Ruangan berwarna putih, dingin dan sunyi menyajikan berbagai macam bentuk wajah dan badan manusia. Satu sama lain tersusun rapi, simetris dan berjarak dalam setiap bagian dinding. Setiap manusia yang ada di sana dipajang dalam bingkai dan kondisi yang berbeda-beda. Mereka seperti ingin mengungkapkan perihal-perihal reflektif terhadap kehidupan umat manusia. Namun, mereka melakukannya tanpa mengeluarkan satu kata pun. Ya, mereka merupakan deretan karya seni gambar dua dimensi di Galeri RJ Katamsi Institut Seni Indonesia (ISI).
Situasi tersebut merupakan salah satu pengalaman yang dihadirkan dari pameran bertajuk “Manusia! Manusia!”. Pameran yang diselenggarakan oleh Galeri RJ Katamsi ISI tersebut menyajikan hasil karya gambar dua dimensi dari para seniman. Berlangsung dari 15 September hingga 5 Oktober tahun 2020, pameran “Manusia! Manusia!” dapat dinikmati oleh masyarakat umum tanpa dipungut biaya. Pameran ini merupakan festival ahli gambar pertama yang diselenggarakan oleh Galeri RJ Katamsi ISI.
Hadirnya pameran ini dilatarbelakangi oleh pemahaman para konseptor akan minimnya pameran yang khusus menampilkan karya seni dari para ahli gambar. “Banyak pameran yang memadukan berbagai macam karya dua dimensi, tetapi tidak banyak pameran yang khusus menyajikan karya seni dari aktivitas menggambar,” ujar Nano Warsono, selaku kepala Galeri RJ Katamsi dan salah satu konseptor pameran. Oleh karena itu, menurut Nano pameran ini tidak hanya ditujukan kepada pengunjung, tetapi juga bagi para seniman yang berkontribusi dalam pemeran.
Nano menyampaikan bahwa pameran ini merupakan medium bagi para pengunjung dan seniman untuk merefleksikan lebih lanjut apa yang bisa diberikan oleh sebuah gambar pada kehidupan manusia. Lebih dari itu, pameran ini juga menekankan bahwa aktivitas menggambar merupakan cara bertahan hidup. “Sekarang kan orang juga butuh berekspresi, menyampaikan aspirasi dan ide-ide yang mereka punyai,” jelas Nano.
Tajuk “Manusia! Manusia!” itu sendiri diusung menarik inspirasi novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. Rain Rosidi, selaku kurator pameran menjelaskan bahwa novel Harimau! Harimau! tidak hanya menginspirasi pemilihan judul pameran tetapi juga pada masalah tema permasalahan kemanusiaan yang secara umum juga hadir dalam novel itu. Sehingga wacana yang diangkat yaitu pentingnya mempertimbangkan lagi peran manusia bagi kebudayaan dan peradaban. “Jadi pameran ini mau mengajak kita untuk merefleksikan tentang apa yang kita sebagai manusia mau lakukan dalam kondisi sebelum, ketika, maupun sesudah pandemi,” tambah Nano.
Dalam novelnya, Mochtar Lubis mengangkat relasi manusia dengan sesama manusia, juga manusia dengan alam. “Kami mencoba mengkontekskan novel dari Mochtar Lubis yang berjudul Harimau! Harimau! dengan karya seni gambar mengenai kehidupan manusia,“ ujar Nano. Corak Novel tersebut dalam pameran ini terlihat dalam salah satu hasil karya yang ditampilkan dari Subandi Giyanto berjudul “Putra Sang Fajar”. Karya tersebut menampilkan gambar Sukarno yang menjadi inspirasi Mochtar Lubis dalam menulis Harimau! Harimau!.
Penuturan Nano tersebut selaras dengan salah satu karya milik Asnar Zacky yang berjudul “Banyak Anak Banyak Rezeki”. Karya tersebut mengilustrasikan keadaan seorang ibu yang sedang mengurusi delapan anaknya. Nano menjelaskan bahwa karya ini memberikan penggambaran ironis dalam kehidupan manusia yang masih relevan hingga saat ini. Nano menjelaskan bahwa dulu istilah ‘banyak anak banyak rejeki’ mungkin berkaitan dengan keuntungan penggarapan lahan pertanian. Sebaliknya, dalam karya tersebut memaparkan repotnya kondisi sebuah keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Nano menekankan bahwa karya ini juga merupakan penggambaran masa lalu. “Itu memang isu lawas namun masih aktual walaupun dalam konteks yang berbeda,” jelas Nano.
Masih berkaitan dengan manusia, topik dualisme dalam diri manusia berusaha ditampilkan dalam karya milik Galam Zulkifli yang berjudul “Monalisa da Leonardo”. Refleksi dualisme dikemas dalam konsep yang unik. Apabila pengunjung melihat gambar tersebut dari sudut kiri akan terlihat wajah Monalisa, namun apabila melihat dari kanan akan terlihat wajah Leonardo Da Vinci. Peletakan karya seni tersebut yang strategis sehingga situasi tersebut dapat mudah didapatkan oleh para pengunjung, karya seni terletak di tengah ruangan pameran dan juga terletak di tengah bagian dinding.
Selain hubungan manusia dengan manusia, topik mengenai manusia dengan lingkungan juga hadir dalam pameran ini. Karya Chrisna Fernand yang berjudul “The Palm Oil Dance” mengangkat berbagai macam dinamika manusia dan kerusakan ekologi dalam perkebunan kelapa sawit. Karya tersebut tergambar dalam papan tulis berwarna hitam dengan ukuran 100×150 cm. Dengan menggunakan kapur putih, karya Fernand merepresentasikan penekanan dari Nano bahwa pameran ini diselenggarakan untuk menjadi wadah bagi para seniman-seniman yang berfokus pada aktivitas menggambar. “Menggambar itu mempunyai pengertian yang sedikit berbeda dengan melukis dan membuat sketsa, jadi medium pembuatan gambar tidak hanya melalui pena saja,” jelas Nano.
Meskipun pameran ini telah dipersiapkan sebaik mungkin, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi pandemi menuntut para konseptor untuk beradaptasi. Agus Yulianto, Direktur Artistik Pameran, menjelaskan bahwa fleksibilitas menjadi sesuatu yang penting bagi konseptor dalam menyelenggarakan pameran. “Kita bekerja sefleksibel dan seefektif mungkin untuk mengajak teman-teman tetap berkarya di tengah keadaan yang sulit,” pungkasnya.
Penulis: Affan Asyraf
Penyunting: Anis Nurul Ngadzimah