Dilansir dari Kompas, istilah omnibus law merupakan pembuatan regulasi yang menggabungkan aturan-aturan yang berbeda ke dalam satu payung hukum. Konsep omnibus law ini diaplikasikan oleh pemerintah pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Hadirnya RUU Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia telah menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Terlebih RUU Cipta Kerja tidak melibatkan para pakar dalam proses perancangannya. Sedangkan dalam rilis panitia yang diumumkan oleh Presiden Jokowi, banyak para perancang berasal dari latar belakang pengusaha. Sehingga hal ini memunculkan asumsi dari publik bahwa RUU Cipta Kerja akan menguntungkan segelintir pihak dan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Menanggapi persoalan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini, dia memberikan pandanganya mengenai implikasi RUU Cipta Kerja terhadap kerusakan lingkungan dan sikap pemerintah yang belum mempertimbangkan aspek keadilan dalam membentuk sebuah kebijakan. Guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai implikasi RUU Cipta Kerja, berikut hasil wawancara BALAIRUNG.
Melihat RUU Cipta Kerja yang berorientasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi, apakah keadaan ekonomi di Indonesia berada pada tingkat yang sangat parah?
Sebelumnya, Faisal Basri menilai bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainya. Menurutnya, persentase utang pada era Jokowi lebih rendah dibanding era SBY. Oleh karena itu, perlu ditanyakan kembali motif pemerintah dalam RUU Cipta Kerja. Menjadi wajar jika publik berasumsi RUU Cipta Kerja ini akan menguntungkan segelintir pihak dengan mengabaikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup.
Lantas apa maksud pemerintah dalam pembentukan RUU Cipta Kerja?
Menurut saya, RUU Cipta Kerja merupakan wujud ketidakadilan pemerintah dalam membentuk sebuah kebijakan. Dengan melapangkan akses perusahaan besar untuk mendirikan izin perusahaan, secara tidak langsung mempersulit akses masyarakat mendapatkan sumber daya. Dengan kata lain akan melanggengkan dan melanjutkan tren ketimpangan dan penindasan. Ketidakadilan di sini terlihat pada perubahan hak perpanjangan perizinan tanah usaha yang awalnya 30 tahun ditambah menjadi 90 tahun. Sementara masyarakat lokal yang berbasis usaha individu dan koperasi tidak mendapatkan hak semacam itu.
Apakah pertumbuhan ekonomi negara harus dicapai dengan mengesampingkan kelestarian lingkungan?
Kita harus berangkat dari sebuah konsep the paradox of revolution. Dalam konsep itu dijelaskan bahwa perusahaan-perusahaan perusak lingkungan itu sebenarnya mempunyai ketahanan menjalankan bisnis yang sangat rentan. Hal tersebut dikarenakan perusahaan itu diharuskan mengeluarkan dana di luar dana produksi untuk mempertahankan perusahaannya. Bentuk pengeluaran berupa suap kepada pemerintah terkait dengan izin mendirikan perusahaan. Sehingga saya kira logika pemerintah salah apabila hendak memangkas izin untuk memacu investasi dengan menurunkan standar lingkungan. Karena perusahaan berstandar internasional saat ini justru ragu untuk memasuki negara yang pengelolaan lingkungannya rendah. Keraguan tersebut dilatarbelakangi pada konsep the paradox of revolution. Kemudian apabila melihat sumber mereka yang berasal dari bank atau instansi yang mempunyai syarat pengelolaan lingkungan yang tinggi, kebijakan pemerintah justru keliru. Dengan dilonggarkannya pedoman lingkungan hanya akan mendatangkan perusahaan-perusahaan dengan peringkat hitam yang mencemari lingkungan.
Apakah ada alternatif lain agar investasi ekonomi dan perlindungan lingkungan dapat berjalan selaras dalam kebijakan pemerintah?
Tentu ada. Kebijakan pemerintah seharusnya dapat menjaga kelestarian lingkungan. Karena investasi dan produksi yang berorientasi pada perlindungan lingkungan berkelanjutan justru menjadi standar perusahaan internasional. Namun sepertinya RUU Cipta Kerja arahnya tidak ke sana. Perubahan konsep perizinan usaha dari berbasis lisensi menjadi berbasis risiko dalam RUU Cipta Kerja akan memunculkan masalah.
Sebelumnya, pada perizinan berbasis lisensi terjadi evaluasi lingkungan secara mendetail. Sehingga peluang sebuah perusahaan yang berizin melakukan perbuatan perusakan lingkungan menjadi sangat kecil. Sekarang dengan perizinan berbasis risiko, kegiatan perusahaan seperti membuang limbah secara ilegal tidak menjadi variabel yang dipertimbangkan pemerintah ketika mengeluarkan izin pendirian usaha.
Terkait perubahan perizinan yang terpusat, mengapa hal ini menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan?
Saya menilai perubahan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam RUU Cipta Kerja merupakan hal yang problematis. Karena memang sejak dulu AMDAL itu dalam implementasinya memang banyak masalah. Perizinannya banyak yang fiktif dalam artian hanya untuk formalitas sehingga mengabaikan aspek ilmiah. Selain itu analisisnya yang sering tidak diawasi komisi penilai. Hal tersebut membuat implementasinya menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Berangkat dari permasalahan itu, orientasi kita seharusnya memperbaiki dan memperkuatnya. Seperti partisipasi publik harus ditegakkan dan diberikan kekuatan intervensi. Namun RUU Cipta Kerja malah makin memperparah karena membuat partisipasi publik sangat terbatas. Hak penuntutan hanya terkhusus pada masyarakat yang terdampak langsung. Jadinya organisasi lingkungan sudah tidak bisa mengetahui informasi proses pembuatan AMDAL. Kebijakan ini menurut saya menggampangkan masalah. Karena dalam kenyataannya, secara politik masyarakat terdampak tersebut kekuatannya sangat lemah. Sedangkan organisasi lingkungan lainnya yang posisinya lebih kuat malah tidak bisa apa-apa.
Salah satu masalah di Indonesia adalah terkait masyarakat adat, apakah RUU Cipta Kerja dapat menyelesaikan persoalan itu?
Menurut saya justru memperparah. Karena RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan pelaku perusahaan besar yang izin mendirikannya dipercepat. Hal tersebut dilakukan tanpa memperhatikan lebih lanjut keamanan lingkungan hidup masyarakat adat. Walaupun memang RUU Cipta Kerja memberikan dampak positif kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Namun apabila kita melihat karakteristik kehidupan dan kebudayaan masyarakat adat, kita tidak bisa mengklasifikasikan mereka ke dalam UMKM. Karena mereka sendiri tidak melihat diri mereka sebagai itu.
Masyarakat adat mempersepsikan hutan itu sebagai tempat hidup. Dinamika kehidupan mereka dilakukan tanpa ada orientasi bisnis yang bersifat eksternal. Sehingga untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat, pemerintah perlu memberikan hak kemandirian mengelola tempat hidup. Bisa dilakukan dengan menyatakan bahwa hutan yang mereka tinggali itu sebagai tanah adat. Dengan tidak diaturnya hal tersebut dalam RUU Cipta Kerja, kesannya tidak ada kebijakan yang dapat melindungi hidup mereka.
Berkaca pada kasus pembakaran hutan di Riau, apakah RUU Cipta Kerja ini akan meringankan hukuman pelaku perusakan lingkungan?
RUU Cipta Kerja menurut saya tidak memberikan penyelesaian yang jelas. Karena ada perubahan kalimat yang berbunyi “para pelanggar dalam konsensinya kebakaran hutan perusahaan bertanggung jawab” kemudian diubah menjadi “pencegahan dan pengendalian”. Perubahan ini membuat orientasi penangananya menjadi tidak jelas. Apabila melihat pasal sebelum perubahan, dengan adanya kata “bertanggung jawab”, maka para pelakunya akan kena sanksi.
Apakah kondisi hutan di Indonesia sudah dinilai kondusif sehingga pemerintah bertindak berisiko seperti ini?
Sebenarnya kondisi hutan di Indonesia sudah banyak yang berubah. Namun dalam menjawab pertanyaan tersebut ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, RUU Cipta Kerja ini sebenarnya tidak hanya bentuk eksploitasi hutan dan lingkungan hidup, tetapi juga bentuk ketidakadilan. Percepatan izin lingkungan hanya akan menguntungkan perusahaan besar. Implikasinya kemudian akan menggeser masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal tersebut berpotensi memunculkan kebijakan yang merusak lingkungan. Apabila melihat keterkaitan masyarakat dengan lingkungan hidupnya maka secara tidak langsung juga merusak kehidupan masyarakat. Sehingga kebijakan yang diambil oleh pemerintah ini merupakan bentuk kelalaian dengan mengabaikan perlindungan lingkungan.
Kedua, terkait partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan dan lingkungan hidup. RUU Cipta Kerja membuat ruang partisipasi masyarakat menjadi sempit. Pemindahan perizinan lingkungan yang terpusat akan membuat rasa kepeduliaan terhadap lingkungan dari Pemerintah Daerah dan organisasi lainnya menjadi lemah. Sehingga mereka akan sulit untuk berkontribusi pada perlindungan dan perbaikan lingkungan.
Bagaimana sebaiknya sebuah kebijakan dapat menyejahterakan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup?
Sebuah kebijakan seperti RUU Cipta Kerja harus bisa memperbaiki pasal-pasal yang lemah. Kemudian memperingkas peraturan yang dinilai tumpang tindih. Namun yang terpenting adalah mempertimbangkan aspek-aspek di luar itu. Seperti aspek keadilan dan aspek perlindungan lingkungan. Pemerintah harus melihat ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat dan memperbaikinya lewat kebijakan yang ditetapkan. Pemerintah juga harus bisa melibatkan orang-orang yang berorientasi melakukan perlindungan lingkungan bukan malah membatasinya. Pemerintah perlu membuka akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi terkait izin pendirian usaha perusahaan. Dengan itu masyarakat akan terlibat dalam proses perlindungan lingkungan.
Bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi RUU Cipta Kerja?
Kita sebagai masyarakat perlu mengemukakan pendapat yang dilatarbelakangi oleh tinjauan yang mendetail terkait dengan perkara RUU Cipta Kerja. Tidak hanya sebatas mendengarkan pendapat-pendapat dari ahli tetapi juga harus membuka diskusi dengan masyarakat lainnya. Saling bertukar pikiran sehingga dapat memproduksi pemikiran kritis terkait dengan RUU Cipta Kerja ini. Merupakan hal yang penting bagi semua golongan masyarakat untuk terlibat, terlebih lagi mahasiswa, jangan hanya diam saja.
Penulis: Affan Asyraf
Penyunting: M. Rizqi Akbar