Awal Maret lalu, untuk pertama kalinya dikabarkan ada warga Indonesia positif COVID-19. Jagat media sosial yang dibanjiri dengan informasi COVID-19 kemudian memunculkan kepanikan masyarakat. Beberapa masyarakat kelas menengah mulai panik dan berbondong-bondong ke pusat perbelanjaan untuk membeli sebanyak-banyaknya bahan makanan (panic buying). Respons masyarakat dengan melakukan panic buying ini masih ditambah dengan adanya masalah penimbunan masker dan mematoknya dengan harga yang sangat tinggi. Hal demikian pun dapat terjadi karena oknum tersebut memanfaatkan kepanikan yang melanda. Kedua kejadian tersebut seakan membuka tabir betapa masyarakat Indonesia tidak siap dengan apa yang sedang terjadi. Kasus tersebut seakan menjadi gambaran awal yang buruk dalam penanganan virus ini ke depan. Bahwa masyarakat masih merespon wabah COVID-19 dengan sikap yang mementingkan diri sendiri.Ā
Perlunya Upaya Kolektif
Permasalahan pandemi seperti COVID-19 dapat ditanggulangi dengan upaya kolektif dan meninggalkan ego masing-masing. Permasalahan COVID-19 dalam pandangan ahli dapat diselesaikan dengan memutus rantai penularan penyakit. Seperti kita ketahui, COVID-19 merupakan virus yang penyebarannya bersifat eksponensial. Sehingga hanya butuh waktu singkat untuk virus ini dapat menjangkiti banyak masyarakat. Hingga 25 April 2020, tercatat sebanyak 8.607 orang di Indonesia positif COVID-19. Artinya hanya butuh 54 hariāsejak kasus pertama 2 MaretāCOVID-19 dapat menyebar ke orang sebanyak itu, sehingga memutus rantai penyebarannya merupakan kunci yang utama.Ā
Sikap yang mengedepankan ego masing-masing melalui praktik panic buying dan menimbun masker justru akan menjadi kontradiktif dengan semangat memutus rantai penyebaran. Dalam kasus penimbunan masker misalnya, hanya orang-orang dengan kemampuan ekonomi tinggi yang akhirnya dapat mengakses kebutuhan tersebut, orang-orang dengan kemampuan yang lebih rendah akan kesulitan mengaksesnya. Padahal masker merupakan peralatan penting untuk mencegah penularan. Sehingga dengan akses masker yang sulit upaya pencegahan penularan COVID-19 semakin sulit pula. Dalam kasus panic buying, membeli bahan makanan sebanyak-banyaknya justru akan berpotensi menciptakan kesulitan akses terhadap barang-barang tersebut. Dan lagi-lagi hanya orang-orang dengan kemampuan ekonomi mapan yang dapat mengaksesnya. Dengan demikian sikap yang mementingkan diri sendiri justru akan memperparah keadaan. Penanganan pandemi ini harus ditangani secara kolektif dan mengedepankan kepentingan bersama.Ā
Munculnya SolidaritasĀ
Di satu sisi kita melihat betapa reaksi tersebut seakan menjadi potret buram dalam upaya penanganan COVID-19 ke depannya. Namun di sisi lain ada juga cerita positif yang seakan membawa angin segar di tengah kepanikan yang terjadi. Angin yang membawa asa di tengah nestapa. Ia adalah solidaritas masyarakat yang muncul sebagai upaya penanganan COVID-19. Praktik solidaritas ini memiliki berbagai macam sasaran, mulai dari warga terdampak secara ekonomi hingga para petugas kesehatan yang menjadi garis depan penanganan COVID-19. Inisiatif untuk membantu masyarakat ini muncul dari berbagai kalangan.Ā
Dari Yogyakarta, salah satu inisiasi solidaritas dilakukan oleh Obed Kresna, Ahmad Fikri Danurdoro, dan Galih Kartika. Obed dkk bergerak berdasarkan keresahan mereka pada fakta bahwa masih banyak pekerja informal yang masih harus ke luar rumah untuk bekerja, namun mereka tidak memiliki alat-alat yang dibutuhkan untuk pencegahan penularan virus. Dari situ Obed dkk menginisiasi gerakan āGotong Royong Bantu Usaha Kecil Cegah Covid-19ā. Gerakan tersebut berhasil menggalang donasi yang terkumpul sebanyak Rp 13.754.000. Uang tersebut disalurkan dalam bentuk hand sanitizer, sabun cuci tangan, dan disinfektan kepada pekerja informal di sekitar Yogyakarta.Ā
Cerita yang lain datang dari Nabila Pramono, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Nabila dan kawan-kawan menggalang donasi dalam rangka membantu pengadaan fasilitas Alat Pelindung Diri (APD) tenaga medis yang di beberapa rumah sakit masih sangat terbatas jumlahnya. Inisiasi donasi tersebut terkumpul sebanyak Rp 48.538.045 yang kemudian diberikan dalam bentuk 710 hazmat, 300 buah face shield, 60 box handscoon, 21 box surgical mask, dan 4 buah N95 mask. Bantuan tersebut kemudian disalurkan ke 13 rumah sakit yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tentunya masih banyak cerita inisiasi praktik donasi lain yang telah dilakukan. Dua kisah tersebut saya pilih hanya karena kebetulan saya mengenal inisiator masing-masing penggalangan dana. Poinnya adalah bahwa masih ada cerita-cerita kebaikan dari orang-orang yang bersedia menggalang donasi untuk turut berperan dalam upaya penanganan COVID-19. Hal yang menarik adalah praktik solidaritas yang marak ini justru terjadi ketika aturan physical distancing juga sedang gencar-gencarnya.Ā Ā
Cara Baru BersolidaritasĀ
Praktik solidaritas bukanlah barang baru di Indonesia, praktik tersebut justru telah melekat pada diri bangsa Indonesia yang mengusung semangat gotong-royong. Tidak heran masyarakat kadang punya mekanisme sendiri dalam upaya penyediaan kesejahteraan masyarakatnya di saat negara tidak mampu. Praktik demikian bahkan sudah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Praktik ini yang kemudian disebut sebagai penyediaan kesejahteraan informal (informal welfare provision). Sebagai contoh, masyarakat Jawa sudah menerapkan mekanisme ini seperti dalam pelayanan kesehatan, kematian, hingga kesehatan. Praktik tersebut dapat dilihat dari adanya bantuan uang melalui adanya layatan, jimpitan, hingga arisan. Semua ini dilaksanakan berdasar asas gotong royong dan rasa solidaritas yang tinggi untuk menolong sesama masyarakat.
Namun jika dilihat praktik solidaritas tersebut memiliki beberapa ciri khas. Pertama, semangat gotong royong hanya terjadi di tingkat yang cakupannya tidak luas. Biasanya mekanismenya diadakan di tiap desa atau dusun. Kedua, praktik ini juga berlandaskan kekerabatan yang erat. Masyarakat yang punya sistem informal welfare provision biasanya merupakan masyarakat yang memiliki tingkat kekerabatan yang erat. Kedua hal tersebut yang mendasari argumen mengapa sistem yang demikian hanya terjadi di daerah rural yang masih memiliki modal sosial yang kuat. Sehingga juga mendasari penjelasan mengapa masyarakat urban yang individualis dianggap kehilangan rasa solidaritas dan semangat gotong royong.Ā
Namun apakah benar masyarakat urban modern benar-benar kehilangan rasa solidaritasnya? Melihat banyaknya praktik solidaritas yang dilakukan di masa pandemi ini saya berpikir bahwa mungkin harus ada cara baru dalam memandang makna solidaritas. Bahwa prasyarat solidaritas yang lekat dengan suatu daerah tertentu dan membutuhkan kekerabatan yang kuat bisa ditinjau ulang. Sedikit cerita dari Obed dan Nabila dapat menjadi gambaran bahwa ada cara baru dalam memandang solidaritas.Ā
Obed dkk yang dapat mengumpulkan uang sebanyak 13 juta mungkin tidak akrab dengan semua orang yang menyalurkan donasi tersebut, bahkan sangat mungkin tidak kenal sama sekali. Obed dkk juga tidak tahu dari daerah mana bantuan itu datang. Dari suku mana dan agamanya apa si pemberi donasi dapat dipastikan Obed tidak mengetahui hal itu. Para pekerja informal yang diberi bantuan oleh Obed pun belum tentu juga kenal apalagi akrab dengan dia. Begitu pula dengan Nabila, Nabila tidakĀ tahu atau bahkan peduli latar belakang dan identitas orang-orang yang memberikan donasi untuk gerakan yang digagasnya. Nabila juga tidak mengenal siapa saja tenaga medis dan pengurus rumah sakit yang ia beri bantuan peralatan medis. Dari dua cerita tersebut kita tahu bahwa Obed, Nabila, dan orang-orang yang memberi donasi tidak bersolidaritas atas dasar kekerabatan. MerekaĀ juga tidak terikat oleh satu wilayah tertentu untuk bergerak. Mereka bergerak atas nama kemanusiaan untuk membantu mereka-mereka yang sedang didera dan berjuang melawan COVID-19.Ā
Dengan demikian, solidaritas dan gotong royong kini tidak selalu terbatas pada praktik-praktik konvensional saja. Bahwa kekerabatan atau bahkan kesamaan identitas tidak lagi menjadi prasyarat bagi hadirnya sebuah solidaritas. Upaya menciptakan informal welfare provision pun tidak lagi terbatas pada rasa solidaritas konvensional. Obed dan Nabila serta para penggagas gerakan donasi lainnya telah membuktikan bahwa jarak dan perbedaan tempat tinggal bukan alasan untuk tidak bersolidaritas. Hal tersebut bisa dilakukan secara lintas area. Itu yang bisaĀ disebut sebagai bersolidaritas dengan cara yang baru.
Bukan Hanya Soal DonasiĀ
Namun demikian, dalam konteks pandemi seperti sekarang solidaritas bukan hanya tentang memberikan donasi. Ia dapat dipahami secara lebih luas. Segala upaya untuk mendukung pemutusan rantai penularan COVID-19Ā juga dapat dikatakan bersolidaritas. Salah satu praktik paling mudahnya adalah dengan tetap tinggal di rumah. Upaya tersebut terasa seperti praktik individualistik, namun secara tidak langsung turut mendukung pencegahan penularan COVID-19. Artinya, meskipun saat ini kita semua yang sedang menerapkan #dirumahaja hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun, sebenarnya kita sedang bersolidaritas untuk sama-sama mengakhiri COVID-19. Raga kita yang berjarak bukan berarti jiwa kolektif kita juga berjarak. Kita saat ini sama-sama sedang melakukan solidaritas dari rumah dengan cara masing-masing.Ā
Kontributor: Saqib Fardan Ahmada
Tulisan ini merupakan kontribusi dalam āBerbagi dalam Pandemiā, sebuah proyek penggalangan dana untuk pihak terdampak COVID-19. Proyek ini merupakan kerja sama dengan Clapeyron dan BPPM Equilibrium dan tulisan-tulisan kontribusi lainnya dapat dibaca dengan mengunjungi situs tersebut.