![](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2020/03/IMG_6889-3-scaled.jpg)
©Erika/Bal
Minggu (8-3), berlangsung aksi “International Women’s Day Yogyakarta 2020” untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Massa aksi yang diestimasikan berjumlah 200 orang datang secara individual serta 28 organisasi, komunitas, dan kolektif yang mayoritas bergerak pada isu gender. Selain itu, hadir pula LBH Yogyakarta, Girl Up! UGM, AJI Yogyakarta, dan Perempuan Mahardhika dalam aksi tersebut. Massa aksi mulai melakukan longmars sepanjang Jalan Malioboro sekitar pukul 12.00 WIB.
Aksi tersebut muncul dari desakan untuk merespon kemunculan banyak isu dari berbagai sektor yang, baik secara langsung dan tidak, menyasar perempuan. Terdapat 40 tuntutan yang menyasar banyak sektor dalam masyarakat. Tuntutan tersebut menyasar baik isu yang secara langsung berdampak pada perempuan, maupun isu-isu dari berbagai sektor lainnya dengan berbagai lapisan problematika. Dalam orasi-orasi yang ditampilkan, kerap disuarakan terdesaknya dampak omnibus law dan RUU Ketahanan Keluarga pada perempuan serta RUU PKS untuk disahkan. Pembentukan ruang aman bagi perempuan di tiap-tiap kampus dan perlawanan terhadap diskriminasi dan kekerasan berbasis gender secara umum juga menjadi tuntutan massa. Di samping itu, aksi ini juga menyediakan penerjemah bahasa isyarat, bernama Aa Edo, yang menjadikan aksi ini lebih inklusif.
Poster-poster yang menyuarakan perlawanan terhadap penindasan, khususnya dengan fokus pada penindasan terhadap perempuan mewarnai kerumunan massa aksi. Seperti, “Tolak Omnibus Law!”, “Penuhi hak cuti haid dan hamil!”, dan Penuhi kesetaraan gender!”. Tak hanya itu, massa aksi juga menuntut hal-hal yang terkadang luput dalam diskursus mengenai isu gender. Misalnya, penghentian represi dan kekerasan oleh aparat militer, baik organik maupun nonorganik, di tanah Papua, penghentian eksploitasi alam oleh perusahaan tambang dan sawit, serta penghapusan subsidi untuk pejabat dan pengusaha.
“Melihat perjuangan perempuan secara multisektoral itu penting karena perempuan ada di mana-mana, di berbagai lapisan masyarakat,” ujar Dede dari Perempuan Mahardhika. Dede mengatakan bahwa penindasan yang dilangsukan terhadap perempuan terdiri dari banyak lapisan. Seorang perempuan tentu menyandang identitas lain di samping gendernya, tak luput kelas dalam struktur material-ekonomis yang melingkupinya. Dede menegaskan bahwa perlu adanya kepekaan yang tinggi dalam merespon isu perempuan dengan membaca konteks tuntutan tiap-tiap kelompok perempuan itu sendiri. Dalam satu orasi, Aprilia sebagai perwakilan dari AJI Yogyakarta menyerukan bahwa musuh perempuan ada di dinding kamarnya sendiri.
Aprilia menambahkan bahwa yang membuat perjuangan perempuan menjadi makin sulit adalah karena musuh perempuan, yakni patriarki, sulit dikenali. Dia juga menuturkan bahwa musuh perempuan secara individual seringkali orang terdekat seperti ayah atau suami. Kontinuitas gerakan perempuan, tambah Aprilia, perlu terus dilanggengkan. “Tak hanya berpusat di kampus-kampus, kita perlu memperluas diskusi dan kampanye mengenai isu-isu ini,” tukasnya.
Kayla Adisa, mahasiswa yang tergabung dalam Girl Up! UGM, menyatakan bahwa aksi ini menjadi signifikan dan darurat karena masyarakat perlu mendapatkan diskursus alternatif, khususnya mengenai kekerasan seksual. Ia mengungkapkan bahwa aksi langsung juga berfungsi sebagai sarana untuk memasyarakatkan isu, di samping melangsungkan kekuatan rakyat untuk mengintervensi pembuatan kebijakan. Namun, dia juga berpendapat otokritik terhadap gerakan perempuan itu sendiri pun penting untuk dilakukan. “Perlu ada evaluasi terhadap pendekatan dan metode yang digunakan dalam aksi seperti ini, ” pungkasnya.
Penulis: Widya Rafifa
Penyunting: Ima G. Elhasni