©️Lita/BAL
Selasa sore (17-09), sekitar pukul 15.00 WIB, sejumlah aktivis perempuan melantunkan lagu Indonesia Raya sebagai pembuka aksi bertajuk #SahkanRUUPKS. Bertempat di sisi Barat titik nol kilometer Yogyakarta, aksi tersebut berupa orasi dan pembagian bunga dengan turun ke jalan raya sambil mengangkat poster yang mereka bawa. “Sahkan RUU-PKS!”, “Jangan diam! Ayo lawan kekerasan seksual!” dan beberapa poster lainnya turut dibawa oleh beberapa partisipan aksi. Aksi ini digelar untuk mendesak DPR dan Pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS).
Aksi yang dilakukan secara serempak di beberapa kota (Jakarta, Surabaya, Bengkulu) ini melibatkan beberapa jaringan dan organisasi. Di Yogyakarta, beberapa organisasi yang terlibat diantaranya yaitu Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak DIY, Aliansi Jogja Sehati, Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan “Rekso Dyah Utami” DIY. Selain itu, organisasi dan jaringan yang juga turut serta mengikuti aksi diantaranya Tesaga, Rumah Solidaritas, Jaringan Perempuan Yogya, Srikandi Jogja, Perempuan Adiluhung, IKKJ, Noken Solution, Wonder Indonesia, Rifka Annisa, dan DP3AKB Raja Ampat.
Menurut penuturan Ika Ayu, Koordinator Jaringan Perempuan Yogyakarta, pada April 2017, RUU-PKS telah ditetapkan sebagai RUU yang akan dibahas oleh DPR. RUU-PKS ini dibuat berdasarkan dari mandat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yaitu mengenai kehadiran negara di dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Namun hingga saat ini, pembahasan mengenai RUU-PKS menurutnya masih belum diprioritaskan. Ia juga menuturkan bahwa terdapat wacana mengenai penundaan pembahasan RUU-PKS pada sidang Panja DPR. “Hal ini karena masih terdapat perbedaan pendapat di anggota DPR,” tambah Ika.
Berkaitan dengan RUU-PKS, Ika Ayu menjelaskan bahwa aturan untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual masih sangat lemah. Sehingga keberadaan RUU-PKS sangat diperlukan karena dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual. Ika menambahkan bahwa RUU-PKS juga memberikan perlindungan dan keadilan kepada korban kekerasan seksual. “Aturan ini secara utuh sudah mengatur perlindungan mulai dari pencegahan, pemulihan, penindakan hingga layanan yang bisa didapatkan oleh korban kekerasan seksual,” ujar Ika.
Sejalan dengan Ika, Koordinator Staf Divisi Internal, Kehumasan, dan Media Rifka Annisa, Niken Anggrek Wulan juga mengemukakan bahwa selama ini payung hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual secara spesifik belum ada. Ia juga menambahkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual sebagian besar ditangani dengan menggunakan perspektif kejahatan dan pidana. Hal ini menurutnya sulit untuk diselesaikan, sebab dalam kekerasan seksual sangat minim bukti. “Misalnya pada kasus Agni yang tidak dimasukkan ke dalam kekerasan seksual karena tidak ada bukti secara fisik, padahal korban mengalami trauma secara psikis,” tutur Niken.
Menilik hal tersebut, Niken mengemukakan bahwa RUU-PKS ini perlu segera disahkan. Pernyataan ini juga disepakati oleh Rafa, salah satu partisipan aksi yang berasal dari Women’s March Yogyakarta. Menurut Rafa, kehadiran RUU-PKS ini akan memberikan keadilan bagi korban yang mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual. “RUU-PKS ini juga akan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak,” pungkasnya.
Penulis: Litalia Putri C
Penyunting: Henny Ayu A