Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang disahkan pada 5 Oktober 2020 silam langsung mendapat reaksi keras dari masyarakat. Ini terbukti dari digelarnya aksi turun ke jalan di berbagai daerah dalam kurun 6–8 Oktober kemarin demi menuntut pemerintah mencabut UU Ciptaker. Namun, aksi penyampaian aspirasi ini justru disambut dengan represifitas aparat. Guna merespons tindak kekerasan aparat, Jejaring Gerakan Rakyat yang merupakan gabungan dari enam belas aliansi yang turut dalam aksi tolak UU Ciptaker mengadakan konferensi pers pada Senin (12-10) secara daring. Dipandu oleh Lini Zurlia selaku moderator, perwakilan tiap aliansi menyampaikan pernyataan seputar represifitas aparat hingga strategi gerakan ke depannya.
Afif, perwakilan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengutuk brutalitas polisi dalam menangani aksi massa. Dia juga menyoroti tindakan ilegal kepolisian yaitu mengamankan massa aksi. “Istilah ‘mengamankan’ massa aksi itu tidak ada di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” tegasnya. Baginya, praktik di luar hukum ini mampu membuka kemungkinan terjadinya penyiksaan terhadap massa aksi seperti yang terjadi di Banten. Berdasarkan pernyataan Ihsan Kamil selaku wakil dari GEGER Banten, ada empat belas orang ditangkap tanpa kejelasan statusnya hingga hari ini.
Tindak kekerasan aparat bukan hanya menyasar massa aksi, melainkan juga menggasak paramedis dan jurnalis. Annisa dari Paramedis Jalanan mengungkapkan bahwa aparat bukan hanya memblokade jalur evakuasi dan distribusi logistik, tetapi juga melakukan represi secara langsung. “Paramedis dipukuli dan posko kami ditembaki gas air mata,” ungkapnya. Padahal, sambungnya, paramedis mesti dilindungi dalam segala keadaan berdasarkan Konvensi Jenewa. Sedangkan kekerasan aparat yang dialami jurnalis diungkap oleh Afif. Baginya, kekerasan terhadap jurnalis adalah upaya kepolisian untuk menutup-nutupi brutalitasnya. “Memalukan bagi demokrasi Indonesia,” cetusnya.
Padahal, tidak semestinya aparat bertindak represif kepada massa aksi. Andi Irfan selaku perwakilan Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur menyayangkan tidak adanya dialog demokratis antara kepolisian dan massa aksi. Menurutnya, cara tersebut justru lebih efektif untuk menghindari kericuhan. Namun, Nining dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) punya pendapat lain. Baginya, represifitas aparat salah sasaran. “Mestinya DPR dan pemerintah yang direpresi sebab enggan mendengar suara rakyat,” ujarnya.
Kekerasan oleh polisi ini tidaklah spontan. Asfinawati yang mewakili Fraksi Rakyat Indonesia menyatakan bahwa semua ini berasal dari Surat Telegram Kapolri yang menginstruksikan peredaman dan kontra narasi terhadap aksi. “Polisi sekarang jadi alat pemerintah, bukan lagi milik negara yang di dalamnya terdapat rakyat,” ucapnya. Menurutnya, kontra narasi terhadap aksi yang berkisar antara dalang demonstrasi hingga massa yang brutal sangat mirip seperti zaman Orde Baru. Dari situlah Asfinawati mencetuskan bahwa Indonesia sudah memasuki era Neo-Orde Baru.
Tidak cukup lewat kekerasan aparat, penggembosan aksi juga dilakukan melalui institusi pendidikan. Jarot dari Komite Revolusi Pendidikan Indonesia menyayangkan Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berupaya mencegah mahasiswa turun ke jalan. Ditambah surat telegram Kapolri, lengkap sudah apa yang disebut oleh Jarot sebagai opresi struktural oleh pemerintah dan oligarki. Alih-alih menempuh jalur hukum yang lebih aman, Jarot justru menyerukan aksi kembali. “Gerakan rakyat mesti bersatu dalam menyikapi penindasan ini,” tegasnya.
Senada dengan seruan Jarot, Revo dari Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) pun menyatakan bahwa aksi massa merupakan solusi tunggal. Strategi ini diambil demi meningkatkan daya tawar tuntutan serta meningkatkan tekanan politik kepada presiden untuk menerbitkan Perppu pembatalan UU Ciptaker. Terkait rencana selanjutnya, Lini menginformasikan bahwa aksi serentak akan digelar pada 20–23 Oktober 2020. “Bertepatan dengan hari lahir UU Ciptaker pada pidato kepresidenan Joko Widodo,” tuturnya perihal pemilihan 20 Oktober sebagai tanggal dimulainya kembali aksi serentak.
Revo juga menyangkal Uji Materi MK sebagai alternatif dari aksi massa, sebab itu merupakan jebakan yang sudah disiapkan pemerintah. Menurut Nining, UU Ciptaker bukan hanya seperangkat hukum melainkan juga produk politik. Maka, pembangkangan sipil sebagai tindakan politik perlu dilakukan demi menunjukkan amarah rakyat. Lagipula, imbauan pemerintah agar rakyat menempuh Uji Materi MK baginya tidaklah masuk akal. “Bagaimana bisa pemerintah menyuruh warganya menempuh jalur hukum sementara undang-undang yang dituntut saja melanggar hukum?” pungkasnya.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Harits Naufal Arrazie