Satu per satu orang menaiki punggung mobil bak secara bergantian. Di atas mobil bak, teriakan orasi mereka beradu dengan deru kendaraan yang melintas. Setiap orasi selesai, para partisipan aksi mengangkat poster agar bisa dibaca oleh warga yang melintas. “Sahkan RUU PKS!”, “Hapus kekerasan seksual!” merupakan beberapa dari poster-poster yang menghiasi orasi. Dimulai sejak pukul 9 pagi hingga 2 siang, aksi ini dilakukan dari parkiran Abu Bakar Ali hingga Titik 0 km Yogyakarta. Aksi tersebut merupakan aksi longmars yang diinisiasi oleh Women’s March Yogyakarta pada Minggu (28-04). Bertajuk #beranibersuara, longmars dilaksanakan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional dan Hari Kartini.
Aksi yang diadakan secara serentak di beberapa kota (Yogyakarta, Jakarta, serta Bandung) ini sempat diundur pelaksanaannya. Menurut Yosephine Anggun, selaku panitia longmars, aksi seharusnya dilaksanakan saat Hari Perempuan Internasional (08-03). “Hari Perempuan Internasional itu hari sebelum pemilihan umum dan pemilihan legislatif. Nah, karena kami tidak mau acara ini ditunggangi politik, akhirnya kami undur,” ungkap Yosephine.
Bertema besar “Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan”, longmars diwarnai oleh berbagai tuntutan. Tuntutan yang memiliki 8 butir poin tersebut tertulis dalam rilis pres. Pertama, mendesak pengesahan seluruh Rancangan Undang-Undang yang mendukung penghapusan kekerasan, stigma, diskriminasi dan represi terhadap perempuan dalam berbagai sektor. Kedua, menghapuskan diskriminasi dan seksisme terhadap semua gender, ras, agama, dan seluruh latar belakang yang berbeda dalam perundang-undangan, penegakan hukum dan kehidupan sehari-hari. Ketiga, menghentikan dan mengusut semua tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia serta kriminalisasi terhadap perempuan, LGBTQ+ dan kelompok marginal lainnya. Keempat, menuntut layanan publik (kesehatan, pendidikan, transportasi, infrastruktur) yang inklusif, komprehensif, serta adil gender.
Kelima, membangun kekuatan politik perempuan dan meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Keenam, mendesak pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi masuk dalam kurikulum pendidikan. Ketujuh, menuntut media untuk memberitakan perempuan dan kasus kekerasan dengan framing jurnalistik berperspektif gender, tidak seksis, diskriminatif, dan mengobjektifikasi perempuan serta penyintas sebagai komoditas. Kedelapan, menuntut kurikulum pendidikan yang adil gender dan ramah disabilitas sejak dini.
Tuntutan-tuntutan tersebut disampaikan oleh beberapa orang yang mewakili organisasi tertentu seperti Feminis Yogyakarta, Srikandi UGM, Organisasi Pembebasan, serta berbagai organisasi lain di Yogyakarta. Salah satu yang menyatakan tuntutannya adalah Aldi, wakil dari Lingkar Studi Sosialis Wisalaju. Ia mengatakan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah harus karena meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual sampai saat ini.
Menurut Aldi, maraknya kasus kekerasan seksual diperparah oleh tidak mampunya negara maupun institusi pendidikan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Ketidakmampuan itu dibenarkan oleh Retyan Sekar Nurani yang merupakan panitia longmars. Ia mengatakan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan korban. “Kasus kekerasan seksual tak pernah mampu diselesaikan oleh negara dan institusi pendidikan. Dari Agni hingga Baiq Nuril merupakan contoh dari ketidakmampuan negara dan institusi pendidikan menyelesaikan kasus tersebut,” jelas Retyan.
Sementara itu, Adinda Aurellia, perwakilan dari Srikandi UGM mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual seringkali terjadi di perusahaan. Menurutnya, kasus kekerasan seksual membuat perempuan enggan untuk terjun menjadi tenaga kerja. Keengganan itu ia buktikan lewat riset Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa jumlah perempuan yang menjadi tenaga kerja memiliki angka 30% lebih sedikit ketimbang tenaga kerja laki-laki.
Aurel juga mengatakan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual di tempat kerja kerap kali enggan melaporkan pelaku karena tidak adanya kepastian hukum. “Kalau korban tidak melaporkan pelaku kekerasan seksual itu seringkali karena mereka takut dipecat. Ketakutan itu terjadi karena tidak ada Undang-Undang yang dapat menindak tegas pelaku kekerasan seksual,” tambahnya. Sehingga menurutnya, RUU PKS perlu disahkan agar pertanggungjawaban dari pelaku kekerasan seksual dapat mengeliminasi ketakutan tersebut.
Berkenaan dengan RUU PKS, Farah yang merupakan salah satu partisipan aksi juga turut menyatakan dukungannya terhadap pengesahan RUU PKS. Harapannya, melalui disahkannya RUU PKS kejadian kekerasan seksual yang pernah beberapa kali ia alami tak lagi terjadi. “Saya pernah beberapa kali mengalami kekerasan seksual, dan menurut saya hal tersebut sungguh menjijikkan dan tak berperikemanusiaan,” protes Farah sambil menyingsingkan lengan bajunya.
Penulis: M. Fadhilah Pradana
Penyunting: Anggriani Mahdianingsih