Sabtu (24-10), Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Universitas Andalas mengadakan webinar seri keempat yang bertajuk “Harapan dan Kesiapan Masyarakat untuk Vaksin COVID-19”. Diskusi ini dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan tiga narasumber, yakni Wiku Adisasmito selaku Ketua Tim dan Juru Bicara Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Neni Nurainy selaku Project Senior Integration Manager Research and Development PT Bio Farma, dan Achmad Yurianto selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Webinar diadakan untuk merespons pembicaraan vaksin yang semakin hangat dan memahami lebih baik fungsi vaksin yang nantinya beredar.
Wiku membuka diskusi dengan membahas pemetaan situasi COVID-19 di Indonesia. Ia memperlihatkan sebuah grafik yang menunjukkan penurunan persentase kasus aktif seiring dengan berjalannya waktu. Meskipun begitu, Wiku menjelaskan bahwa kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan membuat penanganan COVID-19 dan pemerataan tes susah untuk dilakukan. Wiku juga menambahkan bahwa kota-kota besar merupakan penyumbang terbanyak kasus COVID-19 karena mobilitas penduduknya. Ia menyatakan bahwa hanya dua belas kabupaten atau kota yang mempunyai jumlah kasus lebih dari 1000. “Jadi jangan mengatakan bahwa seluruh Indonesia ini banyak kasusnya,” jelasnya.
Wiku berharap penanganan COVID-19 di Indonesia tidak dibandingkan dengan negara kecil di dunia. Agar apple to apple, ia memaparkan perbandingan harus dilakukan per satu juta penduduk negara lain. Menurutnya, kunci melawan COVID-19 adalah kedisiplinan individu dan perubahan perilaku secara kolektif untuk mencegah virus masuk. Wiku mengatakan bahwa, meskipun pendekatan kuratif tetap diperlukan, tetapi penumpukan jumlah pasien COVID-19 perlu dicegah. “Pendekatan preventif jauh lebih penting daripada kuratif,” pungkasnya.
Narasumber kedua, Neny Nurainy, menuturkan bahwa masih banyak keraguan di masyarakat, yang mempercayai pandemi sebagai konspirasi. Neny menjelaskan, bahwa COVID-19 sebenarnya telah diprioritaskan World Health Organization (WHO) seperti halnya Ebola, MERS, dan penyakit pandemi lainnya. Selain itu, ia menegaskan perlunya belajar dari pengalaman sejarah pandemi di masa lampau. Ia memaparkan, kalau kejadian ini berulang, berarti kita harus punya kesiapsiagaan terhadap pandemi di masa yang akan datang. Ia menyarankan agar investasi di Indonesia tidak hanya diarahkan pada ketahanan militer tetapi juga ketahanan terhadap wabah. “Harus juga diberikan kepada penelitian-penelitian terkait pengembangan vaksin untuk mencegah pandemi,” lanjut Neny.
Neny Nuraini menjelaskan, pengembangan vaksin merupakan suatu proses kompleks untuk mendapatkan vaksin yang aman, menghasilkan antibodi, dan efektif. Menurutnya, tantangan pengembangan vaksin untuk pandemi terdiri atas kecepatan produksi dalam waktu singkat dan biaya yang cukup tinggi. Ia juga menjelaskan alasan pengembangan vaksin saat ini cenderung cepat, yaitu karena sudah ada pengalaman vaksin corona sebelumnya (Sars-1,MERS), teknologi platform vaccine, proses yang paralel (terutama dalam uji klinis), global effort, dan relaksasi regulasi.
Ahmad Yurianto melanjutkan diskusi mengenai implementasi vaksin, permasalahan, tantangan, dan persiapannya. Ia menjelaskan bahwa protokol kesehatan untuk mencegah paparan COVID-19 termasuk ke dalam primary prevention. Sementara itu, vaksinasi untuk mencegah sakit adalah secondary prevention. Ia menegaskan bahwa keberadaan vaksin seharusnya tidak memberikan kesan “selamat tinggal pandemi”. Oleh karena itu, ia meminta masyarakat untuk memperbaiki ekspektasi terhadap vaksin. Meskipun demikian, ia menambahkan, “Masyarakat tidak seharusnya membangun pesimisme.” Sebaliknya, ia meminta masyarakat untuk membangun realisme dalam cara berpikir.
Menurut Yuri, tujuan pemberian imunisasi vaksin COVID-19 kepada masyarakat antara lain, sebagai proteksi spesifik individu yang diimunisasi, membentuk kekebalan kelompok (herd immunity), dan proteksi lintas kelompok (cross protection). Namun, Yuri mengingatkan, bahwa proteksi spesifik individu bukan berarti memutuskan rantai penularan, melainkan mencegah masyarakat menjadi sumber penularan. Ia menambahkan, “Kalau terbentuk kekebalan komunitas dan kelompok, maka virus yang sudah berada di luar ini akan bingung mau ke mana.” Ia meyakini, jika eksistensi COVID-19 di Indonesia berhenti menimbulkan penyakit di berbagai tempat, maka secara perlahan menghilang.
Yuri meyakini bahwa kesadaran masyarakat terhadap vaksin COVID-19 sudah ada. Namun, sikap masyarakat harus lebih dibangun. “Kita semua agent of change, paling tidak untuk keluarga kita, alhamdulillah kalau untuk lingkungan kita,” tutup Yuri dalam webinar.
Penulis: Najua Febrian Rachmawati, Kartika Situmorang, Aldyth Nelwan Airlangga (Magang)
Penyunting: Tariq Fitria Aziz
Fotografer: Vito Darian Putra Purnama (Magang)