
Anas/Bal
Pembangunan selama masa kepemimpinan Joko Widodo berjalan secara masif dengan banyaknya Proyek Strategi Nasional yang dicanangkan, salah satunya pembangunan tiga ruas jalan tol di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Berdasarkan hal tersebut, timbul beberapa pertanyaan mulai dari kepentingan ekonomi politik dibalik pembangunan jalan tol hingga dampak yang ditimbulkannya pada masyarakat sekitar proyek pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengadakan diskusi bertajuk “Kepentingan Ekonomi Politik Dibalik Pembangunan Jalan Tol Indonesia” pada Rabu sore (15-07).
Diskusi yang bertujuan untuk menumbuhkan ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan tersebut, dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan tiga pembicara. Ketiga pembicara itu yakni Wakil Ketua Bidang Penelitian Pengembangan dan Hubungan Kelembagaan Lembaga Ombudsman DIY, Yusticia Eka Noor Ida; Dosen Sosiologi Fisipol UGM, AB Widyanta; dan Editor Eksekutif INSISTPress, Achmad Chairudin. Para pembicara tersebut dimoderatori langsung oleh Budi Hermawan, selaku pengacara Publik LBH Yogyakarta.
Diskusi diawali dengan pemaparan Yusticia mengenai pembangunan jalan tol dan beban lingkungan. Dalam presentasi yang dibawakannya, ia memaparkan bahwa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKHL) di pulau Jawa pada tahun 2018 berada pada rentang nilai 50-70 yang masuk pada kategori kurang baik. Menurutnya, salah satu pemicunya adalah meluasnya lahan kritis yang semakin mengkhawatirkan sehingga daya dukung lingkungan hidup diperkirakan akan menurun seiring alih guna lahan, yang sebelumnya didominasi oleh lahan sawah menjadi jalan tol. Ia juga mengingatkan bahwa pembangunan tol seharusnya tidak menggunakan lahan pertanian yang terlalu berlebihan karena sektor pertanian merupakan penopang ekonomi negara, mengingat Jawa merupakan pemasok 53% kebutuhan pangan nasional. “Untuk Jawa saja seribu hektare lahan pertanian diperkirakan hilang, ini setara dengan lima ribu ton padi per tahun”, paparnya.
Pembahasan berlanjut ke sejarah pembangunan jalan tol di Indonesia dan kepentingan politik ekonomi dibaliknya oleh Chairudin. Ia mengatakan bahwa pembangunan jalan tol sudah masif sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan Presiden Joko Widodo saat ini banyak merealisasikan dan menyelesaikannya. Ia pun menyayangkan sedikitnya kajian yang membahas tentang jalan tol, padahal dampaknya sangat signifikan karena proses pengadaannya memakan lahan yang sangat luas.Â
Chairuddin juga menyinggung soal buku yang ia terjemahkan berjudul “Menaja Jalan” yang berangkat dari kerangka teori New Institutional Economic (NIE). “Basis asumsi dari teori NIE ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur dan infrastruktur itu sendiri sebagai sarana yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi”, terangnya. Selanjutnya, ia mengkritik kerangka teori NIE tersebut karena perumusan sampai pelaksanaan infrastruktur dalam kerangka teori NIE hanya menitikberatkan pada kelembagaan formal negara dan abai dengan mekanisme informal, khususnya dalam bidang pertanahan. Padahal, mekanisme informal sangat berpengaruh bahkan menentukan.
Chairudin kemudian menyebutkan bahwa terdapat tiga arena yang menentukan bagaimana mekanisme informal berlangsung. Pertama, hubungan pemerintah, bisnis, dan “perburuan rente” atau istilah yang lebih populer, oligarki, yang merupakan warisan orde baru. Kedua, pembuatan aturan main ekstra parlementer, dengan asosiasi bisnis yang banyak bermain. Ketiga, pembebasan lahan. “Ketika pembangunan infrastruktur yang tujuannya mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan membangun konektivitas itu tidak tercapai, sia-sia pengorbanan ribuan hektare lahan pertanian produktif, tidak hanya dari aspek lingkungan, tapi juga penghidupan masyarakat petaninya”, pungkas Chairudin.
Widyanta, selaku pembicara terakhir, menyatakan dengan tegas bahwa jalan tol bukanlah infrastruktur dasar karena tidak berpihak kepada publik secara luas. Menurutnya, jalan tol memang diperuntukkan secara tidak langsung untuk kalangan menengah ke atas yang mempunyai mobil pribadi. “Saya boleh menyatakan bahwa jalan tol ini adalah jalan ataupun lorong reproduksi akumulasi kapital yang hanya menguntungkan sebagian kecil segelintir elit di negeri ini maupun juga globalist atau global”, tambahnya.
Soal dampak sosiologis terkait jalan tol dalam paparan Widyanta, tidak hanya memutilasi batas-batas administrasi desa, namun juga mensegregasi warga dan komunitas. “Dimensi sosial-kolektif ini, kita tidak pernah menakarnya secara serius dalam jangka panjang”, sesalnya. Widyanta kemudian menutup diskusi dengan menyarankan untuk menggerakkan dan memperkuat politik kewargaan dalam proses-proses politik yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama.
Penulis : Naufal Ridhwan Aly
Penyunting : Deatry Kharisma Karim