Sinergi Lembaga Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UGM mengeluarkan rilis sikap sebagai respons dari kebebasan akademik yang kembali dibungkam. Hal tersebut beranjak dari pembatalan diskusi yang diselenggarakan Constitutional Law Society (CLS) UGM. Diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” seharusnya dilaksanakan pada 29 Mei. Diskusi tersebut mengundang narasumber Prof. DR. Nimatul Huda. S.H., M. Hum selaku Guru Besar Hukum Tata Negara UII, dan M. Anugerah Pradana, mahasiswa FH UGM, selaku moderator.
Polemik diskusi CLS tersebut berawal dari tulisan Bagas Pujilaksono, Dosen Pascasarjana Fakultas Teknik UGM berjudul “Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi COVID-19”. Tulisan tersebut dimuat dalam tagar.id pada tanggal 28 Mei, yang menyebutkan bahwa diskusi merujuk pada adanya tindakan makar. Menyikapi kritikan terhadap diskusinya, pihak CLS melakukan perubahan judul yang sebelumnya dinamakan “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Permasalahan yang dialami CLS masih berlanjut dengan aksi peretasan beberapa akun penyelenggara pada tanggal 29 Mei. Akun tersebut milik Fisco Mudjito selaku narahubung diskusi, Aditya Halimawan selaku Presiden CLS, Pradana, dan akun CLS. Tidak hanya itu, keluarga Fisco dan Pradana mendapatkan aksi teror pembunuhan melalui pesan singkat yang mengaku sebagai Ormas Muhammadiyah Klaten. Aditya pun juga mendapatkan pesan yang mengaku dari Polres Sleman dengan berisikan ancaman penyelenggara diskusi terkena pasal tindakan makar.
Mengingat keadaan yang semakin tidak kondusif, CLS mengeluarkan rilis pers tanggal 30 Mei mengenai pembatalan diskusi. Dalam rilis tersebut, diterangkan tujuan diskusi untuk membahas dan meluruskan persepsi publik akan wacana pemberhentian presiden karena dianggap gagal menangani COVID-19. Oleh karena itu, diskusi ini melihat dari perspektif hukum dan tata negara.
Ormas Muhammadiyah Klaten turut menanggapi pencatutan namanya dalam aksi teror tersebut dengan mengeluarkan rilis pers tanggal 30 Mei. Dalam rilis pers tersebut diterangkan bahwa aksi teror pembunuhan bukanlah berasal dari organisasinya. Selain itu, mereka mengecam aksi teror dan menuntut pihak kepolisian mengusut tuntas pencatutan nama organisasi mereka.
Hal serupa juga dikatakan Mahdi Yahya mewakili Sinergi Lembaga Mahasiswa FH UGM. Ia menyatakan bahwa mereka mengecam adanya aksi teror dan peretasan yang dialami CLS. “Pemberangusan kebebasan akademik masih terjadi sampai sekarang,” jelas Ketua Departemen Aksi dan Propaganda DEMA Justicia tersebut. Bentuk solidaritas kepada CLS juga digalakkan oleh DEMA Justicia dalam sosial media dengan aksi bertagar #standwithCLS. Aksi ini mendapat respons positif dari berbagai akun yang menggalakkan tagar serupa hingga muncul gerakan solidaritas.
Mahdi menyinggung kasus tuntutan kebebasan akademik yang pernah terjadi sebelumnya dalam aksi bertajuk “Menggugat Gadjah Mada” dan mengindikasikan bahwa isu ini memang belum terselesaikan sampai sekarang. “Kami berupaya menggalakkan kesadaran kebebasan akademik ini agar semua masyarakat dapat saling mendukung dan menguatkan,” ungkap Mahdi.
Sigit Riyanto selaku Dekan FH UGM, mengeluarkan rilis pers FH UGM sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan akademik melalui diskusi. Ia menyesalkan aksi teror dan peretasan ini karena merupakan suatu bentuk ancaman demokrasi. Tanggapannya tersebut ia kemukakan dalam diskusi Tempo tanggal 31 Mei bertajuk “Mengapa Diskusi dan Tulisan Diteror”. Sigit memaparkan bahwa secara hukum, sudah menjadi kewajiban negara untuk mengamankan seluruh kegiatan akademik agar berjalan lancar.
Bagi Sigit, ancaman teror ini tidak hanya merugikan akademisi, melainkan masyarakat secara luas. Menurutnya, menakut-nakuti dengan teror seperti ini akan mengancam kebebasan akademisi untuk berpikir cerdas. “Kalau sampai entitas kampus kena represi, lalu apa yang bisa kita harapkan?” imbuhnya.
Menurut keterangan Aditya saat dihubungi Balairung, saat ini CLS sedang berupaya menjamin keselamatan diri. CLS juga meminta bantuan SAFEnet terkait perlindungan dari peretasan. Ia juga menambahkan, “Sampai saat ini, belum ada tindakan langsung dari universitas mengenai adanya mahasiswa yang diteror dan diretas,” jelas Aditya.
Setelah permasalahan teror ini ramai dibincangkan, Iva Ariani selaku Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, menyangkal adanya keterlibatan pihak kampus dalam diskusi tersebut. Dimuat dalam detik.com bahwa diskusi yang diinisiasi CLS bukan acara resmi dari universitas. Namun, setelah kami berusaha untuk meminta keterangan Iva mengenai respons dan tindakan lanjut UGM akan aksi teror ini, ia tidak menanggapi.
Penulis: Deatry Kharisma Karim
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih
Ilustrator: Samuel Johanes