
©Anas/Bal
Senin (3-8), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi daring bertajuk “Menakar Jurnalisme Pandemi di Media Kita” untuk membahas keadaan dan tantangan media, khususnya jurnalisme selama pandemi. Diskusi ini dipandu oleh salah satu anggota AJI, Bayu Wardhana, dan menghadirkan tiga pembicara. Pertama, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Titin Rosmasari. Kedua, Direktur lembaga studi dan pemantauan media Remotivi, Yovantra Arief. Ketiga, dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Gilang Desti Parahita. Para pembicara memaparkan tentang perubahan dinamika media selama pandemi, masalah dan tantangan yang dihadapi oleh jurnalis dan media, serta solusi yang ditawarkan guna memastikan keberlanjutan jurnalisme di Indonesia.
Pandemi COVID-19 menyebabkan jurnalis dan pekerja media menerapkan protokol kesehatan, seperti pemakaian masker, sarung tangan, pengaman mikrofon, dan penjagaan jarak. Selain menjalankan protokol kesehatan, Titin menuturkan bahwa perusahaan media massa juga melakukan perubahan pola kerja. Menurutnya, perubahan ini meliputi pengurangan waktu kerja, pemberhentian penugasan ke luar kota, kolaborasi dengan media lain, dan peliputan secara daring. “Meski demikian, perubahan dan penyesuaian dilakukan demi menjamin keberlangsungan sumber daya manusia dan kualitas berita yang disampaikan ke publik,” ujar Titin.
“Semua yang menjadi perangkat media harus membuat produk mereka relevan bagi setiap orang sehingga tercipta ketergantungan antara masyarakat dan pembuat berita,” tambah Titin. Ada dua hal pokok yang ditekankan Titin. Pertama, media harus mengetahui bahwa pasar dan demokrasi berubah. Oleh karenanya, media perlu memahami target audiens serta relevansi berita yang dipublikasikan. Kedua, media arus utama harus tetap memperhatikan kualitas dan kreativitas yang membedakan kontennya dari konten milik orang-orang tanpa regulasi.
“Konten media sosial dari orang-orang tadi berpotensi bermasalah karena tidak mempunyai latar belakang jurnalisme namun tampak menjalankan fungsi jurnalistik,” ucap Yovan, senada dengan pernyataan Titin. Menurutnya, hal tersebut akan memengaruhi audiens Indonesia yang memiliki literasi rendah. Yovan mencontohkan, akhir-akhir ini sejumlah influencer Indonesia justru mempromosikan disinformasi yang berpotensi memunculkan sentimen anti-media, seperti konspirasi bahwa COVID-19 tidak berbahaya. Ia menegaskan bahwa jurnalis mengemban tanggung jawab ganda, yaitu menyajikan produk berkualitas serta memastikan bahwa permintaan atas berita yang berkualitas terus bermunculan. Selain itu, ia berpendapat bahwa produk jurnalisme berkualitas akan selalu diminati meski peminatnya masih sedikit.
“Jurnalisme sains yang mengedepankan metode ilmiah ketika meliput sangat jarang diterapkan, terutama di media televisi,” ujar Yovan saat membahas problematika yang dihadapi terkait upaya menaikkan tingkat kualitas pers. Yovan memaparkan bahwa seharusnya ilmuwan menjadi narasumber utama pada masa pandemi di seluruh media, termasuk televisi menyangkut perannya sebagai media yang paling banyak dikonsumsi publik. Dengan demikian, melalui televisi, jurnalis dapat memulai edukasi kepada masyarakat mengenai pengetahuan tentang suatu tahapan riset ilmiah supaya publik tidak hanya fokus pada hasil saja, tetapi juga tahu metode yang layak.
“Alih-alih pesimis akan masa depan pers, seharusnya kita makin optimis karena banyak warga yang membutuhkan berita berkualitas,” tegas Gilang. Ia menekankan, media seharusnya dapat menjaga jarak dengan penguasa. Istilah pers sebagai “anjing penjaga” seharusnya dapat memenuhi kebutuhan publik dan tidak semata berlandaskan pada kepentingan politik.
Jurnalis dapat mengupayakan fungsinya sebagai “anjing penjaga” dengan membangun kedekatan dengan komunitas atau publik yang diwakili. Gilang mengingatkan bahwa publik yang direpresentasikan bukan hanya pembaca media tertentu, namun juga orang-orang yang tidak mempunyai akses terhadap media. Semakin jurnalis memahami dinamika warga, semakin mereka dapat memenuhi kebutuhan warga. Menurut salah satu peserta, Yuri Aprin, kurangnya pengetahuan dan akses terhadap informasi menyebabkan jurnalisme di Indonesia karut-marut dan tidak dapat menjadi “anjing penjaga”. Menanggapi Yuri, Gilang memaparkan berbagai solusi yang dapat diterapkan demi keberlangsungan pers selama pandemi. “Jurnalis dapat mulai mengembangkan berita yang reflektif, kontekstual, dan bukan hanya bersifat instruksi, serta dapat melibatkan beragam narasumber dalam membahas suatu permasalahan,” pungkasnya.
Penulis: Dina Oktaferia
Penyunting: Nadia Intan Fajarlie