Tujuh orang anak berdiri berjajar di atas panggung, di samping tumpeng. Mereka datang dari beberapa desa di pesisir pantai Kulon Progo. Tumpeng dipotong dan dibagikan satu per satu kepada mereka. Hal ini dilakukan secara simbolik menandakan puncak acara perayaan hari ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) pada Minggu (31-03). Perayaan ulang tahun PPLP-KP yang ketiga belas ini disaksikan oleh ratusan masyarakat Karangsewu dan desa sekitarnya. Perayaan yang bertajuk “Bertani Dengan Senang, Melawan Dengan Riang: Tambang Pasti Tumbang”, dimeriahkan dengan arak-arakan gunungan, orasi dan pagelaran musik. Seniman, musisi dan aktivis dari dalam dan luar Yogyakarta turut hadir untuk bersolidaritas dalam acara ini.
Rangkaian acara ini dimulai sejak Sabtu (30-03) malam dengan membaca doa bersama. Paginya, pawai gunungan memulai rangkaian acara perayaan ulang tahun. Selanjutnya, orasi dari berbagai tokoh masyarakat dan aktivis berselang-seling mengisi acara bersama para musisi. Salah satu pihak yang turut serta memberikan orasinya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Orasi diwakili langsung oleh Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli. “Hari ini perlu kita ingat. Hari dimana kesepakatan untuk menolak keberadaan tambang pasir besi dilakukan tepat 13 tahun yang lalu,” Yogi membuka orasinya.
Yogi mengisyaratkan terjadinya perampasan lahan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia karena pemerintah lalai atas mandat rakyat. Menurutnya, atas nama pembangunan, kepentingan dan ketertiban umum, pemerintah tega menggusur tanah dan mengkriminalisasi para petani, buruh serta aktivis. Ia juga menekankan, keberadaan dan perjuangan PPLP-KP telah mengingatkan kita agar senantiasa waspada terhadap perampasan lahan yang setiap saat mengincar tanah rakyat.
Salah satu anggota PPLP-KP, Tukijo, menuturkan bahwa PPLP-KP selama 13 tahun terus menolak masuknya tambang demi mempertahankan ruang hidup masyarakat pesisir Kulon Progo. “Jika ruang hidup kami dirampas maka tidak ada lagi lahan sebagai sumber penghidupan kami,” jelas pria yang pernah dipenjara selama 3 tahun karena kegigihannya memperjuangkan ruang hidup pesisir pantai Kulon Progo. Ia menambahkan, jika kondisi ini terjadi maka akan timbul banyak masalah, seperti putus sekolah dan kemiskinan.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa perjuangan PPLP-KP mampu bertahan selama 13 tahun ini didorong oleh kesadaran masyarakat akan kebutuhan mereka akan tanah. “Kebutuhan yang paling pokok dalam hidup ini kan tanah. Oleh karena itu, kami menolak seluruh aktivitas yang dapat merampas ruang hidup masyarakat pesisir Kulon Progo,” ucap Tukijo. Ia menuturkan bahwa jejaring solidaritas yang dibangun oleh PPLP-KP juga ikut memperkokoh perjuangan mereka selama ini. Jejaring yang dibangun PPLP-KP mencakup berbagai elemen, termasuk para musisi dan aktivis dari dalam dan luar Yogyakarta.
Ade Sumaryati, perwakilan dari Forum Juang Tamansari Bandung yang juga turut bersolidaritas dalam acara ini, menjelaskan bahwa alasan mereka bersolidaritas dilandaskan pada kesamaan nasib. Ade menjelaskan bahwa warga Tamansari juga sedang berjuang menghadapi ancaman perampasan ruang hidup. Menurutnya, perampasan ruang hidup telah menyebabkan perekonomian masyarakat hancur karena hilangnya mata pencaharian. “Saya melihat PPLP-KP selama 13 tahun ini masih tetap kompak. Kami di sini juga untuk belajar bersama PPLP-KP. Dengan berjejaring seluas-luasnya kami tidak lagi merasa sendiri dalam berjuang,” tambahnya.
Sementara itu, Sabhina Tiphani, vokalis Agoni yang turut memeriahkan acara, menuturkan bahwa solidaritas dari kalangan seniman dan musisi dirasa penting karena perjuangan melawan perampasan tanah adalah perjuangan milik bersama. “Kami merasa segala bentuk perampasan ruang hidup adalah tidak adil dan tidak manusiawi,” pungkasnya.
Penulis: Fahmi Sirma Pelu
Penyunting: Ahmad Fauzi