Saya masih ingat ketika mengikuti kegiatan ospek tahun 2015 lalu. Kegiatan yang disebut Pelatihan Pembelajaran Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) itu dihadiri oleh Dwikorita Karnawati, yang saat itu menjabat rektor UGM, yang menyambut kami sebagai mahasiswa baru di Universitas Gadjah Mada. Dwikorita menyanjung kami sebagai putra-putri terbaik bangsa, yang datang dari berbagai pelosok Nusantara, kelak akan memajukan Indonesia. “UGM adalah miniatur Indonesia,” tegasnya dalam sambutan tersebut. Sambutan tersebut memuat janji, dan teringat hingga kini.
Sang rektor kala itu menyatakan bahwa kampus kita adalah “miniatur Indonesia”. Namun sepatutnya pernyataan itu tidak menjadi julukan saja. Jika Indonesia kita pahami sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan, berlandaskan gotong royong, dan kekeluargaan, maka setidaknya kita bisa merasakan hal tersebut di kampus. Kebhinekaan menyatukan perbedaan kita, gotong royong mendorong kita untuk bekerja sama, dan kekeluargaan menjadikan guyub dan rukun segala perbedaan yang ada di kampus kita. Pertanyaannya, apakah dalam ruang lingkup pendidikan kebhinekaan sudah didukung?
Pengaturan perihal kebhinekaan beribadah sejauh ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut, setidaknya saya menemukan tiga pasal tentang hal tersebut. Mulanya adalah pasal 80 yang menyebutkan: “Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.” Di samping itu, masih dalam undang-undang yang sama, yakni Pasal 93e menyebutkan: “Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan.” Sejalan dengan itu, Pasal 100 Ayat 1 juga menyebutkan: “Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi.”
Ketiadaan peraturan tentang hak beribadah di dalam Undang-undang Pendidikan dan Pendidikan Tinggi adalah sebuah kejanggalan, mengingat kebhinekaan menjadi ihwal teramat penting di republik ini. Hal yang paling mendekati perihal urusan beribadah adalah beragama. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pendidikan agama wajib dan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Berdasarkan “Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi”, dijelaskan bahwa pihak pendidikan tinggi diwajibkan memasukkan mata kuliah Pengembangan Kepribadian di dalam kurikulum inti. Tujuan dari mata kuliah MPK sendiri adalah untuk memantapkan kepribadian mahasiswa agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.
Akan tetapi, mata kuliah MPK dirasa belum bisa memapah keberagaman beribadah, justru cenderung menjunjung keimanan pribadi. Mata kuliah tersebut juga dirasa belum bisa melihat perbedaan dan memahaminya. MPK tidak mewajibkan adanya pendidikan interreligiusitas, sebab yang diatur adalah pendidikan agama berdasarkan agama yang dipeluk mahasiswa, sehingga pencapaian pendidikan lintas agama tidak akan bisa tercapai di dalam kelas. Oleh karena hal itu, mata kuliah MPK belum mendukung pendidikan interreligiusitas. Pendidikan interreligiusitas dalam pandangan saya adalah pendidikan tentang agama, mengenal maksud tujuan adanya agama, serta perlunya nilai-nilai keagamaan secara plural yang bisa diterapkan bagi sesama.
Bicara soal tempat ibadah di perguruan tinggi, hampir setiap kampus memiliki bangunan masjid dan setiap fakultasnya memiliki mushola. Jika ketersediaan fasilitas berupa masjid bisa ditemukan di banyak kampus di Indonesia, tidakkah memiliki tempat ibadah untuk umat beragama lain juga sama pentingnya? Sebab, apabila perguruan tinggi—terutama yang negeri—memiliki peranan dan tanggung jawab moral dalam pembentukan dan aktif berperan untuk mengembangkan pribadi mahasiswa secara spiritual dan emosional, mengapa di dalam perguruan tinggi hanya memiliki masjid saja?
Keberadaan tempat ibadah di dalam kampus secara lengkap bukanlah hal yang tidak mungkin. Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) memiliki tempat ibadah untuk umat Islam, Kristen/Katolik, Hindu, dan Budha di dalam kampus. Lingkungan Kampus UNS dilengkapi dengan masjid, vihara, pura, dan gereja sebagai fasilitasnya. Melansir Republika, rektor UNS, Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, membangun kompleks tersebut tak peduli seberapa banyak umat di dalam kampusnya. Menurutnya, ini bertujuan untuk mengedepankan keadilan beribadah di dalam kampus. Alasan lain UNS membangun kompleks tempat ibadah tertuang dalam visi UNS semenjak didirikan; sebagai Kampus Benteng Pancasila. Selain itu, rektor UNS sendiri memandang semua umat beragama, civitas akademika, memiliki kesempatan yang sama untuk beribadah di dalam kampus.
Universitas swasta yang dibawahi oleh yayasan Katolik seperti Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) bahkan menyediakan ruangan doa yang bisa diaplikasikan sebagai mushola. Bukan sebagai bentuk ketakutan tidak banyak menerima mahasiswa baru, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap pemeluk agama lain yang ingin melanjutkan pendidikan tingginya di universitas tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa UAJY memperhatikan keragaman kebutuhan badaniah—untuk ibadah yang dilakukan secara fisik, seperti salat—di dalam kampusnya.
Kebutuhan atas hak badaniah pemeluk agama selain Islam di dalam kampus belum tercukupi. Beberapa hal yang dapat disorot adalah tempat yang tidak tetap seperti aula, kapasitas ruangan, biaya sewa, serta jadwal penyelenggaraan kegiatan ibadah. Apabila pembangunan tempat ibadah—selain masjid—selalu berlandaskan karena umatnya sedikit atau tak pernah ramai, itu akan menjadi alasan karet. Bila demikian, di dalam lingkungan kampus penganut agama minoritas kesulitan mencari tempat beribadah.
Argumentasi lain pun menyebutkan kampus UGM dekat dengan tempat peribadatan lain, sehingga gereja, vihara, atau rumah ibadah lain tidak perlu dibangun di lingkungan kampus. Padahal dua gereja terdekat dari kampus UGM adalah Gereja Santo Antonius dari Padua di Kotabaru dan Yohanes Rasul Yesus di Pringwulung, yang masing-masing berjarak 3,5 dan 1,3 kilometer dari UGM. Selain itu, pura terdekat berjarak 4,6 kilometer dari kampus UGM, sedangkan jarak antara UGM ke klenteng terdekat mencapai hampir tiga kilometer jauhnya. Letak yang jauh, serta padatnya lalu lintas di siang hari menyebabkan ibadah tidak dapat dilakukan pada waktu istirahat antar mata kuliah.
Jarak tidak bisa dijadikan sebuah pembenaran untuk argumen mengapa UGM tidak membangun kompleks tempat ibadah. Keluar lingkungan kampus butuh waktu, sebaliknya dengan tempat ibadah di dalam kampus beberapa ibadah bisa disesuaikan waktunya sehingga tak perlu terburu-buru di perjalanan. Argumen klasik lain seperti “ah, umat Nasrani kan ke gereja seminggu sekali,” rasanya pun kurang tepat. Sebab, umat Katolik sendiri pun masih butuh tempat untuk merayakan Bulan Maria, Bulan Novena. Ibadah pun tak hanya misa mingguan, tapi ada juga misa harian, Misa Jumat Pertama, dan lainnya. Toh, tempat ibadah itu juga tidak memerlukan tempat yang besar. Vihara yang dibangun di UNS pun “hanya” seluas 10×10 meter. Hal terpenting adalah keadilan merasakan hadirnya ibadah di kampus sendiri, keadilan untuk merasakan berkumpul menjalankan ibadah dengan tenang, aman, dan nyaman di dalam kampus.
Keberadaan beragam tempat ibadah di dalam kampus juga akan menambah wawasan keberagaman. Hal ini tidak hanya meningkatkan spiritualitas semata, tetapi juga untuk memperkenalkan bentuk ibadah kepada umat beragama lainnya. Upaya tersebut dapat meningkatkan pemahaman interreligius dan semangat kebhinekaan, dan menghindari kesalahpahaman ibadah pada agama-agama minoritas lainnya.
Pendidikan agama yang diajarkan melalui Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang didesain oleh Dikti sangat terbatas. MPK mengajarkan dimensi internal suatu agama saja, sementara hubungan antar agama tidak mendapatkan perhatian khusus. Toleransi dalam beragama, dalam hal ini cara menyikapi perbedaan antar agama, sayangnya tidak diajarkan secara khusus dalam kurikulum Pendidikan agama di UGM. Pendek kata, materi yang diajarkan dalam MPK semata tidak cukup untuk menumbuhkan rasa dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain.
Pemeliharaan semangat Pancasila juga mampu terwujud dalam bentuk keberagaman dalam satu kompleks. Relasi antar komunitas beragama di dalam kampus akan menghadirkan rasa canggung apabila melulu tidak peduli dengan kondisi sekitar. Saling merayakan ibadah satu sama lain seharusnya tidak berakhir dengan sekadar ucapan di media sosial, tapi adanya kehadiran langsung untuk saling merayakan.
Kompleks tempat ibadah di dalam kampus adalah bentuk dari pertanggungjawaban pemenuhan hak badaniah yang belum diatur oleh Dikti bahkan Dikbud. “Miniatur Indonesia” a la UGM hanya terwakilkan oleh kekayaan budaya yang dibawa oleh masing-masing mahasiswa, sedangkan kekayaan beribadah di dalam lingkungan kampus hanya akan sekedar dicukupkan. Apabila terus menerus seperti ini, UGM yang mendaku “Kampus Pancasila” dan bangga dengan Miniatur Indonesia-nya, akan semata-mata menjadi Indonesia dalam bentuk dan maknanya yang paling minimal: miniatur angan-angan.
Antonius Harya Febru Widodo
Mahasiswa Fakultas Filsafat