
©Rizky/Bal
“Papua bukan merah putih. Papua bukan merah putih. Papua bintang kejora, bintang kejora. Baru-baru kau bilang merah putih.” Penggalan lirik lagu berjudul “Papua Bukan Merah Putih” tersebut dinyanyikan oleh ratusan demonstran yang berbaris di depan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan 1 pada Rabu (01-05). Para demonstran tersebut hendak melakukan Aksi Hari Buruh yang juga bertepatan dengan Peringatan Aneksasi Papua yang ke-56 tahun. Mereka terdiri dari Aliansi Mahasiswa Papua, Pembebasan, Cakrawala Mahasiswa Yogyakarta, People Like Us Satu Hati, Siempre, dan Perempuan Pembebasan Rakyat. Namun, karena tidak diizinkan melakukan aksi di Nol Kilometer, terjadi beberapa kali bergesekan dengan polisi.
Pada mulanya, sekitar seratus orang dari massa aksi membentuk sebuah barisan yang hendak melakukan longmars ke Nol Kilometer. Namun, ratusan petugas menghadang mereka tepat di depan asrama mahasiswa papua yang terletak di Jalan Kusumanegara. Petugas kepolisian dan massa aksi pun saling dorong. Tak dapat membendung barikade polisi yang semakin kuat, massa aksi masuk ke dalam asrama sambil berlarian dan berteriak-teriak. Beberapa saat setelah itu, barang-barang seperti batu, bambu, dan sandal pun tampak melayang di udara, dilemparkan dari arah asrama ke jalan. Begitu pula sebaliknya, tampak sesekali polisi melayangkan barang-barang tersebut ke arah asrama. Kejadian itu membuat para wartawan dan polisi yang berada di depan asrama menjauh menghindari lemparan. Tak lama kemudian, kondisi pun perlahan-lahan mulai mereda.
Kepala Kepolisian Resor Kota Yogyakarta, Kombes Pol Armaini menjelaskan bahwa pengerahan petugas kepolisian di depan asrama terjadi lantaran massa tidak mau lokasi demonstrasinya dipindahkan. Ia mengatakan, Bergodo Prajurit Paksi Katon dan Forum Jogja Rembug ada di kawasan Nol Kilometer sehingga pihaknya menyarankan massa aksi untuk pindah ke Balai Kota. “Mereka kan berseberangan dengan dua elemen itu, jadi daripada terjadi gesekan fisik kami sarankan pindah,” ujar Armaini meyakinkan para wartawan.
Berdasarkan keterangan Abdul Malik Akdom selaku pendamping aksi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, pihaknya dan koordinator aksi telah mencoba bernegosiasi dengan polisi. Akan tetapi, negosiasi tersebut tidak mencapai kesepakatan lantaran alasan keamanan yang disampaikan polisi. Ia turut menambahkan bahwa peserta telah melakukan prosedur administratif yang dibuktikan dengan tanda terima. “Aksi saling dorong bisa saja terjadi karena massa aksi kecewa tidak dapat demonstrasi di Nol Kilometer, padahal secara administrasi mereka sudah lengkap,” kata Abdul.
Setelah masuk ke dalam asrama, sekitar pukul 13.00 massa kembali membentuk barisan dan keluar. Mereka berusaha untuk menembus barikade polisi dan kekeh untuk melakukan aksi. Beberapa polisi sontak berdiri dan membentuk barisan untuk menghadang demonstran. Kedua pihak itu pun akhirnya kembali saling dorong. Akibat beberapa kali gesekan, sebagian massa dan polisi mengalami luka-luka. Salah satu massa aksi bahkan mengaku bahwa dirinya sempat ditendang di bagian kemaluannya. “Polisi telah melakukan kekerasan, itu artinya mereka berusaha merenggut kebebasan menyampaikan pendapat kita,” ucap Opki selaku salah satu peserta aksi melalui pengeras suara.
Aksi ini bukanlah kali pertama mahasiswa Papua berhadap-hadapan dengan petugas kepolisian karena urusan demonstrasi. Pada tanggal 15 Juli 2016, ratusan aparat Brigade Mobil yang bergabung dengan organisasi masyarakat (ormas) mengepung Asrama Mahasiswa Papua Kamasan seharian. Pengepungan tersebut terjadi karena para mahasiswa hendak melakukan aksi dengan tuntutan hak menentukan nasib sendiri saat pameran seni Artjog. Akibatnya, mahasiswa yang berada di dalam asrama tidak dapat keluar untuk beraktivitas. Tak hanya itu, pada tanggal 07 April 2017, sejumah polisi dan ormas masuk ke dalam kampus UGM untuk mengejar mahasiswa Papua. Awalnya, mereka berencana untuk menyelenggarakan aksi bertajuk “Tutup Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat” di Taman Boulevard, UGM. Namun, belum sempat melaksanakan aksi, mereka dihadang dan dipaksa bubar oleh beberapa anggota kepolisian, Pemuda Pancasila, dan Bergodo Prajurit Paksi Katon.
Represi yang dilakukan oleh petugas kepolisian seringkali terjadi ketika tuntutan aksi berkaitan dengan isu kemerdekaan Papua, seperti perayaan Aneksasi Papua. Massa Aksi Papua kerap kali merujuk sejarah yang menurut mereka belum diketahui oleh khalayak. Dilansir dari Historia.id, Otoritas Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNTEA, menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Hal itu dilakukan sesuai dengan amanat Perjanjian New York. Upacara penyerahan berlangsung di Kota Baru, Papua Barat. Sejak saat itu, Indonesia harus melakukan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua selambat-lambatnya pada 1969. Akhirnya, setelah diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua Barat masuk menjadi bagian dari Indonesia.
Akan tetapi, dilansir dari Tirto.id, beberapa pihak menganggap bahwa masuknya Papua Barat ke Indonesia melalui Pepera tersebut banyak mengalami kejanggalan. Tidak hanya itu, seiring berjalannya waktu, banyak kasus kekerasan yang terjadi pada warga Papua hingga memakan korban. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Amnesty International, selama kurun waktu Januari 2010 hingga Februari 2018 telah tercatat 65 kasus pembunuhan. Kasus-kasus tersebut melibatkan aparat kepolisian dan militer dan mengakibatkan 95 korban meninggal. Namun, tidak ada upaya dari pemerintah pusat maupun daerah untuk bertanggung jawab dan menyelesaikannya. Kondisi itulah yang kerap kali menjadi latar belakang tuntutan dan perlawanan yang dilakukan oleh orang Papua di berbagai tempat. Mulai dari yang menuntut perhatian lebih kepada pemerintah pusat sampai terang-terangan menuntut merdeka.
Penulis: Citra Maudy
Editor: Cintya Faliana