Kamis (23-10), sejumlah jajaran pimpinan UGM melakukan audiensi dengan perwakilan mahasiswa UGM sebagai tindak lanjut dari respons Aliansi Mahasiswa UGM terhadap tiga persoalan. Pertama, imbauan Kemendikbud RI dan Rektor UGM kepada mahasiswa untuk tidak melakukan aksi demonstrasi. Kedua, pernyataan dukungan rektor UGM terhadap pengesahan UU Ciptaker. Ketiga, pembunuhan karakter kepada salah satu mahasiswa UGM.
Pertemuan yang digelar di Ruang Sidang Pimpinan Gedung Pusat UGM ini dihadiri oleh Panut Mulyono, Rektor UGM; Suharyadi, Direktur Kemahasiswaan UGM; Arif Nurcahyo, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PK3L); Iva Ariani, Kabag Humas dan Protokol UGM; serta Djagal Wiseso Marseno, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UGM. Mereka menemui sejumlah perwakilan mahasiswa yang terdiri dari Sulthan Farras, Ketua BEM UGM dan beberapa perwakilan Aliansi Mahasiswa UGM.
Dalam audiensi tersebut, Aliansi Mahasiswa UGM membawa Kertas Posisi yang berisi empat poin pernyataan sikap. Pertama, mereka menuntut Rektor UGM untuk mencabut imbauan larangan mahasiswa UGM mengikuti aksi demonstrasi terhadap pengesahan UU Ciptaker. Menanggapi hal tersebut, Panut menyampaikan bahwa dirinya tidak pernah melarang, melainkan mengimbau mahasiswa untuk tidak melakukan aksi. Sebab, dia khawatir akan muncul klaster penularan baru COVID-19 yang berasal dari kerumunan massa aksi. “Jadi kalau misalnya adik-adik menuruti imbauan ya alhamdulillah, tapi kalau ada apa-apa di jalan ya nggak apa-apa, tidak bisa menuntut saya,” imbuhnya. Menurut Panut, imbauan bersifat tidak mengikat, sehingga dilaksanakan atau tidaknya tergantung para mahasiswa.
Kedua, Aliansi mengecam pernyataan dukungan Rektor UGM terhadap pengesahan UU Ciptaker yang tidak mempunyai dasar akademis yang jelas. Panut membantah bahwa dirinya menyatakan dukungan. “Tidak ada kata-kata dukungan, adanya kata-kata apresiasi untuk niat baik pemerintah,” ujarnya. Dia menjelaskan bahwa konteks apresiasi tersebut ditujukan atas niat baik pemerintah dalam upaya membuka lapangan kerja baru. Dia menilai upaya tersebut sebagai solusi atas meningkatnya angka kelulusan dan PHK yang tidak terserap di lapangan kerja. Perihal isi konten dan prosesnya, dia mempersilahkan mahasiswa untuk mengkaji lebih lanjut melalui peraturan yang berlaku. Menurut Panut, masih ada kesempatan bagi akademisi untuk memberikan masukan dalam PP dan Perpres yang akan dibuat untuk implementasi UU Ciptaker.
Ketiga, Aliansi Mahasiswa UGM mendorong penyelenggaraan forum ilmiah terbuka yang diikuti oleh akademisi UGM untuk menentukan sikap UGM dalam pengesahan UU Ciptaker. Panut menyetujui usulan tersebut. Menurut dia, pro dan kontra terhadap UU Ciptaker juga terjadi dalam skala nasional. “Banyak ahli hukum di Indonesia yang pro, namun yang kontra pun juga banyak, terutama terkait proses,” ucap Panut.
Senada dengan Panut, Djagal menuturkan bahwa UGM sebagai lembaga akademis mempunyai marwah untuk menggelar forum tersebut. Dia menyarankan agar BEM KM UGM bisa mendesain diskusi ilmiah tentang UU Ciptaker. “Monggo, kalau mahasiswa mau menyelenggarakan, melalui forum itulah kita beradu argumentasi di mimbar akademis,” kata Djagal.
Menanggapi Djagal, Sulthan justru mendorong agar penyelenggaraan forum diskusi ilmiah dicetuskan oleh pihak kampus UGM. Dia berharap agar kampus UGM menjadi opinion leader yang menyelenggarakan forum secara resmi. Merespons usulan tersebut, Panut menerangkan bahwa ada dua kelompok pakar di UGM yang pro dan kontra. “Jadi harus pinter-pinter membuat imbang,” tutur Panut.
Keempat, Aliansi menuntut UGM untuk memberikan sikap serta perlindungan terhadap pembunuhan karakter atau doxing yang dialami salah satu mahasiswa UGM, Ashar Jusardi Putra. Pasalnya, Jusardi menerima tuduhan sebagai provokator kerusuhan terkait aksi massa pada tanggal 8 Oktober 2020 di Gedung DPRD DIY. Menanggapi hal ini, Panut menegaskan, UGM tidak pernah setuju dengan pembunuhan karakter apalagi dengan cara merundung dan tidak berdasarkan fakta. “Akan kita periksa bersama, siapa yang membuat dan mengedarkan,” lanjut Panut. Suharyadi menambahkan, perlindungan nantinya harus ditanyakan secara langsung kepada Jusardi agar sesuai dengan kebutuhannya.
Audiensi sore itu menghasilkan dua kesepakatan. Pertama, forum terbuka untuk memberikan sikap tegas, jelas, objektif, dan partisipatif akan segera dilaksanakan. “Ketika disinformasi terjadi, inilah peran dari institusi akademis untuk menjadi penengah dan memperjelas mana informasi yang valid dan tidak,” terang Sulthan. Kedua, pihak kampus telah menyanggupi untuk memberikan perlindungan yang dibutuhkan Jusardi. Berdasarkan keterangan Sulthan, hingga Minggu (25-10) Jusardi belum siap dan belum bersedia untuk bertemu dengan pihak kampus.
Sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut Aliansi Mahasiswa UGM melakukan aksi kemah di Boulevard UGM. Pada dasarnya, kata Sulthan, aksi kemah ditujukan untuk membuka komunikasi kepada jajaran pimpinan UGM karena selama ini tidak ada komunikasi secara langsung. Atas pernyataan tersebut, akhirnya jajaran pimpinan UGM menyediakan kanal komunikasi melalui audiensi sore itu. “Kemudian, kami harus mengambil momentum dan perhatian untuk bisa mendapatkan kanal komunikasi yang akomodatif itu,” pungkas Sulthan. Bersamaan dengan kesepakatan yang telah dicapai dan selesainya audiensi sore itu, aksi kemah juga dinyatakan selesai.
Penulis: Anis Nurul Ngadzimah dan Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Ayu Nurfaizah