“KPK Harus Mati!” Poster berupa sindiran terhadap koruptor tersebut turut menghiasi diskusi berjudul “Pelemahan KPK 4.0.” Diskusi ini diselenggarakan di Kantor Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum (PUKAT FH) UGM pada hari Jumat (13-09). PUKAT menggarap diskusi tersebut bersama dengan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menjelaskan maksud diadakannya acara tersebut melalui tajuk berbunyi, “Mempertahankan Independensi KPK, Mempertahankan Harapan Publik.” Diskusi ini mendatangkan Eko Riyadi selaku moderator serta narasumber yang terdiri atas Oce Madril, ahli hukum tata negara; Rasamala Aritonang, Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK; Dr. Trisno Raharjo, SH., M.Hum., Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Kurnia Ramadhana, Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, dan Zainal Arifin Mochtar, ahli hukum tata negara UGM.
Menilik independensi KPK, Oce mengungkapkan bahwa independensi lembaga tersebut sudah diatur oleh UU No. 30 Tahun 2002 Pasal 3. Pasal tersebut menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. “Artinya, KPK berada di luar kekuasaan trias politica yang terdiri atas yudikatif, eksekutif, dan legislatif,” ujar Oce.
Sementara itu, Trisno mengatakan bahwa Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) banyak mengubah posisi kelembagaan KPK. Salah satunya, tuturnya, posisi kelembagaan KPK berubah dari lembaga negara menjadi lembaga pemerintah. “Bila KPK dijadikan bagian dari lembaga pemerintah, hal tersebut sama saja KPK membuka pintu untuk diintervensi oleh lembaga tersebut,” ujar Trisno.
Hal tersebut turut diamini oleh Oce. Ia mengungkapkan bahwa konsekuensi dari berubahnya kelembagaan KPK adalah berubahnya pula status kepegawaian KPK. Menurut Oce, berubahnya status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) termaktub dalam RUU KPK pasal 43A ayat 3 huruf a serta pasal 45A ayat 3 huruf a. Pasal tersebut menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik diberhentikan sebagai ASN.
Zainal menyatakan bahwa ASN diatur oleh UU No. 5 Tahun 2014. Menurutnya, hal tersebut akan menyebabkan KPK harus menerima beberapa konsekuensi. Pertama, KPK harus mau menerima apabila sewaktu-waktu dimutasi dan diberhentikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kedua, KPK harus mau masuk dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang artinya kode etik serta jiwa kepegawaian KPK selama ini akan berubah total. “Struktur ASN terlalu hierarkis, hal tersebut akan membuat pejabat KPK dengan pangkat rendah bakal sulit untuk menangkap pejabat yang pangkatnya lebih tinggi,” ujar Zainal.
Selain itu, seperti diungkapkan oleh Rasamala, RUU KPK juga menetapkan adanya Dewan Pengawas KPK. Berdasarkan RUU KPK Pasal 37B ayat 1, Dewan Pengawas KPK memiliki enam tugas. Pertama, mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Kedua, memberikan izin penyadapan dan penyitaan. Ketiga, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK. Keempat, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK. Kelima, melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun. Keenam, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dan/atau pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dewan Pengawas KPK diangkat oleh presiden serta dipilih oleh panitia seleksi yang dibentuk presiden.
Menurut Rasamala, adanya Dewan Pengawas KPK membuat pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Sebab, pegawai KPK yang akan melakukan penyadapan serta penyitaan harus memiliki izin dari Dewan Pengawas KPK. “Mekanisme tersebut membuat independensi KPK luntur, sebab ia menjadi sangat bergantung pada Dewan Pengawas KPK,” tutur Rasamala.
Senada dengan Rasamala, Zainal juga mengungkapkan ketidaksetujuan adanya Dewan Pengawas KPK. Menurutnya tindakan Dewan Pengawas KPK dalam mengawasi dan memberi izin merupakan tindakan pencegahan adanya pelanggaran hukum. “KPK juga pro justitia, sehingga Dewan Pengawas KPK tidak dibutuhkan lagi, toh dalam internal sudah ada komite etik juga, sudah ada yang mengawasi,” tutur Zainal.
Berdasarkan laporan Kompas pada Rabu (11-09), Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan RUU KPK bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut Zainal, presiden masih bisa menolak RUU KPK di tahap pengesahan dan pengundangan. Sehingga, menurutnya, meskipun KPK tidak ikut dalam pembahasan RUU KPK, publik bersama KPK dapat menekan Presiden Joko Widodo untuk menolak RUU KPK melalui pemberitaan media maupun demonstrasi.
Sebagai perwujudan bahwa publik bersama KPK, ratusan civitas academica UGM berkumpul di gedung rektorat pada Minggu (15-09). Mereka menilai upaya pelemahan terhadap KPK belakangan ini merupakan tindakan yang melecehkan moralitas bangsa Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, civitas academica yang terdiri atas guru besar, dosen, dan mahasiswa, bersama-sama menyatakan sikap menolak pelemahan terhadap KPK. Selain dari UGM, ada beberapa universitas lain, seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Diponegoro yang ikut dalam aksi ini melalui live streaming.
UGM menyoroti beberapa upaya pelemahan terhadap KPK. Mulai dari proses pemilihan calon pimpinan KPK yang penuh kontroversi, pengajuan RUU KPK yang tidak sesuai prosedur legislasi, sampai teror kepada para akademisi aktivis antikorupsi. Hal tersebut pun ditanggapi dengan pernyataan sikap dari civitas academica UGM yang dipimpin oleh Ketua Dewan Guru Besar UGM, Koentjoro. “Menyikapi berbagai proses sistematis pelemahan KPK, gerakan antikorupsi, amanah reformasi dan bahkan amanah konstitusi, dengan ini kami para dosen dan civitas academica UGM menuntut kepada DPR dan pemerintah,” katanya.
Dalam pernyataan yang dibacakan Koentjoro, terdapat lima tuntutan yang ditujukan ke DPR dan pemerintah. Pertama, menghentikan segala tindakan pelemahan terhadap KPK. Kedua, menghentikan pembahasan RUU KPK. Ketiga, mengevaluasi pembahasan RUU lain yang melemahkan gerakan antikorupsi. Pisahkan pasal-pasal antikorupsi dari revisi UU KUHP dan lakukan revisi UU Tindak Pidana Korupsi untuk mengakomodasi rekomendasi The United Nations Convention Against Corruption. Pembahasan beberapa RUU Sumber Daya Air tidak perlu dipaksakan selesai dalam waktu dekat untuk memastikan tidak adanya state-captured corruption dalam RUU-RUU tersebut. Keempat, menyadari situasi krisis dan mengakui bersama bahwa telah bergeser dari amanah reformasi dan amanah konstitusi. Bangsa Indonesia wajib kembali ke rel demokrasi, sesuai haluan reformasi dan amanah konstitusi. Kelima, tuntutan ini harus dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Setelah pernyataan sikap dibacakan, beberapa akademisi UGM lain turut menyampaikan pandangannya terhadap RUU KPK dan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK. Ekonom UGM, Rimawan Pradiptyo, mengaku telah mengumpulkan dukungan dari Aliansi Akademisi Nasional yang berasal dari 33 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. “Saya mengajak mereka semua untuk menolak RUU KPK dan segala upaya pelemahan terhadap KPK,” jelasnya.
Zainal menilai rencana revisi UU KPK ini merupakan proses yang terburu-buru dan cenderung dipaksakan. Hal tersebut berkaitan dengan pidato Jokowi di Istana Negara yang dilaporkan Tirto pada Kamis (13-09). Pertama, Jokowi tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Kedua, Jokowi memandang bahwa penyidik dan penyelidik bisa berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan ASN. Ketiga, Jokowi tidak setuju bila KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaaan Agung dalam penuntutan. Keempat, Jokowi juga tidak setuju bila Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang dikeluarkan KPK, diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Zainal menyesalkan pidato tersebut. “Saya yakin presiden tidak mendapatkan asupan informasi dan analisis yang cukup, sehingga kemudian memutuskan mengucapkan pidato kemarin yang sebenarnya tidak banyak menolong KPK,” ujarnya.
Zainal dan rekan-rekan pegiat antikorupsi lain juga akan berupaya memberi masukan kepada presiden mengenai langkah yang bisa diambil. Namun, dia merasa pesimis karena peluang untuk didengar sangat kecil. “Tentu kita akan mengupayakan memberikan analisis kepada pemerintah dan DPR, tetapi rasanya pintu itu tertutup, buktinya KPK saja tidak mendapatkan akses itu,” tambahnya.
Hingga pada akhirnya, upaya publik menolak pelemahan KPK tak kunjung ditanggapi pemerintah dan DPR. Seperti dilansir Tirto pada Selasa (17-09), revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah sah menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah dan dihadiri 102 anggota DPR. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, juga hadir dalam rapat tersebut mewakili Presiden Joko Widodo.
Penulis: Muhammad Fadhilah Pradana dan M. Rizqi Akbar
Penyunting: Rasya Swarnasta