Baru-baru ini, pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Meski tidak menyasar masyarakat adat secara langsung, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan keberatannya atas keberadaan RUU tersebut. Melalui laman resmi AMAN, ia mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan data Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), terjadi 1.769 konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat pedesaan pada 2015—2018. Dari data tersebut, AMAN mengidentifikasi sembilan lokasi investasi lahan yang mengabaikan hak masyarakat adat. Selain persoalan investasi, AMAN juga menemukan 125 masyarakat adat di sepuluh wilayah yang menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan.
Atas dasar ini, BALAIRUNG mewawancarai Tody Sasmitha Jiwa Utama, S.H., LL.M., dosen hukum adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ia menyampaikan pandangannya mengenai pengaruh RUU Cipta Kerja terhadap kehidupan masyarakat adat. Meski tidak tercermin secara jelas di pasalnya, Tody menganggap RUU Cipta Kerja dapat membuka ruang konflik yang semakin besar. Selain itu, ia juga menyayangkan ketidaksiapan negara dalam menyediakan jaring pengaman dalam penyelesaian konflik.
Bagaimana kondisi masyarakat adat saat ini?
Dari perspektif hukum, masyarakat adat masih membutuhkan pengakuan bersyarat yang sifatnya berlapis. Maksudnya, harus ada pernyataan dari negara bahwa mereka mengakui masyarakat adat beserta hak-haknya. Ketika pengakuan itu diterjemahkan menjadi lebih operasional, ia harus disampaikan dalam bentuk peraturan. Kalau sekarang, kebanyakan bentuknya itu Peraturan Daerah (Perda). Otomatis, kalau masyarakat adat diakui, maka harus diatur dalam Perda. Untuk bisa diakui oleh Perda, masyarakat adat harus memenuhi beberapa ketentuan supaya bisa diakui sebagai masyarakat adat. Ketentuan itu mencakup hal-hal seperti memiliki wilayah, memiliki pemerintahan, memiliki hukum adat, dan sebagainya.
Selain itu, di dalam Perda, wilayah adat ditentukan luasnya. Namun selama ini wilayah adat sering kali diklaim sebagai wilayah negara. Klaim tersebut dilakukan misalnya dengan mekanisme utang negara atau ketika negara memberikan konsesi kepada perusahaan. Dampaknya, syarat untuk diakui di Perda menjadi sulit dicapai. Di sisi lain, meski sudah banyak Perda yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat, kenyataannya Perda yang ada tidak memberikan manfaat yang signifikan. Perda yang ada juga masih belum bisa membantu masyarakat adat ketika berhubungan dengan perusahaan.
Meski sudah banyak Perda yang mengatur tentang masyarakat adat, Perda yang ada hanya mengakui masyarakat adat sebagai subjek saja. Dengan ini, mereka harus menempuh lagi proses pengakuan terhadap haknya. Hal ini dapat dibandingkan dengan posisi kita sebagai warga negara. Kita dapat dengan mudah menunjukkan identitas kita melalui KTP. Akan tetapi, masyarakat adat harus menempuh proses pengakuan identitas itu terlebih dahulu. Mereka juga masih harus menempuh proses pengakuan haknya atas wilayah adat. Sudah tanahnya rentan konflik, harus menempuh proses untuk mendapatkan sertifikat tanah pula.
Bagaimana peraturan hak milik tanah masyarakat adat dijalankan dalam kenyataannnya?
Semua masyarakat adat punya mekanisme peraturan tanah, meliputi bagaimana tanah didistribusikan, dan bagaimana mereka hanya boleh memanfaatkan bagian tertentu dari tanah. Ada juga masyarakat adat yang punya mekanisme internal ketika berhadapan dengan pihak ketiga. Tetapi, itu yang selama ini diintervensi oleh negara. Misalnya, ketika masyarakat adat harus bernegosiasi dengan perusahaan, negosiasi itu sudah timpang sejak awal. Perusahaan memiliki akses lebih pada pendidikan, modal, hingga alat paksa negara. Di sisi lain, meski tidak bisa disamaratakan, masyarakat adat kerap tidak punya akses lebih untuk itu.
Selama ini, pengambilan paksa tanah adat oleh perusahaan memang kerap terjadi. Sebab, orientasi konsesi lahan tidak pernah mempertimbangkan apakah ini hutan keramat atau kuburan nenek moyang. Namun, ini akan menjadi masalah bagi masyarakat adat ketika tanah-tanah mereka ditempati paksa oleh perusahaan. Masyarakat adat tidak memiliki pengakuan formal, sementara perusahaan punya pengakuan formal lewat Surat Keputusan Menteri atau Surat Keputusan dari daerah soal perizinan. Nah, ketika informal bertemu dengan formal dan diselesaikan secara formal, kita sudah bisa membayangkan hasilnya.
Akhir-akhir ini, RUU Cipta Kerja menjadi bahasan hangat masyarakat. Meski secara tidak langsung, terdapat indikasi bahwa RUU Cipta Kerja semakin melegitimasi kerentanan itu. Sebenarnya, apa yang bermasalah dalam RUU Cipta Kerja?
RUU Cipta Kerja ini lahir dari paradigma developmentalism. Paradigma itu meyakini bahwa yang bisa mengangkat derajat orang adalah pembangunan dan peningkatan ekonomi. Masalahnya, kalau kita bicara masyarakat adat, yang kerap terjadi justru permasalahan ekonomi. Contohnya seperti yang terjadi di Kampar, Riau. Harga karet di sana bisa lebih dari sepuluh ribu per kilo. Dalam keadaan ini, masyarakat adat masih bisa makan, masih bisa bertahan hidup. Akan tetapi, kalau di musim hujan seperti sekarang ini, mereka menyadap karet saja tidak bisa. Kalaupun bisa, harga karet menjadi di bawah sepuluh ribu, jauh lebih murah dari harga beras. Padahal, itu pemasukan utama mereka. Pertanyaannya, RUU Cipta Kerja dengan paradigma pembangunan itu akan mendukung pembangunan yang mana? Kalau paradigma itu mendukung kepentingan pengembangan investasi, tentu tidak akan selaras dengan kepentingan kebanggaan atas identitas oleh masyarakat adat. Nah, arah RUU Cipta Kerja tidak sedang membangun ekonomi plural, melainkan membangun ekonomi dengan pemodal besar yang bisa masuk dan menentukan pasar. Pilihan itu yang menurut saya menjadi persoalan.
Jika disahkan, sejauh mana RUU Cipta Kerja dapat mengubah kehidupan masyarakat adat?
Kalau dibaca pasal per pasal, secara langsung tidak ada. Akan tetapi, apabila kita lihat lagi, masalah yang ada di masyarakat adat adalah tentang perebutan ruang hidup. Sementara itu, RUU Cipta Kerja memberi peluang bagi pemodal besar untuk memperluas konsesi lahan mereka. Otomatis, itu akan membuat masyarakat adat terhimpit. Kalau ruang hidupnya saja terhimpit, ukuran-ukuran moralitas menjadi tidak penting lagi. Bisa jadi, kekerasan akan muncul di situ. Selain itu, keberadaan RUU Cipta Kerja juga menyebabkan masyarakat adat yang terlibat dalam konflik menjadi oportunis. Artinya, mereka akan berpikir cara memenuhi kebutuhan jangka pendek saja.
Kemudian, akan muncul juga ketergantungan bagi masyarakat adat untuk bekerja di perusahaan. Ketergantungan ini akan menimbulkan, pertama, kerentanan ekonomi. Masyarakat adat yang hidup dengan model produksi bervariasi, kini hanya menggantungkan hidup pada perusahaan yang bersifat monokultur. Kedua, kerentanan sosial. Setiap perusahaan sejatinya memiliki prinsip migrasi. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk ekspansi lahan, tak terkecuali wilayah adat. Manuver perusahaan yang seperti ini memiliki orientasi bekerja dan mencari uang, bukan menjalin hubungan baik dengan sesama. Artinya, perusahaan tidak memiliki kepentingan yang sama dengan masyarakat adat. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan akan bertemu dengan masyarakat adat yang kondisinya sudah terhimpit secara ekonomi dan tidak punya pilihan lain untuk model produksinya. Ketiga, kultural. Pada beberapa kasus, narkotika sudah masuk ke masyarakat adat. Akibatnya, orientasi pemuda adat sudah bukan lagi menjaga wilayah, tetapi bagaimana memanfaatkan wilayah agar bisa mendapatkan keuntungan. Apa yang kemudian diperjuangkan sebagai kelestarian ekologis menjadi tidak ada. Omong kosong jadinya saat pemerintah datang dan meminta masyarakat adat menjaga kelestarian alam.
Sejatinya, investasi yang didorong oleh RUU Cipta Kerja itu mengubah cara hidup masyarakat adat. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menyiapkan masyarakat adat untuk merespons hal itu dengan baik? Atau kita malah memaksa mereka untuk berubah dengan perubahan yang tidak mereka inginkan? Kapan mereka harus berubah itu mereka yang menentukan, bukan paksaan dari negara. Jadi, masyarakat adat akan semakin rentan ketika kita bicara RUU Cipta Kerja.
Apakah RUU Cipta Kerja berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat?
Tanpa ada itu pun, kriminalisasi sudah terjadi sejak dulu.
Berarti, dengan adanya RUU Cipta Kerja, kriminalisasi semakin dilegitimasi?
Iya. Tetapi, saya tidak ingin terlalu jauh. Yang pasti, efek RUU Cipta Kerja adalah semakin terbukanya ruang konflik. Kalau konflik yang ditimbulkan berujung pada kriminalisasi, bisa jadi. Atau konflik ini berujung pada penembakan masyarakat adat, seperti beberapa kasus, bisa jadi. Kriminalisasi bukan menjadi ujung yang pasti. Ketika kita bicara konflik, akan banyak yang terjadi di situ.
Apakah RUU Cipta Kerja dapat mempengaruhi identitas masyarakat adat?
Ada satu hal yang sering digaungkan aktivis dan orang-orang yang membela masyarakat adat, bahwa masyarakat adat itu menolak investasi dan pembangunan. Sebagian menolak, sebagian justru sangat terbuka dengan investasi dan pembangunan. Nah, apakah ini berpotensi mengubah identitas? Dari perspektif esensialis, jawabannya iya. Itu akan menghilangkan identitas, menghapus bahasa. Cara mereka berkomunikasi juga akan berubah. Belum lagi efek intergenerational trauma atau pewarisan trauma akibat berkonflik sejak dahulu. Itu mengubah cara masyarakat adat memendam suatu masalah dan cara mereka memandang identitasnya. Kalau kakeknya beridentitas masyarakat adat lalu ditembak mati oleh aparat ketika berkonflik, maka cucunya tidak akan menggunakan identitasnya sebagai masyarakat adat.
Meskipun begitu, seperti yang sudah saya katakan, ada juga masyarakat adat yang mendukung investasi. Dengan masuknya perusahaan ke wilayah masyarakat adat, mereka bisa diuntungkan dengan ganti rugi atau kompensasi lahan. Bahkan, pada beberapa kasus, mereka justru ribut karena tidak adilnya pembagian keuntungan, bukan masalah pengambilalihan lahan. Maka dari itu, perlu dipahami bahwa tipologi posisi masyarakat adat terhadap investasi itu berbeda-beda. Ada yang benar-benar tidak toleran terhadap investasi. Ada pula yang setuju terhadap investasi, sepanjang kompensasinya adil, atau ada syarat yang harus dipenuhi perusahaan. Jadi, soal identitas, akan menjadi konsekuensi. Buat saya, kompas moralnya ada pada apakah perubahan identitas itu sesuatu yang memang disadari atau dikehendaki oleh masyarakat adat itu sendiri. Akan menjadi persoalan ketika mereka tidak sadar karena dimanipulasi atau diiming-imingi oleh perusahaan.
Ada potensi terjadi konflik internal?
Konflik internal itu mungkin terjadi, seperti konflik antara kelompok tua dan muda. “Saya tidak mau menjadi seperti kakek atau ayah saya, saya mau bekerja di perusahaan,” misalnya. Konflik bisa juga terjadi di antara para elite adat. Misalnya saja di Sumatera. Ada perusahaan yang berkonflik dengan elite adat. Kemudian, perusahaan itu mendorong pembentukan lembaga adat baru. Intinya, perusahaan itu mensponsori lembaga elite lain untuk bertarung dengan lembaga adat yang menolak perusahaan. Makanya, seperti yang saya bilang tadi, RUU Cipta kerja ini akan berujung pada terbukanya peluang konflik yang lebih besar. Baik internal maupun eksternal. Apapun ujungnya, mau kriminalisasi, mau bencana ekologi, akan sangat bervariasi.
Bagaimana kesiapan negara dalam menghadapi konflik semacam itu selama ini?
Selama ini, Indonesia tidak punya safeguard atau jaring pengaman untuk menangani konflik, terutama yang melibatkan masyarakat adat. Kita memang punya Undang-Undang (UU) penanganan konflik sosial. Namun UU tersebut tidaklah signifikan karena tidak punya kapasitas sebagai jaring pengaman. Kalau jaring pengaman, isinya akan menitikberatkan pada apa saja yang harus dilakukan ketika terjadi konflik. Ia juga berisi langkah-langkah yang harus dilakukan, aspek-aspek yang harus dipertimbangkan, apa yang harus dihormati, hingga apa yang tidak boleh dilangkahi dalam menyikapi konflik. Jadi, di satu sisi, RUU Cipta Kerja membuka peluang konflik lebih besar, di sisi lain, kita tidak punya jaring pengaman untuk konsekuensi yang ditimbulkan dari RUU itu. Satu-satunya solusi yang diambil pada situasi seperti ini adalah daya paksa, yaitu lewat polisi dan tentara.
Jika begitu, masyarakat adat yang pro investasi akan rentan dimanipulasi oleh perusahaan demi melancarkan konsesi?
Sangat rentan. Perusahaan secara alamiah tidak punya standar moral untuk mempertahankan ruang hidup masyarakat adat. Lalu, akan muncul manipulasi dengan tawaran uang atau dukungan jangka pendek. Dalam kondisi seperti ini, negaralah yang seharusnya hadir untuk menjaga relasi ini supaya tidak timpang. Harapannya, negosiasi antara perusahaan dengan masyarakat adat dilakukan dengan adil, menghormati apa yang diinginkan masyarakat adat, juga tidak manipulatif.
Apakah dengan adanya RUU Cipta Kerja ini, bisa dikatakan kalau negara tidak hadir untuk melindungi masyarakat adat?
Persoalannya, kita melihat RUU Cipta Kerja seperti membayangkan sentralisasi Soeharto saat mengeluarkan kebijakan. Seolah-olah semua berasal dari pusat, lalu kemudian akan terimplementasi secara konsisten dan konsekuen di daerah. Di satu sisi, bisa jadi daerah memilih untuk melindungi masyarakat adat. Atau sebaliknya, daerah justru memanfaatkan situasi yang dibuka oleh RUU Cipta Kerja untuk mengambil keuntungan. Saya pribadi tidak ragu dengan asumsi bahwa pembangunan akan meningkatkan taraf hidup orang banyak. Tetapi, ketika pembangunan ini diarahkan pada pembangunan ekstraktif, seperti pertambangan yang bersifat monokultur, kecenderungannya tidak ada masyarakat adat yang sejahtera. Otonomi memperburuk situasi itu karena akan memunculkan raja-raja kecil dan elite-elite lokal. Dengan adanya RUU Cipta Kerja, bisa dilihat bahwa pembangunan yang dimaksud pemerintah arahnya tidak jelas. Karena RUU ini menggunakan pendekatan makro, dia tidak punya sensitivitas. Jadi, perihal apakah bisa dikatakan negara tidak hadir untuk melindungi masyarakat adat, saya melihat negara tidak punya keinginan untuk itu.
Penulis: Andara Rose
Penyunting: Harits Naufal Arrazie