
©Nadia/Bal
Pada hari Sabtu (01-02), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) mengadakan diskusi bertema “Ekologi Politis ‘Iklim dan Bencana’” di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta. Tujuh belas orang dari FNKSDA Yogyakarta, FNKSDA Bojonegoro, dan Universitas Sanata Dharma hadir dalam diskusi ini. Mereka duduk bersama beralaskan tikar di dalam pendopo kayu milik Walhi Yogyakarta yang berlokasi di Kecamatan Kotagede.
Diskusi rutin mingguan ini merupakan kegiatan lanjutan dari pesantren agraria yang digelar oleh FNKSDA Yogyakarta pada November tahun lalu. Penanggung jawab kajian FNKSDA Yogyakarta, Setyawan Pudya, mengatakan bahwa diskusi ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan teoritis dari anggota FNKSDA. “Tujuan diskusi ini adalah mengembangkan pola pikir tentang ekologi politik kepada anggota front dan masyarakat umum,” tutur Setyawan.
 Diskusi ini menghadirkan Hendi, Papuji Elbasta, Nia Zayn dan Andi dari FNKSDA Yogyakarta sebagai pemantik. Bayu Maulana Putra, anggota FNKSDA Yogyakarta, menjadi moderator yang memandu jalannya diskusi. Terdapat empat artikel yang dijelaskan oleh para pemantik, yaitu “Penelitian Bencana atau Bencana Penelitian? Kritik atas Penyusunan Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Sulawesi Selatan” yang ditulis oleh Hasriadi; “Budidaya Padi Ladang di tengah Perubahan: Studi kasus Dataran Tinggi Serampas, Taman Nasional Kerinci Seblat” yang ditulis oleh Ishak Salim; “Pertanian Skala Kecil versus Dampak Perubahan Iklim: Kasus Desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan” yang ditulis oleh Karno B. Batiran Sirimorok; serta “Kejayaan Kapital” yang ditulis oleh Bosman Batubara.
Pembahasan mengenai industrialisasi pertanian diawali oleh Papuji. Ia menjelaskan artikel milik Ishak Salim yang menyebut bahwa terjadi perubahan sistem pertanian masyarakat Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) semenjak Orde Baru. Dahulu, masyarakat TNKS menganggap budidaya padi sebagai hal yang sakral, sehingga hasil panen mereka tidak diperdagangkan. Namun, sejak tahun 1967 pemerintah mendorong masyarakat TNKS untuk menanam tanaman komoditas seperti kopi, kayu manis, dan kentang. Sejak saat itu, beras juga tidak lagi dinilai sebagai kebutuhan primer, melainkan komoditas sirkulasi dagang. Papuji menambahkan, gerakan Revolusi Hijau juga mengalihfungsikan hutan menjadi hutan tanaman industri. “Akhirnya ladang dan hutan diindustrialisasi, padahal budidaya padi ladang seharusnya dimaknai sebagai tradisi dan budaya leluhur,” tutur Papuji.
Kemudian, Artikel Sirimorok yang dijelaskan oleh Nia mengungkapkan bahwa industrialisasi pertanian turut mendorong terjadinya perubahan iklim karena menyumbang 15% emisi gas rumah kaca secara global. Terjadinya perubahan iklim memberi dampak paling besar pada masyarakat pertanian skala rumah tangga yang bergantung pada faktor iklim dan cuaca. Dampak perubahan iklim ini dirasakan oleh petani di Tompobulu saat terjadi kemarau panjang pada tahun 1997 dan hujan berlangsung sepanjang tahun pada 2010. “Semenjak terjadi perubahan iklim, petani di Tompobulu banyak menanam tanaman komoditas, yakni kacang tanah, daripada padi sebagai sumber pendapatan utama,” jelas Nia.
Selanjutnya, menurut artikel “Kejayaan Kapital” yang dijelaskan oleh Andi, usaha menanggulangi perubahan iklim global justru menciptakan neoliberalisme. Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca tahun 1997 di Kyoto, Jepang, negara Amerika Serikat dan Australia menolak hasil negosiasi yang disebut dengan Protokol Kyoto. Kedua negara maju tersebut menilai pengurangan emisi sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang berujung pada penurunan pendapatan nasional. Sebagai gantinya, mereka menciptakan teknologi-teknologi berlabel ramah lingkungan yang menggunakan sumber daya alam terbarukan. “Bosman menyebut diskursus perubahan iklim sengaja dibuat sebagai komoditas,” tambah Andi.
Sementara itu, Hendi menjelaskan kritik Hasriadi atas kecacatan penyusunan Dokumen RPB di Sulawesi Selatan (Sulsel). Dokumen yang disusun oleh perusahaan swasta bidang layanan jasa konsultasi, PT Reka Spasia Indonesia, tersebut menyederhanakan sejarah kebencanaan di Sulsel, menggeneralisasi data ancaman dan kerentanan di semua wilayah Sulsel, serta mengabaikan kapasitas warga serta pemerintah daerah yang lebih mengenal daerah Sulsel. Hendi mengatakan bahwa pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana seharusnya mampu menyusun Dokumen RPB yang lebih baik sebagai rujukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Sulsel. “RPJMD penting untuk menyusun mitigasi bencana,” kata Hendi.
Selepas berakhirnya penjelasan pemantik diskusi, Bayu mempersilakan peserta diskusi untuk menanggapi. Seorang peserta diskusi dari FNKSDA Bojonegoro, Zainul, berpendapat bahwa pemangku kebijakan atau pemerintah saat ini tidak memahami kondisi iklim global. “Dasar pemerintah mengeksploitasi pertanian ialah karena tergantung pada sistem sosial ekonomi politik nasional,” tegas Zainul.Â
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih