Setelah vakum selama pandemi COVID-19, diskusi Magister Administrasi Publik Corner kembali digelar pada Selasa (11-8). Diskusi daring perdana ini bertajuk “Pandemi COVID-19 dan Politik Oligarki di Indonesia”. Hadir sebagai pemantik diskusi, terdapat Abdil Mughis Mudhoffir selaku Postdoctoral Visitor University of Melbourne dan Nining Elitos sebagai Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Alih Nugroho, selaku moderator, membawa fokus diskusi ke arah pengaruh oligarki terhadap penanganan pandemi COVID-19 baik sektor kesehatan maupun ekonomi.
Menurut Abdil, terdapat dua parameter kesuksesan penanganan pandemi COVID-19, yaitu penuntasan krisis kesehatan dan penjaminan hak sipil warga. Selandia Baru dan Jerman disebutnya sebagai negara yang mampu memenuhi parameter tersebut. “Indonesia seperti halnya Amerika Serikat, gagal di keduanya”, tukasnya.
Abdil kemudian mengatakan bahwa kegagalan dalam penanganan krisis kesehatan tercermin dari diterapkannya skema Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Sebab, tambahnya, PSBB tidak mewajibkan negara untuk memenuhi hak dasar warga dalam hal pangan dan listrik selama karantina pandemi berlangsung. “Kewajiban tersebut ada dalam opsi Karantina Wilayah yang dijamin oleh UU Kedaruratan Kesehatan, namun pemerintah tidak menerapkannya,” ujar Abdil.
Pelaksanaan skema PSBB ini menurut Nining memperburuk nasib buruh. “Kami dipaksa untuk terus bekerja tanpa adanya jaminan kesehatan maupun ekonomi yang memadai,” keluhnya. Sudah demikian, tambah Nining, insentif yang diberikan tidak berorientasi pada kesejahteraan kaum buruh. Sebab, pertama, Kartu Prakerja sulit diakses oleh buruh secara teknologi maupun administrasi. Kedua, Bantuan Langsung Tunai tidak terdistribusi merata.
Di tengah krisis kesehatan yang belum tertangani, papar Abdil Mughis, pemerintah justru mengebut pembahasan RUU bermasalah seperti Omnibus Law dan UU Minerba. Hal tersebut disinyalir merupakan bagian dari upaya untuk menghindari perlawanan. “Sebab warga hanya bisa melakukan mobilitas melalui sosial media, yang tentunya tidak efektif,” jelasnya.
Abdil kemudian menyatakan bahwa pengebutan RUU bermasalah di tengah pandemi menunjukkan nihilnya perlindungan hak sipil warga. Nining juga membeberkan bahwa partisipasi sipil dalam pembahasan RUU Ciptaker, seperti audiensi di DPR, hanyalah formalitas. “Itu bukan partisipasi, melainkan hanya sosialisasi,” cecar Nining.
Menurut Abdil, kebijakan yang dipilih pemerintah berangkat dari sistem kapitalisme rente di Indonesia. Dalam kapitalisme rente, tambahnya, elit politik dan ekonomi membentuk sebuah oligarki. “Kemudian, mereka menggunakan instrumen negara untuk memuluskan kepentingannya,” sambungnya. Alih lalu menimpali bahwa korban dari sistem ini sudah jelas yaitu masyarakat rentan dan kaum buruh.
Sementara pembahasan berlarut soal dibajaknya pandemi oleh oligarki, seorang peserta dari FISIPOL UGM bernama Sinergy Aditya bertanya sebaliknya. “Bagaimana kalau pandemi COVID-19 ini justru dijadikan sebagai momen perlawanan rakyat?” tulisnya di kolom komentar. Abdil lantas mengafirmasi gagasan ini, dengan catatan, polarisasi masyarakat berdasarkan identitas agama dan kultural harus diselesaikan terlebih dahulu.
Konkritnya, tambah Abdil, konflik horizontal seperti dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 tidak boleh terulang lagi. Sebab baginya, polarisasi dan konflik horizontal ini dirancang oleh oligarki untuk mengaburkan pertentangan yang lebih nyata antara rakyat dan kelas penguasa. “Musuh kita bukanlah sesama rakyat melainkan politisi dan pebisnis yang membajak krisis ini demi kepentingan kelompoknya,” pungkas Abdil seraya menutup diskusi sore itu.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Muh Fadhilah