Pembunuhan George Floyd pada 25 Mei 2020 oleh anggota polisi di Minneapolis, Amerika Serikat, menyulut kemarahan warga Amerika Serikat dan masyarakat internasional. Tagar #BlackLivesMatter terus digaungkan sebagai suatu gerakan perlawanan atas rasisme sistematis yang terus diterima oleh orang kulit hitam. Kejadian inilah yang kemudian menyadarkan masyarakat di berbagai belahan dunia untuk memerangi rasisme, termasuk masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan itu, Human Rights Working Group mengadakan diskusi daring yang bertajuk “Mengatasi Rasisme Terstruktur di Indonesia” pada Senin sore (15-06). Diskusi yang bertujuan membedah sejarah dan praktik rasis di Indonesia tersebut, dihadiri oleh seratus peserta dan empat pembicara. Keempat pembicara itu yakni Ani W. Soetjipto selaku Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Melani Budianta selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Yuliana Langowuyo selaku Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua, dan Choirul Anam sebagai Komisioner Komnas HAM.
Berbicara mengenai diskriminasi rasial, Anam menyebutkan, terdapat empat aspek tindakan dapat disebut diskriminasi. Empat aspek tersebut yakni pembedaan, pengecualian, pembatasan, dan pengutamaan. Menurutnya, mengidentifikasi pengutamaanlah yang tersulit. Hal ini disebabkan aspek tersebut tidak menempatkan atau menyebutkan suatu ras atau etnis secara eksplisit sehingga pihak lain tidak merasa menjadi korban. “Contohnya, ketika kita membicarakan keunggulan orang dengan ras tertentu di atas ras lain, tetapi tidak secara gamblang menyebut ras lain tersebut. Ini termasuk diskriminasi,” jelas Anam.
Sementara itu, Ani mengawali pembicaraannya dengan membahas kasus rasisme di Amerika Serikat. Dia menilai persoalan rasisme di Amerika Serikat bersifat sistemis dan melekat pada sejarah yang panjang. Menurutnya, aturan hukum soal rasisme tidak bersifat diskriminatif, hanya saja dalam praktiknya masih melekat pada kultur. “Segregasi ras dalam pemisahan tempat tinggal, akses pendidikan, lapangan pekerjaan, dan jaminan kesehatan masih terjadi,” terangnya.
Di Indonesia sendiri, maraknya kasus rasisme tidak terlepas dari warisan kolonial. Melani mengatakan, dahulu masyarakat dikelompokkan dalam lapisan rasial yang hierarkis. “Orang Eropa berada di puncak, di bawahnya ada Timur Asing, dan yang terbawah dikelompokkan jadi satu menjadi pribumi,” jelasnya.
Melani juga menjelaskan, diskriminasi rasial terus dialami orang Cina. Stereotip masyarakat terhadap orang Cina yang dekat dengan kekuasaan dan monopoli ekonomi terus berlangsung. Dua di antaranya terjadi pada masa kolonial dan Orde Baru. Pada masa kolonial, orang Cina diberi kewenangan oleh Belanda untuk memungut pajak rakyat. Melani menilai hal ini dapat mengadu domba orang Cina dengan kelompok lain. Sementara itu, di tahun 1998, orang Cina dijadikan kambing hitam oleh pemerintah dalam menjalankan praktik-praktik monopoli ekonomi. Ini menjadi salah satu faktor terjadinya Kerusuhan Mei 1998. “Saat itu, terjadi penjarahan dan pembakaran toko-toko orang Cina,” tuturnya.
Selain diskriminasi terhadap orang Cina, diskriminasi rasial juga kerap dialami orang Papua. Menurut Yuliana, pendidikan dan industri memainkan peran dominan dalam melanggengkan praktik rasis terhadap orang Papua. Dalam bidang pendidikan, Yuliana menilai dinamika pendidikan tidak mengajarkan keberagaman, melainkan hanya mengakomodasi pengetahuan masyarakat mayoritas. Dia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap tenaga pendidik yang justru diam saja ketika siswa-siswanya mengucapkan ujaran dan nyanyian rasis. “Kalau tidak ditegur, maka pelaku akan menganggap perilaku rasis tidak salah dan praktik rasis akan terus terwarisi ke generasi-generasi berikutnya,” tegasnya. Sementara di bidang industri, Yuliana menyayangkan iklan-iklan kecantikan yang secara implisit menyerukan standar kecantikan harus putih. Menurutnya, rasisme ini bersifat sistemis karena iklan-iklan sejenis ini terus disiarkan di televisi dan dibiarkan oleh pemerintah.
Dalam sesi tanya jawab, Budi, salah satu peserta diskusi, bertanya mengenai apa yang masih dapat diharapkan dari aparat negara kaitannya dengan perilaku diskriminasi rasial yang kerap dilakukan aparat. Anam menanggapi, sudah terdapat mekanisme yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab tiap aparat negara. “Namun, apabila aparat negara belum maksimal dalam menindak kasus rasisme, maka yang harus dimaksimalkan adalah sistem pengawasan oleh masyarakat,” imbuhnya.
Sementara menurut Ani, persoalan rasisme sifatnya sistemis sehingga untuk mengatasinya, diperlukan perubahan dan solusi sistematis, karena rasisme juga terstruktur. Maka dari itu, diperlukan kerja sama dari seluruh tatanan negara dan masyarakat. “Jadi, struktur dan kultur harus berjalan bersamaan,” tutup Ani.
Penulis: Hanifatun Nida
Penyunting: Maheswara Nusantoro