Rabu (23-10), Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Dema Fisipol) UGM mengadakan diskusi daring yang bertajuk “Legalisasi Ganja di Pusaran Politik Indonesia.” Diskusi kali ini menghadirkan satu narasumber yaitu, Dhira Narayana, founder dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Diskusi ini membahas mengenai urgensi pelegalan ganja di Indonesia yang dikaitkan dengan kondisi perpolitikan negeri ini. Rafi Aquary, Kepala Divisi Kajian Strategis Bidang Keilmuan Dema Fisipol, mengatakan bahwa diskusi ini diadakan sebagai sarana peningkatan kemampuan pemikiran bagi anggota Dema Fisipol pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Diskusi dimulai dengan pemaparan Dhira mengenai perjuangannya dengan teman-teman LGN, yang sudah jatuh bangun memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia. “Banyak pelajaran yang kami dapat di organisasi lewat pengalaman, tidak hanya sekedar tulisan di buku.” ujar Dhira menjelaskan. Adapun organisasi LGN yang telah berdiri sepuluh tahun ini, terus mengulik berbagai faktor penyebab pelarangan ganja di Indonesia.
Dhira menjelaskan bahwa dilarangnya ganja dan produk turunannya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan situasi politik internasional. Terhitung sejak konferensi tunggal narkotika dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961, ganja sudah diilegalkan di seluruh dunia. Dhira pun menambahkan, bahwa memang ada negara-negara adidaya yang selalu lebih dulu dan mereka secara politik memiliki kekuatan. “Akibatnya dapat dimaklumi bahwa meskipun status quo ganja ilegal, tetap ada negara-negara yang memanfaatkan potensi ganja,” tegas Dhira.
Menanggapi hal tersebut, Dhira berpendapat bahwa ganja memiliki prospek bisnis yang cukup menjanjikan khususnya di bidang medis. “Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Belanda dan Thailand telah membuktikannya,” jelas Dhira. Bahkan, wacana pemanfaatan ganja untuk pengobatan alternatif, seperti pengobatan efek samping kemoterapi dan epilepsi di Thailand, mampu menambah 46—312 juta dolar untuk pendapatan negara. Selain itu dalam hal medis, ganja dapat bermanfaat bagi pengobatan alzheimer, multiple sclerosis, dan bahkan produk turunannya yakni CBD dapat dimanfaatkan sebagai penghilang mabuk pascaterbang. Di Indonesia, masyarakat Aceh pun telah memanfaatkan ganja sebagai obat diabetes. Dhira juga menjelaskan bahwa tanaman ganja sendiri memiliki potensi besar dalam aspek pertanian, sebab ganja memiliki kelebihan ia akan tetap hidup dalam segala macam cuaca serta daratan, dan juga meski tanpa sistem irigasi atau minim perawatan.
Dengan melihat pemaparan potensi tersebut, Dhira menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci menuju jalan terang terkait legalisasi pemanfaatan ganja di Indonesia. “Makanya kami di gerakan ini melihat, riset adalah celah untuk kita masuk,” kata Dhira dalam diskusi. Riset resmi terkait manfaat ganja adalah senjata untuk meraih cita-cita teman-teman LGN. Sebab dengan adanya riset, maka bukti empiris yang resmi dan faktual terkait manfaat ganja bagi masyarakat Indonesia dapat diraih.
Selepas diskusi daring selesai dilaksanakan, Tria, salah satu peserta diskusi kegiatan Dipcool menilai bahwa topik yang diangkat pada Dipcool kali ini sangatlah menarik. “Jujur penasaran bagaimana pandangan Mas Dhira terhadap urgensi legalisasi ganja di Indonesia,” ungkapnya saat diwawancarai oleh tim Balairung. Menurutnya, topik legalisasi ganja bisa dibilang masih menjadi topik yang belum sering dibicarakan oleh masyarakat luas. Tria juga mengatakan bahwa ada banyak wawasan baru yang diperolehnya melalui diskusi daring ini, termasuk mengenai riset ganja dan yang terpenting, mengenai peran pemerintah terkait isu ini. Menurutnya, setidaknya pemerintah perlu memberikan izin untuk melakukan riset agar masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas mengenai ganja dan pemanfaatannya. “Balik lagi, pengetahuan akan tetap menjadi kunci,” jawabnya sebagai penutup.
Penulis: Albertus Arioseto, Ridha Mukti, dan Akhmad Fadhil (Magang)
Penyunting: Salwa Azzahra Fadilah
Fotografer: Fairuz Azzura (Magang)