing in disguise bagi komunitas rural yang dari dulu haus akan akses informasi, teknologi, dan pendidikan yang merata.
Kesimpulan
Selama masa pandemi COVID-19 berlangsung, semua sektor di dalam kehidupan mencari alternatif agar bisa beradaptasi di tengah kekacauan pandemi. Salah satu sektor yang terdampak paling besar adalah pendidikan. Selama berlangsungnya pandemi, pendidikan di Indonesia secara terpaksa merubah sistemnya berkolaborasi bersama teknologi. Penggunaan teknologi dalam pendidikan menjadi satu poin terhadap revolusi pendidikan di Indonesia. Perpindahan kelas-kelas dalam ruang konferensi online menjadi suatu bentuk adaptasi sekaligus revolusi bagi sistem pendidikan di Indonesia. Perubahan sistem ini memungkinkan terjadinya sintesis dalam pendidikan di Indonesia khususnya perguruan tinggi.
Kemungkinan terjadinya sintesis dalam sistem pendidikan di Indonesia secara luas dapat dilihat dari aktivitas rural rebound atau perpindahan penduduk urban ke wilayah sub-urban dikarenakan sebuah cultural shift dengan konteks ketiadaan halangan geografis dalam melakukan pekerjaan maupun mengakses pendidikan di informasi. Infrastruktur teknologi di desa yang mengalami ketertinggalan akhirnya dipaksa untuk berbenah diri, akhirnya dapat menjadi langkah revolusioner dalam pemerataan akses teknologi di desa.
Tentu saja hal tersebut merupakan proyeksi yang terdengar utopis, namun tidak dapat dipungkiri variabel seperti sintesis sistem luring-daring dalam sistem pendidikan serta usaha pemerataan teknologi hingga ke pedesaan dapat merombak dinamika dunia pembelajaran pasca pandemi COVID-19 untuk menjadi lebih inklusif dan terjangkau oleh masyarakat marjinal. Saat akses informasi tidak lagi dihambat oleh letak geografis serta kepemilikan alat teknologi, belajar menjadi proses untuk siapa saja serta dapat dilakukan dimana saja.
Referensi
Abidah, A., Hidaayatullaah, H. N., Simamora, R. M., Fehabutar, D., & Mutakinati, L. (2020). TheImpact of Covid-19 to Indonesian Education and Its Relation to the Philosophy of “Merdeka Belajar.” Studies in Philosophy of Science and Education, 1(1), 38–49. https://doi.org/10.46627/sipose.v1i1.9
Adamiak, C., Pitkänen, K. & Lehtonen, O. Seasonal residence and counterurbanization: the role of second homes in population redistribution in Finland. (2017). GeoJournal 82, 1035–1050. https://doi.org/10.1007/s10708-016-9727-x
Browner, S. (2013). The Post-World War II Suburb in the United States. Trinity serial publications, 23(78), 1. http://digitalrepository.trincoll.edu/fypapers/46.
Evan, M., Sheila, E., & Jon, C. (2000). Unintended Benefits of Distance-Education Technology for Traditional Classroom Teaching Author ( s ): Mark Evan Edwards , Sheila Cordray and Jon Dorbolo Source : Teaching Sociology , Vol . 28 , No . 4 ( Oct ., 2000 ), pp . 386-391 Published by : American. 28(4), 386–391.
Jacob, B., Berger, D., Hart, C., & Loeb, S. (2016). Can technology help promote equality of educational opportunities? Rsf, 2(5), 242–271. https://doi.org/10.7758/rsf.2016.2.5.12
Johnson, K., & Beale, C. (1998). The Rural Rebound. The Wilson Quarterly (1976-), 22(2), 16-27. doi:10.2307/40259736
Johnson, K., Nucci, A., & Long, L. (2005). Population Trends in Metropolitan and Nonmetropolitan America: Selective Deconcentration and the Rural Rebound. Population
Kurniawan, Alek. (2020, 5 Oktober). Menilik Arah Kebijakan Kemendikbud Hadapi Persoalan Pendidikan di Masa Pandemi. Diakses pada 11 November 2020. Dari https://edukasi.kompas.com/read/2020/10/05/185700871/menilik-arah-kebijakan-kemendikbud-hadapi-persoalan-pendidikan-di-masa
Ludwianto, Bianda. (2020, 21 Februari). Riset: 64% Penduduk Indonesia Sudah Pakai Internet. Kumparan. Diakses pada 6 November, 2020 dari https://kumparan.com/kumparantech/riset-64-penduduk-indonesia-sudah-pakai-internet.
Nurrohman, Muh (2020, 24 September). Jokowi Minta Menko PMK Antisipasi Fenomena Ruralisasi. Diakses pada 10 November 2020. Dari http://daulat.co/jokowi-minta-menko-pmk-antisipasi-fenomena-ruralisasi/
Privateer, P. (1999). Academic Technology and the Future of Higher Education: Strategic Paths Taken and Not Taken. The Journal of Higher Education, 70(1), 60-79. doi:10.2307/2649118
Research and Policy Review, 24(5), 527-542. Retrieved November 11, 2020, from http://www.jstor.org/stable/40230921
Rustandi, Dwi. (2020, 22 Oktober). Dirjen Dikti: Tri Dharma Perguruan Tinggi Tidak Berhenti Meski Pandemi COVID-19. Diakses pada 11 November 2020. Dari https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kabar/dirjen-dikti-tri-dharma-perguruan-tinggi-tidak-berhenti-meski-pandemi-covid-19/
Rosana, Francisca C. (2020, 22 April). Larangan Mudik, Terlambat atau Terbit di Waktu yang Tepat. Diakses pada 10 November 1010. Dari https://fokus.tempo.co/read/1334386/larangan-mudik-terlambat-atau-terbit-di-waktu-yang-tepat
The Jakarta Post. (2020, September 24). COVID-19 must serve as turning point for village economy: Jokowi . https://www.thejakartapost.com/news/2020/09/24/covid-19-must-serve-as-turning-point-for-village-economy-jokowi.html
Penulis: Elsya Dewi Arifah dan Refina Anjani Puspita (Magang)
Penyunting: Jessica Syafaq Muthmaina
Ilustrator: Labiqa Haniya (Magang)