Kamis (12-03), Fakultas Hukum UGM bekerja sama dengan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Badan Penerbitan Pers Mahkamah Fakultas Hukum UGM mengadakan mini-conference dengan mengusung tema “Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: What’s next?” menghadirkan beberapa pembicara, yakni Meutya Viada Hafid, ketua komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Elsam; Dr. Sinta Dewi Rosadi, S.H, LL.M, dosen sekaligus peneliti cyber law Universitas Padjajaran; serta Dr. Richo Andi Wibowo, S.H, LL.M, dosen Hukum Administrasi Negara UGM. Para pembicara tersebut memimpin jalannya diskusi seputar upaya negara dalam menjamin perlindungan data pribadi kepada masyarakat.
Dalam keynote speechnya sebagai pembuka sesi diskusi, Meutya Hafid menekankan pada urgensi negara untuk segera memiliki Undang-Undang (UU) yang mengatur perihal data pribadi masyarakat, sebagai sarana baik dalam konteks preventif maupun represif untuk melindungi warga negara atas pencurian data. “RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) adalah salah satu Prolegnas yang bertujuan untuk melindungi privasi data seseorang. Tidak hanya individu, tapi juga harus dapat melindungi kedaulatan negara,” jelas Meutya.
Jika ditinjau dari segi penyerahan solusi, pernyataan Meutia dapat ditafsirkan bahwa DPR hendak menyelesaikan masalah maraknya pencurian data melalui mekanisme penyusunan UU. Hal tersebut disambut positif oleh Wahyudi Djafar yang telah lama meneliti kasus pencurian data pribadi secara ilegal, baik di wilayah Indonesia hingga dunia. “Tidak adanya peraturan perlindungan data berimplikasi pada rentannya perlindungan data seseorang, yang berakibat pada berbagai kerugian. Tidak hanya ekonomi, misalnya pembobolan rekening, tetapi juga terancamnya jiwa, seperti pada kasus manipulasi informasi kesehatan,” terangnya.
Sinta Dewi menambahkan bahwa semakin majunya perkembangan teknologi informasi, negara tentu akan menghadapi maraknya pencurian informasi data pribadi yang menyerang warga negaranya. Sinta berharap pada lahirnya regulasi yang mampu mengatur hingga dapat memberikan sanksi yang jelas bagi para pelaku yang menjadi keniscayaan bersama seluruh rakyat Indonesia. “Jika tidak segera dicari solusinya, maka tindakan pencurian data akan menjadi chilling effect, yang tentunya akan meng-undermind demokrasi, serta menurunkan kreativitas inovasi pada diri seseorang,” ungkap Sinta untuk menguatkan mosi legislasi sebagai upaya penanggulangan masalah. “Indonesia sudah seharusnya memiliki RUU yang mampu menjamin terlindunginya data pribadi seseorang,” tambah Sinta.
RUU PDP yang digaungkan akan segera disahkan ke dalam lembaran negara, bukan berarti sudah sepenuhnya sempurna. Terdapat beberapa catatan terkait substansi dari segi yuridis yang perlu untuk dikaji ulang agar tidak menjadi bumerang bagi masyarakat yang pada hakikatnya menjadi objek yang seharusnya dilindungi. Hal ini setidaknya selaras dengan beberapa usul yang disampaikan Richo dalam sesi diksusi yang menyampaikan beberapa kritik soal substansi yang dianggapnya kurang tepat pada RUU tersebut. “Pembadanan sanksi pidana dalam RUU PDP harusnya bersifat ultimum remedium (pidana sebagai alternatif akhir), dan prinsip dalam penerapan sanksi haruslah proporsional dan melindungi yang dirugikan,” tuturnya.
Richo menambahkan bahwa hal tersebut disebabkan pendekataan pemidanaan yang ada dalam RUU PDP bersifat primum remedium (pidana sebagai pilihan pertama). Hal itu dikhawatirkan justru dapat menjadi alat penambah kerugian bagi korban kasus pencurian data. “Draf yang ada tersebut, agaknya men-setting agar uang denda pidana masuk kembali ke kantong negara, dan bukan mengembalikan kerugian pemilik data pribadi yang dirugikan,” lanjut Richo.
Diskusi kemudian ditutup dengan closing statement dari Richo yang pada intinya menilai RUU PDP sebagai sebuah solusi yang mampu untuk menekan laju kasus pencurian data pribadi. Namun, draf yang ada bukan berarti sudah sepenuhnya sempurna. Menurutnya, diperlukan pengkajian ulang yang dilandasi oleh transparansi serta dimotori oleh masukan serta tanggapan, baik dari kalangan pakar, akademisi, serta aktivis hingga masyarakat umum sebagai upaya untuk mewujudkan suatu negara yang berdiri di atas fondasi asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Penulis: Mochamad Akmal Prantiaji Wikanatha
Penyunting: Deatry Kharisma Karim
Erata: Sebelumnya di paragraf satu ditulis, “menghadirkan beberapa pembicara kondang yang berasal dari kalangan akademisi hingga politisi “elit” negeri. Meutya Viada Hafid-Ketua komisi I Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia (DPR-RI), Wahyudi Djafar- Deputi Direktur Riset Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, Dr. Sinta Dewi Rosadi, S.H, LL.M –Dosen sekaligus peneliti Cyber law Universitas Padjajaran Bandung, serta Dr. Richo Andi Wibowo, S.H, LL.M – Dosen Hukum Administrasi Negara UGM, adalah deretan tokoh dan pakar yang memimpin jalannya diskusi seputar upaya negara dalam menjamin perlindungan data pribadi kepada masyarakat.” Sekarang diubah menjadi, “menghadirkan beberapa pembicara, yakni Meutya Viada Hafid, ketua komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Elsam; Dr. Sinta Dewi Rosadi, S.H, LL.M, dosen sekaligus peneliti cyber law Universitas Padjajaran; serta Dr. Richo Andi Wibowo, S.H, LL.M, dosen Hukum Administrasi Negara UGM. Para pembicara tersebut memimpin jalannya diskusi seputar upaya negara dalam menjamin perlindungan data pribadi kepada masyarakat.”