Kamis (19-12), bertepatan dengan Dies Natalis UGM ke-70, Aliansi Mahasiswa UGM menggelar aksi di depan Gedung Grha Sabha Pramana (GSP). Aksi ini merupakan aksi lanjutan yang sebelumnya diadakan di Gedung Rektorat Balairung UGM pada Rabu (13-11) dengan membawa tujuh tuntutan. Berbeda dengan aksi sebelumnya, dalam aksi kali ini Aliansi Mahasiswa UGM hanya fokus pada satu tuntutan yang sudah melewati tenggat kesepakatan, yaitu pengesahan draf Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Aksi ini merupakan bentuk pengawalan dari Aliansi Mahasiswa UGM, sekaligus menagih janji Rektorat UGM. Sebab, pada aksi sebelumnya, telah ditandatangani perjanjian bersama antara Aliansi Mahasiswa UGM dengan pihak Rektorat yang diwakili oleh Djagal Wiseso Warseno, selaku Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan. Salah satu poin dari perjanjian itu adalah pengesahan draf PPKS yang akan dilakukan satu bulan setelah aksi. Namun, setelah satu bulan pasca aksi, yaitu tanggal 13 Desember 2019, janji itu tidak kunjung dipenuhi.
Aksi diawali dengan short march dari Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM pada pukul 11.00 WIB dengan membawa spanduk #UGMBohongLagi dan karangan bunga bertuliskan “Selamat dan Sukses atas Kinerja UGM, Semoga Tetap Teguh dalam Mengingkari Janji Pengesahan Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual”. Sambil menunggu pihak Rektorat menemui massa aksi, aksi dilanjutkan dengan panggung bebas untuk massa yang ingin berorasi.
Dalam siaran pers Aliansi Mahasiswa UGM, pihak Rektorat berjanji menemui massa aksi pukul 13.00 WIB. Namun, saat waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, pihak Rektorat tidak kunjung menemui massa aksi, sehingga massa aksi memaksa masuk ke dalam GSP. Atas tindakan itu, sempat terjadi saling dorong, karena massa aksi dihadang secara represif oleh Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM. Perwakilan massa aksi yang diperbolehkan masuk meminta Rektor memberikan pernyataan langsung kepada massa aksi yang sudah menunggu di luar. Pihak Rektorat akhirnya baru menemui massa aksi pada pukul 13.20 WIB, dilanjutkan dengan audiensi.
Dalam audiensi tersebut, pihak rektorat meminta maaf kepada mahasiswa atas janji yang tidak mereka penuhi. “Jadi teman-teman mahasiswa, kami mohon maaf atas mundurnya pengesahan peraturan ini,” ucap Paripurna selaku Wakil Rektor bidang Kerja Sama dan Alumni yang turut mendampingi Rektor saat audiensi. Selain itu, Paripurna juga meminta maaf atas tindakan represif PK4L terhadap massa aksi.
Dari audiensi itu, diperoleh perjanjian baru bahwa Rektor harus segera mengesahkan PPKS setelah Senat Akademik menyetujui peraturan tersebut. Aksi kemudian ditutup dengan penyerahan “hadiah” pena dan sticky note yang berisi kegelisahan mahasiswa sebagai bentuk simbolik agar Rektorat UGM segera mengesahkan peraturan PPKS.
Sebelumnya, Aliansi Mahasiswa UGM sudah sering melakukan audiensi dengan Rektorat UGM untuk menanyakan keseriusan UGM dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kevin Krissentanu dari Forum Advokasi, bagian dari Aliansi Mahasiswa UGM, menjelaskan bahwa mahasiswa telah mengawal isu ini sejak lama. Setelah kasus Agni viral pada bulan November 2018, mahasiswa mendesak UGM agar segera membuat peraturan mengenai kekerasan seksual. “Tujuannya agar kasus kekerasan seksual itu bisa ditangani dengan prosedur yang berlaku,” kata Kevin.
Awal tahun 2019, UGM merespons desakan mahasiswa dengan membentuk tim perumus kebijakan. Kevin mengatakan bahwa elemen mahasiswa pernah diundang oleh tim perumus untuk memberi masukan pada draf PPKS tersebut. Kemudian, tanggal 29 Mei 2019, tim perumus menyerahkan draf yang telah selesai disusun kepada Rektor. “Pada saat itu media ramai memberitakan seolah-olah UGM serius, padahal itu baru drafnya, belum jadi peraturan,” ungkap Kevin.
Beberapa bulan setelah itu, Kevin mengatakan bahwa kabar mengenai draf PPKS tersebut perlahan tidak terdengar lagi. Hingga pada tanggal 1 Oktober 2019, muncul instruksi rektor mengenai upaya pencegahan kekerasan seksual. Kevin menilai instruksi itu hanya bersifat imbauan, berbeda dengan peraturan yang lebih detail karena memuat definisi, penanganan, dan penyelesaian terhadap kasus kekerasan seksual. “Instruksi itu sifatnya bias, lihat saja kasus Agni yang ditangani langsung oleh rektor, penanganannya tidak jelas,” tegas Kevin.
Sri Wiyanti, salah satu tim perumus kebijakan, merasa kecewa dengan keputusan Rektor yang belum juga mengesahkan PPKS. Menurutnya, peraturan ini perlu segera disahkan karena urgensinya jelas. Terlebih lagi, draf dari tim perumus sudah diterima Rektor sejak Mei 2019. Akan tetapi, setelah itu tim perumus tidak tahu bagaimana kelanjutan dari draf tersebut. “Kami tim perumus tidak tahu kapan akan disahkan, karena sudah tidak ada komunikasi lebih lanjut dari Rektor,” ucap Sri Wiyanti.
Hal tersebut dibenarkan oleh pihak Hukum dan Organisasi (Hukor) UGM. “Memang sudah tidak ada koordinasi lagi antara Rektor dengan tim perumus kebijakan,” kata pihak Hukor UGM. Setelah tim perumus kebijakan menyerahkan draf ke Rektor, proses penyesuaian draf dilakukan oleh Hukor UGM. Setelah itu, draf yang sudah disesuaikan Hukor UGM dikembalikan ke Rektor untuk diserahkan ke Senat Akademik yang kemudian akan diputuskan melalui Rapat Pleno.
Hanya saja, draf yang telah disesuaikan Hukor baru dikirim ke Senat Akademik oleh Rektor pada tanggal 13 Desember 2019, bertepatan dengan waktu yang dijanjikan untuk pengesahan peraturan. “Tetapi, peraturan yang dimaksud itu masih belum bisa disahkan karena kewenangan ada di Senat Akademik,” ucap pihak Hukor. Oleh karena itu, Panut Mulyono, selaku Rektor UGM, mengatakan bahwa Senat Akademik akan melaksanakan Rapat Pleno khusus pada tanggal 26 Desember 2019 untuk membahas kelanjutan dari draf PPKS.
Pada akhirnya, pihak Rektorat UGM mengaku telah melanggar janjinya dan meminta maaf atas hal tersebut. Fathur, selaku Humas Aliansi Mahasiswa UGM mengatakan bahwa mahasiswa akan menerima permintaan maaf dari Rektorat UGM dengan dua syarat. Pertama, berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa UGM di Rapat Pleno Senat Akademik. Kedua, setelah Senat Akademik menyetujui draf PPKS, maka Rektor harus segera mengesahkan peraturan tersebut. “Kalau tidak disahkan, maka kami akan melakukan aksi yang lebih masif lagi,” tegas Fathur.
Penulis: M. Rizqi Akbar dan Naufal Ridhwan Aly
Penyunting: Harits Naufal Arrazie