Sabtu (16-11) puluhan mahasiswa meramaikan Ruang Sidang Utama UII dalam acara peresmian Rumah Pengetahuan Amartya sebagai sebuah yayasan. Rumah Pengetahuan Amartya ini bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan konsolidasi warga sipil. Berdirinya Rumah Pengetahuan Amartya berangkat dari situasi demokrasi yang semakin mengerucut dan menyempit sehingga membutuhkan aktor penguat demokrasi.
Alghiffari Aqsa, salah satu pengurus Rumah Pengetahuan Amartya, menjelaskan alasan berdirinya yayasan tersebut. Alghif memandang perlu ada wadah untuk menyatukan perbedaan perspetif dan menjadi ruang diskusi pergerakan yang lebih masif. Dengan demikian, menurutnya argumen yang disampaikan di dalam aksi tidak sia-sia dan bisa didengar oleh pemerintah sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu permasalahan. āIbarat sebuah pertarungan di ring, Rumah Pengetahuan Amartya adalah pengamat yang merekomendasikan cara untuk memenangkan pertarungan menang dalam hal membuka akses demokrasi yang luas, menyelesaikan masalah seperti HAM di masa lalu atau sekarang,ā imbuh Alghif.
Acara peresmian sore itu turut dihadiri oleh Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK, Zainal Abidin Bagir perwakilan Center of Religious and Cross Cultural Studies UGM dan Maria Sumarsih, aktivis Kamisan Jakarta. Alghif mengatakan dipilihnya ketiga pembicara tersebut adalah bentuk representasi dari orasi kebudayaan yang bertajuk āKampus, Keadilan dan Tanggung Jawab Intelektualā.
Acara diawali dengan pembacaan hasil riset tentang kebebasan akademik oleh Luthfian Haekal dan Ahmad Shalahuddin. Riset tersebut berjudul āMerebut [Kembali] Ruang Akademik: Kooptasi Neoliberalisme dan ‘Kekuasaan’ terhadap Kebebasan Akademik di Kampusā. Kedua peneliti tersebut adalah anggota dari Social Movement Institute sekaligus tim riset Rumah Pengetahuan Amartya. Riset tersebut membahas beberapa masalah mengenai kebebasan akademik. Permasalahan tersebut berupa, petinggi universitas yang anti aksi unjuk rasa, tidak tegas dalam menindak kekerasan seksual, membubarkan kajian atau perkumpulan mahasiswa, dan menjadi sarang korupsi seperti suap jabatan rektor.
Menanggapi hal tersebut, Zainal mengamini bahwa kebebasan akademik dan pers memang masih berada di kondisi yang gelap. Menurutnya, demokrasi tidak hanya dalam ruang yang sempit, tetapi aktornya yang berkelahi satu sama lain atas dasar kepentingan membuatnya menjadi luas. Meskipun demikian, demokrasi saat ini memiliki ruang yang lebih luas daripada tahun 1998. Ia beranggapan bahwa, kondisi sekarangĀ masih terdapat ruang demokrasi untuk mengkritik pemerintah. Namun, yang menjadi persoalan adalah tidak adanya saran dalam pemecahan permasalahan tersebut. āDalam menghadapi suatu permasalahan, sebaiknya mencari celah untuk keluar dan tidak memperburuk kondisi yang ada,ā ujarnya.
Lebih lanjut, Zainal menjelaskan terdapat hubungan kebebasan akademik dan gerakan mahasiswa yaitu adanya celah yang bernama tanggung jawab intelektual. Adapun maksud dari tanggung jawab intelektual menurutnya adalahĀ keberpihakan akademisi pada nilai keadilan, demokrasi, kebebasan, kesetaraan dan kesetiaan kepada data untuk memperkuat basis argumen. “Kekuatan utama akademisi dalam mempersuasi orang adalah melalui data,ā terangnya.
Selanjutnya, Sumarsih menceritakan ketidakadilan yang menimpa putranya. Benardinus Realino Norma Irawan, yang meninggal secara tragis ketika peristiwa Semanggi 1. Pria yang kerap disapa Wawan itu meninggal karena tembakan oleh aparat negara ketika sedang menolong sesama demonstran. Sumiarsih menuturlan, sejak peristiwa tersebut pemerintah tidak pernah serius merespon dan memberikan pertanggungjawaban terhadap peristiwa yang dialami oleh korban. Hal tersebut menjadikan Sumarsih bersama paguyuban Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) terus melakukan aksi berdiam diri di depan istana negara. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan gerakan payung hitam atau aksi Kamisan. Hingga kini aksi Kamisan telah bergerak di 35 kota di Indonesia. “Aksi ini merupakan bentuk simbolik dari matinya demokrasi di Indonesia,” imbuh Sumarsih.
Selain itu, Novel melanjutkan menanggapi permasalahan ketidakadilan adalah salah satunya dari maraknya persoalan korupsi. Menurutnya, kasus korupsi akan terus ada dan berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena penegakan hukum di Indonesia bukan hanya sekadar tidak tegas, melainkan berlaku berkebalikan dari seharusnya. Menurutnya, penegakan hukum sering sekali tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Ia menambahkan, bahwa KPK dalam menjalankan tugasnya dianggap mengganggu pemerintahan oligarki yang menyelewengkan kekuasaan. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, KPK mendapat banyak ancaman. “Seperti penodongan senjata ketika hendak menyidik kasus reklamasi dan kasus penyiraman air keras yang menimpa saya,” tegasnya.
Mengenai pergerakan aksi, menurut Novel, perlakuan represif terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil dikhawatirkan menjadikan massa aksi jera. Padahal, dalam mengupayakan penegakkan hukum masyarakat sipil dan mahasiswa diperlukan pandangan yang optimis. āJika kita diam, maka semakin lama akan semakin buruk keadaan Indonesia,ā tutup Novel.
Penulis: Bhakti Adzani dan Alif Rafi Muhaimin (Magang)
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih