Hadirnya agenda neoliberal telah memunculkan dilema dalam dunia penelitian Indonesia. Kondisi sosial dan kebijakan pemerintah membuat penelitian dosen cenderung berorientasi pada pasar atau memihak kepada negara. Harapan akan tradisi penelitian yang profesional dan kritis dinilai dapat mengatasi dilema yang dihadapi dosen dalam melakukan penelitian.
Sejak berakhirnya rezim otoriter Orde Baru, sebuah agenda neoliberal telah secara besar-besaran mempengaruhi lembaga-lembaga negara. “Hal ini menyerang fungsi publik lembaga-lembaga negara dengan menuntut penyusutan sistematis anggaran negara,” terang Inaya Rakhmani, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Dalam risetnya yang berjudul “Reproducing Academic Insularity in a Time of Neo-liberal Markets”, Inaya mengangkat kasus penelitian sosial universitas negeri di Indonesia.
Menurut Inaya salah satu bentuk neoliberalisme tersebut hadir dalam perubahan status universitas negeri secara legal menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). “Hal tersebut membuka ruang bagi universitas negeri untuk menerima pendapatan anggaran non-negara, yang menyebabkan terjadinya marketisasi pendidikan tinggi sarjana,” lanjutnya. Neoliberalisme itu sendiri merupakan prinsip yang berfokus pada segi positif ekonomi pasar bebas yang disertai dengan usaha menekan campur tangan pemerintah dan konsentrasi kekuasaan swasta terhadap perekonomian.
Berdasar penelitian Inaya, regulasi yang mempengaruhi pengeluaran dalam pendanaan penelitian mendorong perguruan tinggi untuk mandiri secara finansial. Hal tersebut secara tidak langsung membuka akses kepada agenda neoliberalisme. Agenda neoliberalisme ini kemudian memberikan dorongan terhadap pendanaan negara dan privatisasi layanan pendidikan yang bisa membuat universitas berlaku sebagai “income generators” kepada negara tanpa negara harus menginvestasikan modal.
Senada dengan Inaya, Oki Rahadianto Sutopo, Dosen Sosiologi UGM, menyatakan bahwa orientasi neoliberalisme membuat penelitian yang dilakukan oleh para akademisi menjadi berorientasi pada pasar. “Kebebasan topik dalam penelitian bahkan kian berkurang karena mulai muncul unsur politik dan kekuasaan pada penelitian,” tutur Oki. Dia juga menambahkan bahwa hal tersebut menyebabkan produksi ilmu pengetahuan menjadi kembali bersifat memihak pada negara, rezim, serta permintaan pasar.
“Ketika penelitian mulai dikooptasi oleh pasar, disinilah integritas dosen dipertanyakan,” ujar Oki. Dia menjelaskan jika adanya orientasi neoliberalisme ini juga memunculkan masalah kemandirian dalam produksi ilmu pengetahuan. Kemandirian, integritas, dan kejujuran dosen menjadi penting karena semua penelitian didasari oleh hipotesis. Bila etos mencari kebenaran dari hipotesis penelitian telah hilang dan digantikan oleh permintaan pasar, maka hal ini jelas akan mempengaruhi hasil penelitian tersebut.
“Penurunan kualitas hasil penelitian karena adanya agenda neoliberalisme juga semakin nyata karena pada dasarnya kita tidak pernah mengembangkan penelitian untuk memproduksi pengetahuan itu sendiri,” tutur Oki. Dia juga menjelaskan, di sisi lain tidak dapat digeneralisasikan bahwa semua dosen pasti memiliki minat untuk memproduksi pengetahuan. Hal ini terjadi karena di Indonesia, pencapaian individu dalam ranah politik lebih dihargai daripada pencapaian dalam ranah akademis seperti produksi penelitian. Penghargaan yang lebih berfokus dalam hal politik ini kemudian dirasa Oki menurunkan etos sebagai peneliti para dosen di Indonesia. Kenyataan ini berbeda sekali apabila kita melihat kondisi para dosen di luar negeri yang masih memiliki etos peneliti yang tinggi.
Oki melanjutkan bahwa agenda neoliberalisme juga memunculkan permasalahan di luar proses penelitian yang sebenarnya berpengaruh dalam menghambat penelitian dosen itu sendiri. Pasalnya, selain meneliti dosen juga memiliki tanggung jawab mengajar dan administratif. Berdasarkan pernyataan Oki, beban kerja dosen terkadang dianggap memberatkan. Dosen diwajibkan untuk mengajar dengan jam mengajar yang tinggi dan membimbing mahasiswa S1, S2, dan S3. Terkadang dosen dituntut melakukan pengabdian yang belum tentu berhubungan dengan topik yang sedang diteliti. “Dosen itu kan kayak Event Organizer, banyak acara kampus yang sebenarnya nggak ada hubungannya dengan dosen,” keluh Oki. Sehingga, Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pengajaran, pengabdian, dan penelitian kadang tidak berimbang dengan beban kerja dosen dalam sehari atau seminggu. Dia juga menambahkan bahwa beban kerja yang berat ini jelas berpotensi nyata menurunkan produktivitas dosen dalam melakukan penelitian dan publikasi.
Oki menuturkan walaupun kini penelitian semakin dipengaruhi oleh pasar, pada akhirnya dosen tidak bisa berbuat apa-apa. Dosen akan mengikuti untuk melakukan penelitian-penelitian sesuai permintaan pasar. Menurutnya ini bukan hanya sekedar masalah ekonomi, namun dosen dituntut untuk realistis menghadapi kenyataan saat ini sehingga seringkali kita mendengar istilah “dosene meroyek”. “Kalau dosen nggak meroyek ya nggak jadi apa-apa,” ujar Oki. Namun, dia tetap berpegang pada prinsip bahwa akan lebih baik bila proyek yang dikerjakan dosen tersebut bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Hambatan lain yang dihadapi oleh dosen saat melakukan penelitian juga disampaikan oleh Ulya Niami Efrina Jamson, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM. Menurutnya hambatan terhadap penelitian dan publikasi datang dari sikap dualisme pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah mendorong dosen untuk melakukan kerja sama dengan pihak dari luar negeri namun pada sisi yang lain pemerintah seolah berusaha untuk membatasi akses kerja sama tersebut. Dosen yang akrab disapa Pipin tersebut mengungkapkan bahwa pada awal November ini terjadi kasus dimana dua orang profesor dari Australia dideportasi ketika sedang melakukan penelitian bersama dosen Indonesia. “Alasan deportasinya karena beliau membuat artikel yang cukup kontroversial terkait kondisi sosial politik Indonesia saat pilpres,” lanjut Pipin. Pipin kecewa, karena menurutnya kedua profesor asal Australia tersebut memiliki rekam jejak yang bagus dalam ilmu sosial politik dan kerjasama penelitian dengan Indonesia.
Pipin menambahkan bahwa ia meyakini jika agenda pemerintah dan dosen terhadap penelitian saat ini sebenarnya selaras. Namun bentuk dualisme dalam diri pemerintah seperti dalam kasus di atas dirasa Pipin menjadi permasalahan yang dapat terus menghambat pemerintah apabila tidak segera diatasi.
Sikap pemerintah lainya juga diungkapkan oleh Pipin bahwa penelitian terkait dengan kelompok LGBT dibatasi. Bentuk pembatasan tersebut diungkapkan Pipin ketika pemerintah memintanya untuk memberikan data primer atau data mentah penelitian kepada pemerintah dimana hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik penelitian. “Kita ingin melakukan penelitian-penelitian yang suportif terhadap perkembangan demokrasi, namun lagi-lagi ada permasalahan dengan kebebasan akademik,” keluh Pipin. Dia menegaskan bahwa sikap pemerintah ini jelas menjadi hambatan terkini dari kemajuan penelitian dan publikasi.
Pada akhirnya kondisi sosial dan kebijakan pemerintah di atas tidak dapat dipungkiri telah menghambat jalanya penelitian dosen di Indonesia. “Hambatan terkait penelitian di universitas negeri di Indonesia merupakan efek dari reformasi neoliberal terhadap ilmu sosial yang masih terkesan sangat dimediasi oleh medan politik nasionalnya,” jelas Inaya. Dengan kondisi tersebut diharapkan muncul tradisi penelitian ilmu-ilmu sosial yang profesional dan kritis. Hal tersebut dinilai dapat menghindari hasil penelitian ilmu sosial untuk semata-mata berperan melayani kebutuhan pasar.
Penulis: Anisa Azmi, M. Affan Asyraf, Han Revanda Putra (Magang)
Penyunting: Anis Nurul Ngadzimah