Jumat (01-11), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan lokakarya bertajuk “Diseminasi Evaluasi Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA)”. Acara yang diselenggarakan di Gedung Pusat Administrasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini bertujuan untuk memaparkan upaya KPK dalam melindungi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia.
Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja sama antar Komisi dan Instansi KPK menjelaskan bahwa awalnya KPK enggan menangani kasus korupsi SDA. Hal ini dikarenakan sudah banyak Undang-Undang (UU) yang mengatur SDA. Namun permasalahan tata kelola dan tumpang-tindih UU membuat penegakkan hukum SDA bermasalah. “Keadaan regulasi yang tumpang-tindih tidak menjawab ketimpangan akses terhadap SDA,” tegas Maria Sri Wulan Sumardjono, Ahli Ilmu Hukum Agraria. Oleh karena itu, dibuatlah TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
Dalam kesempatan ini, Maria memaparkan Kajian Harmonisasi UU Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup yang dibuat berdasarkan TAP MPR IX/MPR/2001. Ada 12 prinsip yang dikelompokkan menjadi lima indikator penilaian UU, yaitu demokrasi, keadilan, keberlanjutan, dan kepastian hukum. Salah satu Rancangan UU yang dinilai kurang memenuhi indikator-indikator tersebut adalah RUU Pertanahan. Oleh karena itu, Maria bersama timnya menyusun naskah akademik untuk menunda pengesahan RUU tersebut.
Selain melalui naskah akademik, Rimawan Pradiptyo, Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penanganan korupsi SDA di Indonesia juga dapat ditangani dengan memperkuat institusi seperti KPK. Selain itu, Pradiptyo menyarankan bahwa Indonesia harus bersabar mengikuti proses reformasi dan tidak mengharapkan perubahan yang terlalu cepat. “Dalam reformasi, negara-negara di Eropa membutuhkan waktu 51 tahun, sedangkan reformasi Indonesia baru berjalan 21 tahun,” tegasnya.
Pradiptyo menjelaskan keterkaitan antara tingkat korupsi yang ada di Indonesia dengan kondisi geografis Indonesia. Menurutnya, kekayaan alam di Indonesia tidak selalu menguntungkan. Hal tersebut bisa terjadi ketika Indonesia kurang berpikir ke depan karena kekayaan alam yang memanjakan. “SDA yang melimpah tanpa disertai inovasi akan menyebabkan korupsi yang tinggi,” ujar Pradiptyo. Menurutnya, Indonesia harus memikirkan tentang overlapping generation, yaitu permasalahan yang sekarang terjadi akan berlangsung pada generasi selanjutnya.
Berbicara tentang keberlanjutan GNPSDA, Pradiptyo menjelaskan bahwa kredibilitas GNPSDA dipengaruhi oleh kinerja KPK sendiri. “Jika kemampuan KPK dibatasi, maka kredibilitasnya pun berpotensi untuk menurun,” tegas Pradiptyo. Hal itu dijelaskan Pradiptyo karena UU KPK saat ini berpotensi melemahkan KPK.
Selain upaya dari berbagai institusi, penanganan korupsi SDA juga dapat lahir dari kesadaran setiap individu. Hal tersebut dijelaskan oleh Ahmad Rafiq melalui perspektif Islam. Menurutnya, peningkatan literasi lingkungan berbasis agama penting untuk memberikan perspektif baru dalam GNPSDA. “Merusak alam itu tanda kekufuran, tidak bersyukur,” tegas Rafiq.
Rafiq menuturkan bahwa beragama itu tidak selalu tentang pemahaman ilmu agama tetapi, juga tentang melaksanakan agama itu sendiri. Salah satu bentuk pelaksanaannya yaitu melindungi alam. “Dalam kitab-kitab warisan tradisi Islam, berisi keseimbangan antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta),” ucap Rafiq. Manusia dan alam semesta tersebut dijelaskan Rafiq harus berkesinambungan, karena kehancuran yang satunya dapat menimbulkan kehancuran yang lainnya.
Hadirnya perspektif Islam tersebut melengkapi pandangan terhadap GNPSDA dalam lokakarya ini. Eko Cahyono selaku moderator mencoba memberikan kesimpulan bahwa upaya GNPSDA tidak bisa dilakukan dengan penangkapan pelaku saja. Akan tetapi juga membutuhkan pembenahan institusi dengan memenuhi indikator penilaian UU. “KPK tujuannya bukan untuk memperbanyak orang di penjara,” tutup Eko.
Penulis: Alfredo Putrawidjoyo, Salsabella Adista (Magang)
Penyunting: Anis Nurul Ngadzimah