Sabtu (24-10), Amnesty Indonesia melangsungkan diskusi kepenulisan bertajuk “Menulis untuk Masa Depan Tenaga Kesehatan” secara daring. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber yaitu Shela Putri Sundawa selaku dokter sekaligus penyiar podcast Relatif Perspektif, dan Ahmad Arif, yang merupakan Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK), sekaligus co-founder Laporcovid.org.
Shela menuturkan bahwa penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini merupakan buntut dari ketidaksiapan berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat. Ketidaksiapan itu ia uraikan setelah melihat tanggapan pemerintah yang sejak awal dinilai tidak pernah memprioritaskan sektor kesehatan. Hal tersebut dibuktikan dengan terbatasnya layanan primer seperti puskesmas, adanya kesenjangan antara pelayanan kesehatan di berbagai daerah, dan keterbatasan anggaran riset serta pengembangan. Shela menambahkan dari sisi masyarakat bahwa tidak sedikit yang masih memercayai hoaks dan jarang mengakses situs-situs terpercaya. “Di dunia medis, kita tidak pernah menjanjikan kesembuhan, semua yang seratus persen itu pasti bohong,” tuturnya dalam menanggapi fenomena hoaks.
Dari sisi jurnalisme, Ahmad Arif menuturkan seriusnya bahaya stigmatisasi di masa pandemi COVID-19. Ia mencontohkan kasus tenaga medis yang jenazahnya ditolak akibat stigma. Stigma negatif yang menjamur pun menyebabkan banyak masyarakat enggan diperiksa. Menurut jurnalis yang akrab disapa Aik ini, stigmatisasi dapat dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya adalah politisasi COVID-19. Aik menilai politisasi data COVID-19 membawa masyarakat pada pembelahan akibat persoalan politik yang melebur di dalamnya. “Pernyataan-pernyataan politik oleh para politisi cenderung bias sehingga memicu ketidakpercayaan atau kecurigaan yang sayangnya tidak terklarifikasi dengan baik,” ujar Aik.
Sehubungan dengan hoaks dan stigmatisasi, Aik menyebutkan bahwa WHO melalui Tedros Ghebreysus menegaskan bukan hanya epidemi saja yang harus dilawan, melainkan juga infodemik. Adapun secara sederhana, Aik mengelompokkan infodemik menjadi tiga macam, yaitu disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Disinformasi adalah informasi salah yang sengaja dibuat oleh seseorang atau kelompok untuk menimbulkan ketidakpercayaan. Sementara itu, misinformasi adalah informasi salah yang diciptakan tanpa kesengajaan. Hal ini berbeda dengan malinformasi yang memang didasarkan pada kenyataan, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerugian juga ketidakpercayaan.
Menurut Aik, cara paling ampuh untuk melawan stigmatisasi dan infodemik yaitu menulis dengan empati. Sebagai jurnalis, ia memandang siapa saja yang memiliki ilmu dan informasi mengenai COVID-19 bertanggung jawab menuliskannya melalui berbagai medium. Dalam hal ini, penulis dapat bernarasi dengan memposisikan diri sebagai tenaga kesehatan atau penyintas. Selain membantu memahami kesulitan mereka, pendekatan ini dapat mempermudah penulis menghasilkan tulisan yang lebih personal dan menyentuh. Alhasil, pesan yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan dengan baik.
Sebagai organisasi nonpemerintah yang fokus pada isu hak asasi manusia (HAM), Amnesty Indonesia menyikapi itu semua dengan menyediakan kanal PENA. Kanal ini bertujuan untuk memperjuangkan perubahan, terutama hak-hak tenaga kesehatan di masa pandemi. PENA mewadahi aspirasi dan tuntutan masyarakat melalui tulisan yang akan disampaikan ke pemangku kebijakan terkait. Sadika Hamid, Manajer Komunikasi Amnesty Indonesia, berharap supaya masyarakat bisa memperoleh kemajuan-kemajuan kecil dari setiap isu yang diangkat melalui PENA. “PENA diharapkan menjadi media yang dapat merawat memori masyarakat supaya pelanggaran HAM masa lalu tidak hilang begitu saja,” tambah Sadika.
Salah satu partisipan diskusi sekaligus relawan PENA, Latisha Rosabelle, mengungkapkan harapannya agar Amnesty dapat diketahui secara lebih luas sehingga basis pendukung yang diperoleh akan lebih besar. “Seru sekali karena aktivitas beragam, materi yang dibahas juga menarik karena COVID-19 juga menjadi permasalahan yang berdampak besar di seluruh dunia,” ujarnya menanggapi proses diskusi.
Penulis: Agnes Palupi, Athena Huberta Alexandra, dan Viola Hafilda (Magang)
Penyunting: Dina Oktaferia
Fotografer: Muhammad Zia Ulil Albab (Magang)