Semburat jingga mulai memekat menuju nihilnya cahaya, orang-orang dengan beragam busana terus berdatangan di hari terakhir (15-01) pameran karya yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pameran yang mengambil nama dari pengisi galeri ini bertajuk “Mengingat-ingat Sanento Yuliman”. Memasuki Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta yang menjadi tempat pameran, pengunjung disambut dengan deretan tulisan garis waktu layaknya linimasa. Linimasa ini menceritakan kontribusi Sanento dalam bidang seni dan budaya sepanjang hidupnya dari tahun 1941—1992.
Terdapat kaca antara dinding profil Sanento dengan ruang utama pameran. Saat memasuki bagian utama, pengunjung disuguhkan tiga benda dua dimensi. Pertama, terdapat ilustrasi binatang mirip serigala. Kedua, berupa tulisan yang menunjukkan biografi Sanento Yuliman. Ketiga adalah potret almarhum Sanento Yuliman dengan efek monokromatik. Sosok Sanento menggunakan jaket berbahan denim sambil melekatkan kedua lengan dengan badan seperti sedang menghangatkan badan dengan kepalanya melihat ke arah bumi.
Memasuki ruangan lebih dalam lagi terdapat sebuah ruangan yang hampir berbentuk kotak dengan seluruh temboknya dikelilingi cat berwarna putih. Di sana ada banyak bingkai yang berfungsi menjaga karya Sanento dari debu. Selain itu terdapat tulisan berwarna hitam, tulisan yang berupa kutipan dari esai Sanento berjudul “Dalam Bayangan Sang Pahlawan” tahun 1968 yang dimuat pada Majalah Horison. Dalam majalah itu Sanento menuliskan, “pahlawan kita tangkas, tegap, kekar, bersemangat baja dan pada umumnya bertopi baja. Itulah sebabnya makam pahlawan berisi serdadu-serdadu dan kuburan orang sipil agaknya tidak berisi pahlawan-pahlawan.”
Menilik lebih dalam mengenai pameran karya dan arsip Sanento Yuliman, Hendro Wiyanto selaku kurator memaparkan tentang pameran ini. “Kami bertujuan menunjukkan karyanya seperti foto, buku, serta katalog yang pernah diterbitkan agar pengunjung mengetahui peran beliau dalam kebudayaan Indonesia, kritik seni dan sebagai seniman lukis.” Selain itu, Hendro juga menuturkan bahwa Sanento adalah esais yang sangat tajam, contohnya ketika beliau mendefinisikan pahlawan.
Menuju sisi kanan dari ruangan, mata pengunjung disuguhkan karya seni dari cat minyak yang terpaku di tembok putih. Karya seni berupa lukisan di atas medium kanvas itu merupakan koleksi dari keluarga Sanento. Di sebelah kiri terdapat potret yang melukiskan seorang perempuan berpakaian biru yang diberi judul “Sangiang Sri”. Lukisan ini pernah dipamerkan dalam Pameran GRUP 18 pada Agustus 1971 di Taman Ismail Marzuki. Perempuan dalam lukisan ini terlihat sedang duduk sambil memeluk kedua kaki yang direkatkan ke bagian dada. Wajahnya terpulas suram, seperti sedang dipenuhi kegundahan yang terlihat dari sorot matanya ke arah bawah. Warna cokelat sebagai dasar membuat penggambaran perempuan sedang merana semakin jelas. Namun dari pemilihan warna yang digunakan kurang mencolok mata karena terlalu gelap serta kurang kontras.
Tepat di sebelahnya terdapat lukisan yang menggambarkan tiga hal yaitu mata, hidung, dan mulut dengan warna berbeda. Lukisan ini merupakan hasil tangan Sanento pada tahun 1974 dan diberi judul “Tiga Anak”. Rasanya setiap mata awam yang memantik ini akan mencoba menerka maksud dari lukisan ini. Memfokuskan lensa netra ke arah bibir dapat terlihat perbedaan lengkungan yang terbentuk oleh labium superior et inferior. Anak berwarna merah sedang tersenyum datar, sementara anak yang di tengah seperti sedang senyum menyeringai, sedangkan anak berwarna putih tersimpul kecil. Selain itu, melihat ke mata anak berwarna putih juga terdapat perbedaan yakni kenihilan sebelah mata. Sayangnya, tidak ada kritik ataupun penjelas yang menuliskan maksud dari lukisan ini sehingga membuat pengunjung mencari maksudnya sendiri.
Tidak jauh dari lukisan itu, terdapat sebuah tempat yang diberi nama pojok duduk. Pojok Duduk terdiri atas dua kursi dan satu meja berjumlah dua pasang. Salah satu pengunjung dari Depok bernama Bayu Satria Utama menceritakan alasannya datang ke pameran ini. Awalnya dia tidak tahu siapa itu Sanento. Namun, setelah berkeliling, Bayu menikmati setiap hasil goresan tangan baik itu karya seni maupun esai yang dipamerkan. Bayu, lulusan magister Ilmu Politik Universitas Indonesia menjelaskan bahwa ilustrasi yang digambar oleh Sanento sangat politis bernuansa orde baru, melalui karya Sanento benar-benar menggambarkan situasi pada zaman itu.
Ilustrasi poster yang ia maksud terletak di sisi yang berlawanan dengan tempat duduknya, yakni sisi kiri dari arah masuk ruangan. Selain itu, Bayu memaparkan ketertarikannya terhadap ilustrasi poster ini, ia menuturkan bahwa zaman awal orde baru (1968) pemuda tidak boleh gondrong, bahasa Sanento itu sarkas tetapi menimbulkan gelak tawa. “Kalimat apresiasi yang pas untuk Sanento adalah mengkritik tentang politik dengan cantik,” ucap Bayu.
Di samping kanan dan kiri “Anakku, Rambut Gondrong Itu Tidak Sopan” terdapat juga sederet ilustrasi bertema sosial politik lainnya yang dimuat pada tahun 1966—1970 di media Mahasiswa Indonesia dan Mimbar Demokrasi. Terdapat orang dengan jumlah lebih banyak melihat sisi ruangan ini. Sisi yang menampilkan sejarah lampau Indonesia melalui ilustrasi. Ini memberikan daya tariknya dengan jenis kartun. Ilustrasi-ilustrasi ini merupakan estetika pelengkap dari tulisan yang diterbitkan media tersebut terpajang berdasarkan tanggal terbit. Walaupun berwarna hitam putih, namun tingkat ketajaman warnanya cukup kontras sehingga dapat menggambarkan dengan cukup jelas objek yang terdapat di dalamnya.
Pada ilustrasi “Melarikan Diri”, terlihat tiga objek yakni, laki-laki, perempuan, serta seekor kuda. Tergambar seorang lelaki menaiki kuda yang sedang mengangkat sebelah tangan seperti bermaksud menolak seorang perempuan yang tervisualisasi merapatkan kedua tangan seperti memohon. Di sebelah kanannya terdapat ilustrasi “Pengaruh” yang memvisualisasikan seorang manusia yang sedang merangkul sebelah tangan serta tangannya yang lain menunjuk ke arah bangunan sembari membisikkan suatu pengaruh kepada orang yang dirangkulnya.
Menuju sudut lain dari ruangan, pengunjung dapat menemukan pojok yang terletak di sebelah kiri depan. Pojok ini berdekatan dengan tembok yang memajang deretan ilustrasi sosial politik karya Sanento. Pojok ini bercahaya remang yang dihiasi lampu baca untuk pengunjung yang hendak membaca arsip. Tidak hanya itu, terdapat buku lawas seperti Kamus Bahasa Melayu-Minangkabau. Pojok baca ini menjadi estetik karena terdapat bangku berwarna putih serta kalimat bertinta hitam yang tertulis di dindingnya. Di pojok ini juga tersedia arsip tulisan-tulisan yang terdapat ilustrasi sosial-politik. Sayangnya, keterbatasan waktu membuat kami tidak dapat membaca secara utuh.
Salah satu pengunjung bernama Dian, terlihat sedang membuka lembaran buku di pojok baca. Ia mengapresiasi kritik Sanento yang menjadi jembatan antara seniman dan masyarakat umum. “Aku salut seni rupa yang punya pengarsipan bagus seperti ini. Jadi yang dibaca hari ini sampai ke depan masih bisa dibaca,” pujinya.
Setelah dipuaskan dengan mengelilingi bagian tepi ruangan pojok duduk, di tengah ruangan ini tersusun rapi etalase-etalase yang melindungi arsip dan foto dari jamahan tangan. Selain itu jarak antar etalase cukup luas sehingga memudahkan pengunjung untuk melihat benda yang tersimpan di dalamnya. Salah satu etalase menampilkan sebuah mesin tik yang pernah digunakan Sanento untuk menulis kritik dan esai. Mesin tik ini terlihat masih terawat tetapi, jika dilihat secara dekat bagian huruf T dan Z telah hilang.
Terdapat juga etalase lain yang menyimpan rekam jejak Sanento dalam dunia seni rupa. Etalase ini menyimpan foto Sanento bersama rekan-rekannya di depan bangunan Yayasan Seni Rupa Indonesia serta beberapa foto dalam ruangan lainnya. Sanento juga pernah mendapatkan Anugerah Adam Malik sebagai Kritikus Seni Rupa Terbaik. Selain itu, tersimpan arsip Sanento berupa ijazah doktoral serta surat-surat selama menjadi diaspora di Paris, tepatnya ketika ia mendalami seni rupa di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales.
Selain memamerkan barang berupa tulisan, ilustrasi, dan koleksi seni milik Sanento lainnya, proyek milik DKJ ini juga menghadirkan diskusi buku. Di hari terakhir pameran, DKJ menyelenggarakan diskusi buku kumpulan esai dan kritik seni yang ditulis oleh Sanento yang berjudul Estetika yang Merabunkan. Buku itu telah diluncurkan pada hari pertama pameran pada hari Rabu, 11 Desember 2019. Setiap peserta yang mengikuti diskusi diberikan buku karya Sanento itu secara gratis.
Acara diskusi buku dimoderatori oleh Hendro. Dia menjelaskan bahwa DKJ mensyaratkan harus diselenggarakan pameran untuk menerbitkan buku. “DKJ mensyaratkan harus ada pameran untuk menerbitkan tiga buku seni rupa, Estetika yang Merabunkan karya Sanento Yuliman, Rumpun dan Gagasan karya kritikus Bambang Bujuno, serta Dari Pembantu Seni Lukis Kita karya Oei Sian Yok. Maka dari itu, dibuatlah pameran arsip Sanento Yuliman,” jelasnya. Acara diskusi buku Sanento ini merupakan tanda berakhirnya pameran arsip dan karya miliknya.
Buku karya Sanento yang dibagikan merupakan kumpulan tulisan Sanento yang pernah dipublikasikan dari mulai esai hingga kritik yang berkaitan dengan seni rupa. Pada Bab dua yang berjudul “Keindonesiaan, Kebaruan, dan Pencarian”, tulisannya yang diterbitkan oleh majalah Budaya Djaja pada November 1969 dengan judul “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia” yang menceritakan seni lukis pada masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan. Sanento menuliskan pada masa itu Yogyakarta sebagai suaka para pelukis yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakyat berjuang. Ketertarikan Sanento pada isu sosial politik dapat terbaca jelas melalui buku itu. Pada esai tersebut Sanento menuliskan, “semua akibat dari satu, semua berpangkal pada satu, semua adalah satu. Semua peristiwa tidak bermoral adalah akibat kebudayaan Barat. Semua kericuhan sosial, semua lemparan batu dan granat, dilakukan oleh komunis. Dan semua lukisan kita, semua seniman kita, harus masuk ke dalam sebuah bingkai.”
Penulis : Aufa Fathya
Penyunting : Afifah Fauziah S