
©Anis/Bal
Kamis (2-5) kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dipenuhi anak-anak muda. Mereka hadir untuk menyaksikan penayangan perdana video klip lagu milik Band Roket. Lagu yang berjudul Teror.3 ini bercerita tentang kasus penyiraman air keras Penyidik KPK, Novel Baswedan. Seiring penayangan video klip, diadakan pula diskusi dengan narasumber Budi Santoso, salah satu penasihat KPK RI dan Akiq Abdul Wahid seorang kurator yayasan Biennalle. Acara ini diadakan secara kolaboratif oleh LBH Yogyakarta, ICM, Afdruk 56, dan MES 56. Video klip Teror.3 ini dimaksudkan sebagai instrumen dalam gerakan-gerakan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi dan perkembangan kasus Novel yang dibahas dalam video klip ini menjadi pembahasan sepanjang diskusi.
Budi Santoso menjelaskan, banyak kasus kemanusiaan yang mengincar para pembela HAM seperti Marsinah, Udin, Munir, dan kini menimpa Novel. Dalam konteks internasional, mereka disebut Humanrise Devender, karena mereka memperjuangkan hak asasi manusia. Kasus-kasus tersebut menunjukkan sinyal ancaman terhadap orang-orang yang berkecimpung di dunia penegakan HAM. Ancaman tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran Budi terhadap kasus Novel. Dalam perkembangannya, belum ada yang bisa mengungkap otak di balik kasus-kasus tersebut, termasuk kasus Novel. “Jangan sampai kasus Novel ini lenyap seperti kasus-kasus sebelumnya,” tutur Budi.
Untuk mengantisipasi ancaman di atas, Budi menjelaskan bahwa Kapolri telah membuat tim gabungan yang terdiri dari berbagai elemen, termasuk polri, akademisi dan KPK. Namun, dalam proses kerjanya ditemukan kejanggalan-kejanggalan. “Saat saya tanya teman-teman KPK yang masuk, ada hal yang aneh, misalnya ternyata ada grup Whatsapp yang mereka tidak diikutkan,” tutur Budi. Selain itu, kejanggalan juga terjadi pada keanggotaan tim gabungan ini. Jumlah polisi masih mendominasi, sehingga dalam perjalanannya timbul pertanyaan apakah tim gabungan ini layak untuk mendapat kepercayaan.
Oleh karena itu, muncul usulan dari koalisi masyarakat sipil anti korupsi untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen. Dengan ini, tim gabungan yang ada tidak terafiliasi dengan salah satu instansi atau kepentingan politik yang ada. Selain tim gabungan dari eksternal, Budi Santoso menyarankan agar kasus ini bisa ditangani oleh Internal KPK yang berada dalam naungan Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK dengan judul Obstraction of Justice. Peraturan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu perbuatan menghalang-halangi proses penegakan hukum. Namun, jika kasus ini diangkat dalam pasal tersebut, maka Novel harus tahu mana kasus yang dirasa menghalangi. “Novel itu menangani banyak kasus besar, sulit untuk menemukan kasus mana yang diduga menghalang-halangi,” jelas Budi.
Kasus yang dialami Novel juga bisa dilihat dalam perspektif dan kaidah seniman. Berbicara hal itu, Akiq Abdul Wahid menuturkan pentingnya institusi seni dimaksimalkan dalam gerakan-gerakan masyarakat sipil. “Seni itu dapat digunakan sebagai medium untuk menyederhanakan persoalan, tanpa menghilangkan substansinya,” jelas Akiq. Contohnya adalah film Sexy Killers yang dirilis tahun 2019. Film dokumenter karya rumah produksi Watchdoc ini menceritakan dalang di balik aktivitas pertambangan di Indonesia. Dengan sajian visual melalui video, isu ini bisa membuat jutaan masyarakat tertarik. “Mungkin kalau Sexy Killers dibuat buku akan sangat tidak menarik,” lanjutnya.
Namun, Akiq sendiri menduga ada beberapa tantangan dalam merealisasikan seni sebagai instrumen gerakan masyarakat sipil. Yang pertama, yaitu prespektif harus dimiliki oleh seniman yang kemudian dapat digunakan untuk memperkaya konten. “Seniman itu pinter gambar, tapi belum tentu paham konten, belum tentu paham perspektif,” lanjut Akiq. Selain itu, Akiq menyampaikan bahwa sebenarnya banyak institusi musik yang tertarik dengan isu sosial. Namun, produk musik mereka belum membahas soal itu. Sehingga, tantangan kedua yaitu mengakuisisi agenda-agenda kelompok seni yang kemudian dapat bekerja sama dengan para aktivis.
Mengelaborasi yang dia dan Akiq paparkan, Budi Santoso menuturkan bahwa KPK membutuhkan kontribusi banyak unsur dalam masyarakat. Dia juga menjelaskan bahwa sampai saat ini KPK belum mendapat lampu hijau dari Menteri Keuangan untuk mendirikan perwakilan-perwakilan di daerah. “Jadi kalau kita harus bekerja untuk memberantas korupsi dari Aceh hingga Papua sendirian, saya pastikan itu sangat mustahil,” jelas Budi.
Menutup diskusi sore itu, Budi Santoso menyampaikan optimismenya terhadap pemberantasan korupsi. “Saya akan tetap optimis pada pemberantasan korupsi di Indonesia, kita juga harus membuat gerakan bersama dalam memerangi ini,” tutupnya.
Penulis: Anis Nurul Ngadzimah
Penyunting: Ima G. Elhasni