Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta meluncurkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2019 pada Kamis (26-12). Tak kurang dari seratus peserta dari berbagai institusi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat umum menghadiri acara bertema “Investasi Subur, Rakyat Digusur” ini. Acara dimulai pukul 10.00 WIB dengan pembukaan dari Luthfi Mubarok selaku pembawa acara.
Meila Nurul Fajriah, anggota LBH Yogyakarta bagian data dan dokumentasi, mengawali acara dengan pembacaan data kasus di LBH Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa ada dua ratus pengaduan dan kasus yang masuk sejak Desember 2018 hingga Oktober 2019. Jumlah tersebut didominasi oleh perempuan sebanyak 103 kasus serta mereka yang berumur 36 hingga 45 tahun. Meski begitu, tambah Meila, jumlah penerima bantuan hukum kasus struktural dari LBH Yogyakarta mencapai 8.567 jiwa. “Kebanyakan pekerjaan pencari keadilan adalah karyawan swasta, banyak juga dari buruh harian lepas seperti pekerja rumahan, proyek, serta ada pula yang tidak bekerja,” imbuh Meila.
Selanjutnya, Alex, anggota LBH Yogyakarta, membacakan tipologi penanganan kasus di LBH Yogyakarta. Menurutnya, ada dua isu strategis yang dihadapi LBH Yogyakarta, yakni perampasan hak ruang hidup dan pelanggaran hak sipil. Sementara itu, terdapat tujuh kategori isu lainnya yaitu tanah dan lingkungan; tindakan represif aparat; minoritas agama dan kepercayaan; kelompok rentan, perempuan, dan anak; masyarakat urban; kebebasan berkumpul dan berserikat; serta pembaharuan hukum. “Tipologi penanganan kasus di LBH Yogyakarta tidak hanya secara litigasi, tapi juga kampanye publik, pendidikan hukum kritis, serta pengabdi bantuan hukum yang juga melayani bantuan hukum di masyarakat,” tuturnya.
Acara selanjutnya dipandu oleh Danang Kurnia Fahmi selaku moderator. Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, memberikan sambutan sekaligus membacakan laporan kerja LBH Yogyakarta dalam satu tahun. Menurut Yogi, seluruh permasalahan yang dihadapi masyarakat pencari keadilan di LBH Yogyakarta berakar dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015—2019 oleh pemerintah pusat. Terdapat tiga aspek penting RPJM, imbuh Yogi, yakni pemerataan dan kewilayahan, pembangunan manusia dan masyarakat, serta pembangunan sektor unggulan dengan prioritas. “Pariwisata dan industri masuk sebagai aspek sektor unggulan yang dijadikan prioritas utama pemerintah untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi,” kata Yogi.
Yogi mengungkapkan bahwa RPJM menghadirkan sejumlah regulasi berupa undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan keputusan-keputusan administratif. Kebijakan tersebut, kata Yogi, dimaksudkan untuk mewujudkan sepuluh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Infrastruktur yang perlu dibangun untuk menunjang hal tersebut adalah pembangunan PLTU Cilacap, bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo, jalan tol, dan Bandara Internasional di Kulon Progo. Yogi kemudian menambahkan bahwa dalam pelaksanaannya, fasilitas penunjang yang dibutuhkan seperti pasokan listrik, air bersih, dan transportasi, menimbulkan permasalahan di masyarakat. “Kecenderungan pasar yang kapitalistik telah digunakan secara radikal oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah,” terang Yogi.
Dampak pembangunan infrastruktur penunjang KSPN tersebut diceritakan langsung oleh tiga perwakilan masyarakat korban terdampak yang diundang oleh LBH Yogyakarta, salah satunya Sadinem, anggota Masyarakat Winong Peduli Lingkungan. Sadinem mengungkapkan bahwa pembangunan PLTU Cilacap yang dekat dengan pemukiman warga telah menimbulkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Tidak hanya permasalahan kesehatan, Sadinem mengaku bahwa dampak sosial juga dirasakannya. “Timbul prasangka antarteman ketika saya membela mereka,” imbuhnya.
Keluh kesah para korban selanjutnya didiskusikan bersama dengan ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, dan ketua Social Movement Institute, Eko Prasetyo. Teguh mengungkapkan bahwa semua pembangunan berisiko. Salah satu risiko pembangunan yakni timbulnya bencana nonalam atau bencana ekologis yang ditimbulkan dari kegagalan teknologi. Artinya, imbuh Teguh, ada aset warga yang dihilangkan dan dirusak akibat pembangunan. Teguh juga mengatakan bahwa negara tidak boleh melakukan upaya pengurangan risiko bencana di suatu tempat tapi menambah risiko di tempat lain. Menurutnya, ada kecenderungan koruptif di setiap penyimpangan pembangunan. “Fasilitas-fasilitas yang kita nikmati, boleh jadi kesengsaraan pihak lain,” tuturnya.
Senada dengan Teguh, Eko Prasetyo menyatakan bahwa terjadi fenomena ambruknya tatanan sosial masyarakat. “Bukan hanya digusur saja, bukan hanya investasi, hak pribadi rakyat pun hancur,” ujarnya. Fenomena tersebut, menurut Eko, lebih menonjol pada dekade terakhir ini. Eko juga menilai bahwa limpahan kasus yang diterima LBH Yogyakarta tidak sebanding dengan jumlah sumber daya manusia di dalam institusi tersebut. Oleh karenanya, menurut Eko, LBH perlu mengajak banyak kalangan untuk terlibat dalam perlawanan atas ketidakadilan. Eko mengajak masyarakat, khususnya peserta, untuk menjadikan perlawanan dan pembelaan yang dilakukan LBH sebagai sebuah kebiasaan bersama. “Membela rakyat itu bukan sekadar tugas aktivis, namun tugas kita bersama,” pungkasnya.
Anggota Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta yang menjadi peserta dalam acara Catahu LBH Yogyakarta 2019, Suratman, menyampaikan bahwa keadilan perlu diwujudkan bersama oleh seluruh masyarakat. “Semoga acara ini membuka mata kita bahwa persoalan yang terjadi di masyarakat begitu kompleks dan membutuhkan kerja sama semua pihak,” tutur Suratman.
Acara diakhiri dengan musikalisasi puisi oleh mahasiswa dari Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia UII. Direktur LBH Yogyakarta sekaligus ketua penyelenggara, Yogi, berharap agar acara ini dapat menyebarkan informasi kepada warga secara luas bahwa terdapat satu kebijakan negara yang tidak adil dan diterapkan pada warga miskin dan buta hukum di tempat lain. “Dari narasi yang kami bangun setidaknya bisa memunculkan empati serta perjuangan bersama dari warga, karena kami tidak bisa berjalan sendiri,” tutur Yogi.
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Rasya Swarnasta