Keputusan DPR periode 2014-2019 untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) di akhir masa jabatan mereka menuai berbagai reaksi, baik masyarakat maupun mahasiswa. Pasal-pasal kontroversial dalam RUU KPK mendorong mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta untuk menginisiasi gerakan Gejayan Memanggil dengan menyuarakan tujuh tuntutan .
Aksi Gejayan Memanggil diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Aksi ini dilancarkan pada tanggal 23 dan 30 September 2019. Berbeda dari aksi mahasiswa di tahun 1998 yang hanya melawan elite pemerintah, aksi Gejayan Memanggil bermaksud untuk mendorong pemerintah agar menuntaskan berbagai persoalan negeri.
Dua kali aksi Gejayan Memanggil tidak lepas dari buzzer (pendengung). Buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya guna menyebarluaskan informasi dari suatu produk ataupun jasa. Dahulu, buzzer digunakan hanya sebatas kepentingan ekonomi, namun kini, buzzer mulai digunakan untuk kepentingan politik. Menurut Center for Innovation Policy Governance (CIPG) , di Indonesia, keterlibatan buzzer di ranah politik dimulai sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Sedangkan penggunaan buzzer secara luas untuk kepentingan politik dilakukan pada masa Pilpres 2014. Kehadiran buzzer politik dirasakan oleh Aliansi Rakyat Bergerak. Menurut Nailendra, salah satu narahubung aksi Gejayan Memanggil, buzzer politik masih terbagi atas pendukung dua calon presiden pada pilpres 2019 lalu. “Kami dituduh ditunggangi oleh buzzer politik capres 01, ketika buzzer politik pendukung capres 02 mendukung gerakan kami,” kata Nailendra. Namun belakangan, buzzer politik capres 02 menyerang narasi Gejayan Memanggil di media sosial karena massa aksi tidak secara langsung menunjuk Joko Widodo sebagai aktor yang harus bertanggung jawab, imbuh Nailendra.
“Untuk menanggapi hoaks yang disebar, kami tetap berpaku pada akun resmi Instagram,” tutur Nailendra. Adanya akun resmi digunakan oleh Aliansi Rakyat Bergerak untuk mengatasi kebingungan dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat, tambah Nailendra.
Rayest Irgi Alfarest, Mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta yang terlibat aksi juga mengaku bahwa buzzer politik merespon informasi yang ia sebarkan dengan poster hoaks. “Buzzer politik lain akan membantu narasi hoaks itu dengan tuduhan ditunggangi dan menyertakan tagar yang tidak benar,” tutur Rayest. Menurut Rayest, buzzer politik bertujuan membuat jarak antara mahasiswa dan masyarakat.
Namun, tidak semua masyarakat memandang buruk buzzer politik. Seorang pria asal Yogyakarta yang tidak ingin disebutkan namanya, sebut saja Ali (42), menganggap buzzer politik sebagai pembagi informasi. “Asalkan pesan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan aturan yang ada maka mungkin dapat berdampak positif,” ujar Ali.
“Sekarang lawan gerakan mahasiswa adalah orang-orang yang dipelihara untuk membingkai gerakan mahasiswa secara negatif,” tutur Nyarwi Ahmad S.I.P., M.A., Pakar Komunikasi dan Marketing Politik Fisipol UGM. Nyarwi juga menyebutkan bahwa narasi yang dibangun oleh buzzer politik bergantung kepada kepentingan individu atau kelompok maupun orang yang membayar mereka.
“Mahasiswa dapat disebut buzzer yang bersifat sukarela, karena dalam menyuarakan pendapatnya tidak dibayar dan dilakukan secara sadar,” ujar Nyarwi. Sedangkan buzzer yang dibayar biasanya menyuarakan narasinya lewat media sosial, karena informasi dapat menyebar dalam waktu yang singkat, imbuhnya.
Menurut Nyarwi, buzzer politik mempunyai tiga target, yakni politisi yang menjadi sasaran atau lawan, masyarakat, dan wartawan. “Dalam aksi Gejayan Memanggil, dua target utama buzzer adalah masyarakat dan wartawan,” tambah Nyarwi. Tujuan buzzer dalam menarget masyarakat adalah mempengaruhi nalar terhadap aksi. Sedangkan, buzzer menarget
wartawan untuk melemahkan berita yang cenderung mendukung aksi mahasiswa. Pernyataan Nyarwi dibuktikan oleh Ismail Fahmi, Founder Media Kernels Indonesia. Fahmi meneliti tagar #GejayanMemanggil 2 di Drone Emprit, platform analis yang bergerak di bidang riset media sosial. Hasilnya, menurut Fahmi, tagar #MahasiswaPelajarAnarkis yang
dicetuskan oleh akun @SetiapHariGA berhasil membangun narasi negatif tentang aksi mahasiswa di media sosial Twitter.
Menurut Fahmi, berdasarkan fenomena di media sosial sekarang, unit terkecil dari sebuah pemikiran disebut tanda pagar (tagar) atau hashtag . “Pada saat aksi Gejayan Memanggil yang kedua, mahasiswa terbelah menjadi dua kelompok,” sebut Fahmi sembari menunjukkan data berdasarkan tagar di Twitter. Kelompok yang pertama adalah mahasiswa di Yogyakarta yang menggaungkan tagar GejayanMemanggil2. Sedangkan, kelompok kedua terdiri dari sejumlah mahasiswa di Jakarta yang mengikuti giveaway dengan tagar MahasiswaPelajarAnarkis. “Seharusnya mahasiswa menggunakan hashtag baru untuk melawan hashtag yang digunakan buzzer, lawan dengan unit pemikiran lain,” tukas Fahmi. Sejalan dengan Fahmi, Nyarwi berpendapat bahwa buzzer politik menggunakan taktik yang berorientasi pada kebisingan. “Buzzer politik bertujuan untuk memanipulasi narasi yang menjadi sasarannya dengan memberikan narasi-narasi yang cenderung membelokan dan
membingungkan,” jelas Nyarwi.
Nyarwi juga mengutip pemikiran Elisabeth Noelle-Neumann mengenai teori Spiral of Silence. Menurutnya, saat ini orang takut terisolasi, sehingga banyak yang mengikuti pendapat dominan. Kelompok minoritas, ujar Nyarwi, semakin tidak berani menyampaikan pendapatnya. “Jika buzzer memenuhi ruang publik, kebenaran informasi bisa diputar dari benar menjadi salah,” tegas Nyarwi.
“Saat ini sosial media dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menyebarkan pesan politik yang orisinal dan otentik,” ujar Nyarwi. Aktivitas buzzer politik yang sudah terstruktur, kata Nyarwi, tidak dihiraukan oleh mahasiswa. Hal ini mengakibatkan buzzer politik terus melancarkan aksinya. Tidak adanya perlawanan dari mahasiswa membuat pergerakan buzzer semakin luas, tegas Nyarwi.
Menurut Nyarwi, buzzer dalam konteks Indonesia akan tetap ada apabila elite politik tidak dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasinya dengan masyarakat. “Kalau elite politik masih suka dibicarakan, maka buzzer politik akan tetap berkembang, ” ujar Nyarwi. Fahmi juga berpendapat bahwa cyber war (perang siber) harus dioptimalkan untuk melawan
buzzer politik. “Di tengah banjir informasi ini, kita harus meningkatkan literasi media kita,” saran Fahmi (9-10).
Menurut Fahmi ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk menyaring informasi. Pertama, kesadaran secara individu untuk mendapatkan informasi dan mencari sumber informasi lain. Kedua, memutuskan kebenaran ataupun kesalahan dari informasi tersebut. Ketiga, menolak informasi yang salah serta menyebarkan informasi yang benar.
Penulis: Dina Oktaferia, Alfredo Putrawidjoyo, Anwar Khairuddin (Magang)
Penyunting: Nadia Intan Fajarlie
Ilustrator: Samuel Johanes