“Sistem pendidikan saat ini membuat subjek didik terpenjara oleh dominasi-dominasi di sekitarnya,” ujar Andreas Budi Widyanta, Dosen Sosiologi UGM. Hal itu dikatakannya setelah melihat pasifnya mahasiswa dalam mengutarakan aspirasinya di kampus. Keresahan tersebut ia ungkapkan dalam acara “Pelatihan Kepemimpinan Kaum Muda untuk Indonesia Masa Depan” yang digelar oleh Critical Pedagogy Indonesia. Bertempat di Wisma FMIPA UGM, kegiatan itu berlangsung selama tiga hari, terhitung sejak Jumat (20-12) sampai Minggu (22-12). Dalam kegiatan tersebut turut dihadiri oleh Direktur Center For Transdisciplinary and Sustainability Sciences, Damayanti Buchori.
Pada hari pertama, Andreas, atau kerap disapa Abe, mengungkapkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia saat ini tidak lepas dari ideologi yang berlaku, yaitu kapitalisme. Pendapat tersebut ia dapati setelah melihat kemajuan pendidikan yang hanya diukur melalui capaian-capaian individual dalam basis materiel. “Capaian tersebut seringkali hanya diukur berdasarkan ranking, kecepatan menyelesaikan pendidikan, serta akumulasi pengetahuan yang dipunya,” ujar Abe.
Glorifikasi terhadap capaian individual tersebut, tutur Abe, membuat jiwa subjek didik kosong. Sebab, subjek didik tidak memberi ruang bagi hadirnya pendidikan dari orang lain. “Mudahnya, subjek didik tidak menganggap capaian personalnya dipengaruhi oleh kontribusi banyak orang,” jelas Abe.
Sementara itu, Damayanti berujar bahwa implikasi dari glorifikasi terhadap capaian individual adalah menurunnya kepekaan subjek didik terhadap nilai-nila tertentu. Sebab, menurutnya, hal utama bagi pendidikan di Indonesia saat ini adalah mengakumulasi kekayaan. “Alhasil, subjek didik tidak lagi mempunyai kemampuan untuk memahami semangat zaman,” ungkap Damayanti.
Lebih lanjut, Damayanti mengelaborasi bahwa penyelenggaraan pendidikan saat ini mengedepankan masa depan subjek didik alih-alih memuliakan masa depan masyarakat. Stigma tersebut diperkuat oleh pandangan peserta didik bahwa kondisi masa depan masyarakat sama seperti kondisi masyarakat saat ini. “Subjek didik tidak mempunyai imajinasi akan bentuk masyarakat yang seharusnya,” jelas Damayanti.
Pada hari kedua, Abe melanjutkan materi dengan memberikan gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan. Ia menawarkan gagasan tersebut sebagai alternatif dari pendidikan berbasis kapitalisme yang telah ia jabarkan di hari sebelumnya. Baginya, sistem pendidikan yang memerdekakan adalah sistem pendidikan yang memberikan ruang tumbuh bagi subjek didik. Lebih lanjut, subjek didik didorong untuk membayangkan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan subjek didik. “Sebab tiap-tiap subjek didik memiliki dunianya yang seharusnya dapat dikomunikasikan,” sebut Abe.
Abe lalu menambahkan bahwa dalam mengomunikasikan imajinasi, subjek didik memerlukan kemauan. Kemauan hanya akan tumbuh apabila mereka menyadari bahwa tiap-tiap manusia bukan objek, tetapi subjek yang mempunyai tubuh, pikiran, dan perasaan. “Alhasil dengan tumbuhnya kemauan, subjek didik dapat terbebas dari dominasi di sekitarnya,” ungkap Abe.
Dalam rangka membebaskan diri dari dominasi di sekitarnya, Abe juga mengutarakan pentingnya kesadaran bahwa manusia adalah diri sosial. “Diri sosial merupakan pemahaman bahwa pembentukan seorang manusia tidak lepas dari sekitarnya,” tutur Abe. Pemahaman tersebut lalu menjadi dasar perlunya subjek didik memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai di sekitarnya.
Dilanjutkan oleh Abe bahwa kepekaan terhadap nilai-nilai di sekitar merupakan pemahaman bahwa terdapat hal-hal yang dapat dipertimbangkan selain rasionalitas. Abe mengutarakan bentuk hal-hal tersebut seperti nilai moral, nilai etika, atau pun nilai budaya. “Sebab kalau terus bergantung dengan rasionalitas, manusia akan terus bersifat ekonomistis atau profit oriented,” ucap Abe. Tak hanya ekonomistis, tambah Abe, subjek didik juga menjadi tidak aspiratif.
Meskipun begitu, Abe mengutarakan bahwa kepekaan terhadap nilai hanya dapat terjadi apabila subjek didik tidak dijejali oleh dogma. Menurutnya, dogma menyebabkan individu tertutup dari dunianya. “Subjek didik menganggap bahwa yang ia yakini pasti benar,” jelas Abe.
Di hari terakhir acara, Damayanti menuturkan bahwa sistem pendidikan yang mempertajam kepekaan terhadap nilai-nilai menjadi pembeda dengan sistem pendidikan saat ini. Sistem pendidikan saat ini lebih mengutamakan akumulasi pengetahuan dan penguasaan ilmu. “Selama sistem pendidikan di Indonesia masih mengutamakan hal tersebut, selama itu pula tidak akan lahir generasi pembaharu,” pungkas Damayanti.
Erata: Sebelumnya judul tulisan adalah “Pendidikan Liberalistis, Perlawanan terhadap Pendidikan Berbasis Kapitalisme”, diganti menjadi “Pendidikan yang Memerdekakan, Perlawanan terhadap Pendidikan Berbasis Kapitalisme”. Selain itu, dua kata “liberalistis” di dalam tulisan juga diganti menjadi “pendidikan yang memerdekakan”.
Penulis: Muhammad Fadhilah
Penyunting: Hanif Janitra