Aku hamparan hijau.
Tempat mereka berkelana, menari, menjalin mimpi yang tak pernah usai.
Lama murung menyapa wajahku, lama air mata berusaha kutahan.
Kuasa mencipta indah untuk mereka,
sekarang adakah keadilan untukku?
Bukan aku mengadu merasa tak guna, namun mimpi-mimpi mereka yang perlahan mengubah alur jadi tak tentu.
Ada yang salah.
Mereka belum belajar tentang apa bahagia.
Mereka belum paham arti sembuh.
Tiba-tiba ada yang berbeda di petikan waktu kini.
Angin pilu berhembus ke arah kepongahan yang selama ini rekah.
Kulihat mereka sembunyi, mengurung diri.
Raut ketakutan mulai terlukis mengganti topeng yang dahulu mereka pakai.
Aku akhirnya ditinggal sendiri.
Dalam sepi-sunyi yang mereka cipta, kubenahi diri, kurapikan yang berantakan.
Setelah selesai, kuperhatikan mereka sekali lagi. Ada yang berubah dari ronanya.
Oh, aku baru sadar.
Mereka mampu menumbuhkan mekar bunga meski tanpaku.
Sebuah mimpi terwujud lebih indah dari sebelumnya.
Tangan-tangan bergandengan, kalimat penyemangat didendangkan.
Bersih hati mereka oleh cucuran air mata sadar.
Ini waktu sulit untuk mereka.
Namun makna bahagia tersurat di dalamnya.
Ya, mereka akhirnya belajar apa itu bahagia.
Sesuatu yang tak dinikmati sepasang mata, sepasang telinga, dan satu perut saja.
Sesuatu yang mengantarkan mereka menyapa sembuh.
Setelah semua berakhir, kutunggu kedatangan mereka dengan harapan,
manis rasa gembira dan harum bau kepedulian.
Selama semakin kuat dalam cinta, tak ada salah sementara kokoh bertahan.
“Sampai jumpa di waktu sembuh.”
Sleman, 9 Mei 2020.
Kontributor: Kuntum Khaira Ummah
Tulisan ini merupakan kontribusi dalam “Berbagi dalam Pandemi”, sebuah proyek penggalangan dana untuk pihak terdampak COVID-19. Proyek ini merupakan kerja sama dengan Clapeyron dan BPPM Equilibrium dan tulisan-tulisan kontribusi lainnya dapat dibaca dengan mengunjungi situs tersebut.