![](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2019/12/IMG-20191209-WA0006.jpg)
Dhyta Caturani, aktivis perempuan menyampaikan materi terkait kekerasan terhadap perempuan dalam Workshop Konsolidasi Jaringan Mahasiswa (©Istimewa)
“Setidaknya terdapat 1011 kasus pelecehan seksual di enam belas perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia,” ungkap Masruchah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Data tersebut didapatkan melalui riset pendek yang dilakukan oleh dosen-dosen dengan difasilitasi Komnas Perempuan. Dengan adanya temuan tersebut, pada Rabu (04-12) Komnas Perempuan melaksanakan kegiatan “Workshop Konsolidasi Jaringan Mahasiswa.” Kegiatan yang bertempat di Hotel Cemara, Menteng, Jakarta itu, diikuti oleh sejumlah perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa dan organisasi ekstra kampus seluruh Indonesia. Diungkapkan oleh Masruchah, kegiatan ini bertujuan untuk membangun dukungan penghapusan kekerasan seksual khususnya terhadap korban.
Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menuturkan bahwa fakta kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dengan budaya patriarki yang masih ada di masyarakat. “Kekerasan dalam rumah tangga itukan karena perempuan dianggap lemah oleh laki-laki,” imbuhnya. Selain itu, muncul juga asumsi bahwa kodrat laki-laki yang harus melindungi perempuan secara tidak langsung memberikan stigma bahwa perempuan lebih lemah.
Menjawab persoalan tersebut, Imam Nahe’i, salah satu Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan mengenai konsep kodrat dan gender. Bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan berada di posisi yang sama secara kemanusiaan maupun di hadapan Tuhan. “Jadi, definisi kodrat perempuan lemah itu adalah definisi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri,” jelasnya.
Mendukung pernyataan Imam, Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan, menambahkan bahwa kodrat adalah pemberian dari Tuhan. Ia mencontohkan kodrat dapat berupa menstruasi atau hamil pada perempuan. Sehingga kodrat tidak dapat didefinisikan sebagai kelemahan perempuan. “Jadi kalau tempat duduk khusus untuk perempuan hamil, secara kodrati bukan berarti perempuan lemah,” imbuhnya.
Maria mengungkapkan, tidak dapat dipungkiri pemahaman terhadap kesetaraan gender cenderung diimplementasikan pada sesuatu yang menguntungkan. Contohnya ketika perempuan menuntut besaran upah yang sama dengan laki-laki, tetapi masih menginginkan adanya kursi khusus dalam trasportasi umum. Sehingga, dalam pengimplementasian kesetaraan gender, perempuan terkadang masih menerima keuntungan dari budaya patriarki itu sendiri. Menanggapi fenomena itu, Maria menyampaikan bahwa keuntungan tersebut tidak seharusnya diterima oleh perempuan. “Kecuali kita disabilitas atau ibu hamil, itu bukan keuntungan, tetapi kebutuhan khusus,” ungkapnya. Sehingga menurut Maria, jangan sampai perempuan menyalahgunakan keuntungan untuk kepentingan individu itu sendiri.
Selain memahami pengimplementasian kesetaraan gender, menurut Dhyta Caturani, penggagas One Billion Rising Indonesia, penting untuk mendorong sesama perempuan agar berani dan dapat menempati posisi-posisi kepemimpinan. Hal tersebut bertujuan agar suara perempuan dapat diakomodir oleh pemangku kebijakan. Akan tetapi, Dhyta juga mengingatkan agar dorongan tersebut tidak sampai pada pemaksaan. “Kalau tidak, nanti akan terjadi seperti kuota 30% perempuan dalam parlemen,” jelasnya. Dhyta berpendapat bahwa adanya kuota tersebut bagus untuk afirmasi agar perempuan mau menjadi pemimpin. Akan tetapi, tujuan partai politik untuk mendorong dan mendidik perempuan menjadi pemimpin tidak terlaksana. Justru, perempuan akhirnya menjadi alat politik yang tidak mampu berbicara soal kepentingan perempuan di dalam parlemen.
Oleh karena itu, menurut Dhyta perempuan perlu mendobrak budaya patriarki yang secara tidak langsung membuat kepentingan perempuan diabaikan. Padahal, laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan suaranya. “Kalau perempuan menginginkan kesetaraan, maka perempuan harus mau bersuara,” tutupnya.
Penulis: Anis Nurul Ngadzimah
Penyunting: Cintya Faliana