Pencabutan dwifungsi militer sebagai tuntutan Reformasi 1998 masih mengalami kebuntuan. Selama bisnis militer masih dipertahankan, tuntutan tersebut tidak akan sepenuhnya terwujud.
Pendahuluan
Tepat pada tanggal 21 Mei 2018, Reformasi 1998 genap berumur 20 tahun. Reformasi 1998 mempunyai enam buah tuntutan yang mencakup bidang pemerintahan, hukum, politik, dan ekonomi. Di antara tuntutan tersebut adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Mencabut dwifungsi ABRI berarti menghapuskan fungsi sosial politik yang dimiliki militer seperti duduk di kursi pemerintahan, menjadi anggota partai politik, hingga mengelola bisnis pribadi. Dengan begitu, militer dapat bekerja dengan lebih profesional. Hal itu diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI yang menetapkan bahwa tentara profesional tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan hanya bertugas untuk menjaga keamanan negara. Namun, penghapusan dwifungsi militer sampai saat ini dirasa belum maksimal atau justru cenderung gagal.
Meskipun dwifungsi sudah ādicabutā secara legal, tetapi militer masih mencampuri urusan sipil. Hingga tahun 2018, militer telah memiliki lebih dari 30 nota kesepahaman dengan kementerian dan lembaga negara lainnya yang memungkinkan mereka untuk mengurusi ranah sipil (Tempo, 8 Februari 2018). Contohnya adalah kesepahaman dengan Kementrian Pertanian di tahun 2015 agar militer ikut dilibatkan dalam kegiatan pertanian masyarakat di desa-desa. Selain itu, terdapat seorang jenderal aktif yang mencalonkan diri pada Pilkada 2018. Meskipun akhirnya jenderal tersebut kemudian mengundurkan diri dari jabatannya setelah terpilih menjadi calon kepala daerah (Tempo, 27 Desember 2017). Tidak hanya itu, militer juga masuk ke ranah pendidikan dengan menyelenggarakan pemutaran film tentang Gerakan 30 September di sekolah-sekolah. Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa militer masih tertarik untuk mengurusi hal-hal di ranah sipil.
Adanya keinginan campur tangan militer di ranah sipil dalam hal politik dibenarkan dengan argumen bahwa militer adalah alat pemersatu bangsa (Said, 2016: 28). Slogan āBersama Rakyat, TNI Kuatā membuktikan kombinasi rakyat dengan militer dianggap penting untuk mencapai tujuan masyarakat sipil seperti stabilitas negara. Maka, usaha yang tepat untuk menjauhkan peran militer pada ranah sipil adalah dengan memperkuat komponen dari sipil dan dapat menjalankan fungsi-fungsinya.
Anggapan di atas tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak cukup untuk memahami langgengnya dwifungsi ABRI secara keseluruhan. Pasalnya, klaim seperti itu cenderung menganggap militer sebagai institusi apolitis dan mengabaikan kepentingan tertentu yang kemungkinan dimiliki oleh militer. Untuk mengetahui apa kepentingan yang dimiliki militer, mengapa mereka mempertahankannya, dan bagaimana caranya, pendekatan ekonomi-politik menjadi pendekatan yang memadai untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Menurut Hadiz & Robison (2013: 41), pendekatan ekonomi-politik berusaha melihat dinamika dan kontestasi antara aktor-aktor dalam menguasai kekuatan ekonomi maupun politik. Dalam perspektif ekonomi-politik, golongan yang telah memiliki kekuasaan dan kepentingan tertentu akan cenderung untuk mempertahankannya. Namun, cara untuk mempertahankan kekuasaan itu bergantung pada kondisi masyarakat yang ada.
Berubahnya kondisi sosial masyarakat mengharuskan mereka yang memiliki kepentingan tertentu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Menurut Hadiz & Robison (2013), kekuatan ekonomi-politik yang terbentuk ketika Orde Baru menggantungkan kepentingan dan kekuasaan mereka kepada hubungan langsung terhadap negara. Pengusaha-pengusaha yang berkembang saat itu merupakan kroni-kroni Orde Baru yang mendapatkan perlindungan dari negara, terutama dari keluarga Soeharto. Berkat perlindungan ini, para pengusaha-pengusaha itu dapat menancapkan kepentingan mereka ke sektor-sektor ekonomi tertentu dalam masyarakat dan membesarkan kekuasaan mereka (Hadiz & Robison, 2013: 46). Jatuhnya Soeharto dan berubahnya sistem pemerintahan menjadi lebih demokratis menyebabkan hilangnya perlindungan yang diberikan oleh negara kepada mereka. Perubahan ini memaksa bekas kroni-kroni Orde Baru tersebut untuk menyesuaikan terhadap iklim demokrasi di masyarakat sejak reformasi (Hadiz & Robison, 2013: 54). Di era reformasi ini, kekuasaan mereka menjadi tergantung pada institusi demokrasi dan legitimasi masyarakat secara langsung.
Melihat hal tersebut, bertahannya dwifungsi militer sampai saat ini dapat dilihat melalui kacamata yang sama. Dengan kacamata ini, dwifungsi militer saat ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan yang dimiliki oleh militer. Sama seperti kroni-kroni Soeharto, militer ketika Orde Baru mendapatkan legitimasi langsung dari negara untuk menguasai ranah ekonomi dan politik. Di era reformasi, tidak adanya legitimasi dari negara membuat militer harus memperkuat legitimasinya pada masyarakat sehingga mampu melindungi kekuasaan dan kepentingannya secara demokratis. Maka dari itu, penting untuk melacak titik kemunculan kepentingan ekonomi dan politik militer serta sistem dwifungsi. Dalam sejarahnya, bermulanya campur tangan militer di ranah sipil merupakan akibat dari perkembangan institusi militer di Indonesia itu sendiri.
Dwifungsi ABRI dalam Lintasan Sejarah Indonesia
Pada masa Revolusi 1945-1950, militer kala itu harus mengurusi dirinya sendiri karena pemerintah pusat tidak berperan langsung dalam pembentukannya. Militer di Indonesia tidak didirikan oleh pemerintah sipil melainkan sebuah self-created army yang dibuat oleh anggota-anggotanya sendiri (Said, 1987). Militer Indonesia dibangun oleh pasukan-pasukan bekas Peta dan KNIL secara mandiri di saat pemerintah sipil mengutamakan diplomasi dibandingkan perang terhadap Belanda. Hal ini membuat militer memiliki otonomi lebih dari pemerintah sipil dalam mengurusi dirinya sendiri. Akibatnya, militer cenderung memiliki kepentingan dan orientasi yang berbeda dari pemerintah sipil.
Selain kurangnya andil pemerintah, konteks perang gerilya juga menjadi momen penting dalam membentuk kekuatan dan peran politik militer di Indonesia. Kekuatan politik militer terbentuk melalui struktur komando teritorial yang memiliki tingkatan setara dengan pemerintah sipil dari tingkat kabupaten hingga desa (Said, 1987). Struktur komando ini berfungsi untuk menggantikan pemerintahan sipil ketika keadaan darurat muncul demi mengontrol dan mengorganisir masyarakat untuk perang. Contohnya pada saat Agresi Militer Belanda tahun 1948 ketika ibukota Yogyakarta direbut oleh Belanda. Kejatuhan pemerintah pusat membuat militer menjadi satu-satunya otoritas pemerintahan yang ada. Militer kemudian turun ke daerah pedalaman, dan mengorganisir warga untuk perang gerilya melawan Belanda. Struktur komando teritorial bentukan militer membuatnya dengan mudah dapat menggantikan posisi dan peran pemerintah. Dibantu oleh Undang-Undang Darurat Perang, militer dapat mengambil alih seluruh wilayah Republik yang membuatnya tidak hanya menguasai wilayah Indonesia secara keseluruhan, tetapi juga semua bidang yang ada di dalamnya, salah satunya bidang ekonomi (Crouch, 2007).
Keterlibatan militer di dalam bidang ekonomi disebabkan oleh kurangnya dana dari pemerintah untuk membiayai kepentingan militer maupun kepentingan pribadi anggotanya. Kekurangan dana dalam tubuh militer memaksa mereka untuk mencari sokongan dana sendiri. Misalnya, militer dapat mencari dana dengan membantu melakukan penyelundupan, membuat perjanjian dengan pengusaha setempat, menarik pajak daerah, dan membantu mengecek surat-surat perizinan serta fasilitas-fasilitas lainnya (Crouch, 2007: 38; Mietzner & Misol, 2013: 104). Keterlibatannya dalam ekonomi berkembang lagi ketika militer menguasai perusahaan-perusahaan Belanda. Dengan dalih UU Darurat, militer mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi oleh negara di tahun 1957. Berkat itu, militer menduduki posisi-posisi strategis pada perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, bank, dagang, dsb (Crouch, 2007: 39; Mietzner & Misol, 2013: 105). Namun, perusahaan-perusahaan yang dijalankan militer ini justru menimbulkan salah urus dan korupsi. Tentara yang menduduki posisi di perusahaan-perusahaan tersebut secara ilegal menyalurkan dana dan pemasukan perusahaan ke tubuh militer ketimbang kembali ke negara.
Kejatuhan pemerintahan Soekarno dan peralihan ke rezim Orde Baru memperkuat kekuatan politik militer. Legitimasi dwifungsi ABRI oleh Orde Baru membuat militer menjadi lebih leluasa dalam mencampuri politik. Konsep Dwifungsi ABRI di era Orde Baru memiliki perbedaan dari konsep āJalan Tengahā yang diciptakan oleh A. H. Nasution. Konsep āJalan Tengahā ditujukan agar militer dapat memanfaatkan fungsi non-militernya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan politik tetapi tidak mendominasi sebagaimana konsep āDwifungsi ABRIā (Said, 1987: 24-29). Bentuk-bentuk politik yang dilakukan oleh militer di era Soeharto misalnya memperkuat struktur komando teritorial dari tingkat nasional hingga pedesaan. Tujuannya agar militer dapat lebih leluasa menguasai dan mengurusi ranah sipil. Sementara itu, anggota militer ditempatkan pada posisi-posisi strategis dalam pemerintahan seperti menjabat sebagai anggota MPR dan kepala daerah. Pada tahun 1971, total gubernur yang berasal dari kalangan sipil hanya berjumlah 4 dari 26 orang (Crouch, 2007: 244).
Tidak hanya itu, legitimasi dwifungsi ABRI juga membuat kepentingan ekonomi militer semakin luas dan mengakar. Militer menjadi komponen penting dalam urusan perekonomian negara karena dianggap dapat melaksanakan tujuan negara yaitu āstabilisasiā dan āpembangunanā (Crouch, 2007: 273). Beberapa anggota militer ditempatkan pada sektor-sektor perekonomian untuk menaikkan pemasukan militer. Di era Orde Baru, militer mendapatkan keuntungan dan konsensi bisnis yang besar dari pemerintah (Crouch, 2007 : 280-283). Misalnya, militer dilibatkan dalam kerja sama pemerintah dengan pengusaha Tionghoa, Jepang, dan Amerika. Mereka juga menguasai tiga perusahaan yang dianggap vital bagi ekonomi pada akhir tahun 60-an, yaitu Pertamina, Bulog, dan PT. Tri Usaha Bakti. PT. Tri Usaha Bakti adalah sebuah grup bisnis besar yang beranggotakan perusahaan beras, perbankan, maskapai penerbagan, dan usaha-usaha yang menyangkut kebutuhan primer masyarakat. Banyak pula perusahaan berlatar belakang militer yang tumbuh seperti Yayasan Dharma Putra Kostrad milik Soeharto yang menjalin kerja sama dengan pengusaha Tionghoa Liem Siu Liong.
Bisnis Militer pasca Reformasi
Reformasi pada tahun 1998, yang berujung pada kejatuhan Soeharto, menjadi titik balik bagi penguasaan ABRI atas ranah sipil. Pencabutan Dwifungsi ABRI menjadi wacana yang didengungkan sebagai salah satu tuntutan reformasi. Pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan UU No. 34 tahun 2004 tentang Militer yang mencabut dwifungsi ABRI (Mietzner & Misol, 2013: 112). Oleh karena itu, militer kehilangan fungsi sosial-politiknya. Mereka tidak lagi dapat merangkap menjadi pejabat ataupun menguasai suatu bisnis secara langsung. Struktur ABRI pun dirombak menjadi dua yaitu Polisi yang bertugas menjaga keamanan dan TNI yang menjaga pertahanan negara. Pemisahan tersebut secara langsung membuat militer tidak lagi diperbolehkan mencampuri urusan sipil.
Walaupun begitu, kepentingan militer pada bidang ekonomi dan politik tidak serta merta ikut terhapus. Seperti halnya dengan kepentingan yang dimiliki oleh kroni-kroni Orde Baru, mengakarnya kepentingan ekonomi-politik militer sejak era Orde Baru membuatnya sulit untuk dihapuskan (Hadiz & Robison, 2013). Sementara itu, perubahan hukum yang terjadi sejak Reformasi hanya mengubah dinamika kekuasaan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh militer. Sebelum Reformasi 1998, negara memberikan legitimasi penuh terhadap dwifungsi militer sehingga mereka mampu berkuasa secara terbuka. Namun saat ini, penghapusan dwifungsi secara legal membuat militer harus menggunakan cara lain untuk tetap mempertahankan kepentingannya.
Menurut laporan Indonesian Corruption Watch (2003), militer kini masih berbisnis melalui tiga cara yaitu bisnis informal, bisnis ilegal, serta koperasi atau yayasan. Bisnis informal dalam bentuk penempatan personel TNI ke perusahaan juga melibatkan TNI sebagai institusi, kesatuan maupun anggota TNI. Bisnis ilegal hanya melibatkan individu dan kesatuan, secara institusi TNI tidak melakukannya. Sangat disayangkan, ketika UU No. 34 tahun 2004 tidak membedakan antara bisnis ilegal dan formal. Pemerintah seakan-akan lepas tangan, karena menganggap jenis bisnis ilegal dan formal tidak sesuai dengan definisi reformasi militer. Sementara itu, bisnis formal dalam bentuk yayasan dan koperasi melibatkan institusi TNI, kesatuan seperti Kopassus dan individu.
Yayasan dan koperasi sendiri dikategorikan sebagai ākepemilikan tidak langsungā sehingga cukup direstrukturisasi dan tidak diambil alih oleh negara (Mietzner & Misol, 2013 : 114). Sementara itu, bisnis yang dimiliki oleh militer secara langsung perlu diserahkan kepada negara. Akan tetapi, TNI menyatakan bahwa tidak terdapat kepemilikan bisnis secara langsung. Nampaknya, bisnis yang terdaftar pada tahun 2008 dimasukkan ke dalam struktur baru perusahaan yang dijalankan secara legal oleh koperasi. Perubahan ini tercermin dalam peningkatan unit ābisnisā pada tahun 2011 dengan 1.301 koperasi dan lebih dari 13 yayasan.
Menurut laporan Human Rights Watch (2006), yayasan dan koperasi tetap dipertahankan oleh militer karena kurangnya anggaran dari pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan prajurit. Rendahnya anggaran menyebabkan gaji prajurit menjadi sangat rendah dan hanya cukup untuk memenuhi setengah dari biaya minimum yang dibutuhkan militer. Akibatnya, militer merasa perlu untuk melakukan kegiatan perekonomian. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, menyatakan pada tahun 2007, āAnggaran operasi pemerintah untuk TNI masih sangat rendah, jadi untuk belanja operasi pertahanan dan keamanan, institusi militer harus mendanai sendiri dengan aktivitas bisnisā (Human Rights Watch, 2010 : 6).
Akan tetapi, berdasarkan pemeriksaan keuangan BPK banyak bisnis TNI yang nyaris tidak menyumbang apapun setelah puluhan tahun penyelewengan dan korupsi (Human Rights Watch, 2010). Yayasan dan koperasi militer dikisar memiliki aset kotor sebesar Rp 3.2 trilyun dan aset bersih Rp 2.2 trilyun pada akhir tahun 2007. Aktivitas bisnis ini meraup laba Rp 268 milyar pada tahun yang sama. Ini belum termasuk upah jasa keamanan, sewa tanah dan bangunan, beking perusahaan yang terlibat kriminalitas dan korupsi. Namun, bisnis-bisnis tersebut cenderung tidak digunakan untuk kesejahteraan prajurit. Laporan Human Rights Watch (2006) menyatakan bahwa bisnis militer menjadi sumber keuangan bagi jenderal dan tidak menaikkan taraf hidup prajurit di daerah. Artinya, alasan yang mendukung keberadaan bisnis militer tidak dapat dibenarkan. Alih-alih menyejahterakan prajurit, bisnis militer hanya menjadi bagian dari kepentingan elit militer.
Penutup
Walaupun reformasi sudah berumur 20 tahun, militer masih saja mencampuri urusan-urusan sipil. Militer masih hadir di ranah sipil dengan bentuk-bentuk yang mampu diterima dengan baik oleh masyarakat. Mereka masuk dengan mencitrakan dirinya melalui berbagai macam wacana, kegiatan, dan slogan-slogan bahwa mereka akan bekerja bersama rakyat untuk mewujudkan tujuan negara. Struktur komando teritorial yang masih dipelihara memudahkan militer untuk terlibat langsung dalam tiap permasalahan sipil. Banyak juga jenderal-jenderal yang rela melepaskan jabatannya, tidak hanya untuk duduk di kursi pemerintahan, namun juga untuk ikut terlibat dalam kegiatan di perusahaan-perusahaan swasta. Misalnya, militer ikut terlibat dalam masalah sengketa lahan antara perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan di Kalimantan Selatan (Majalah Tempo, 9 April 2018).
Melalui kacamata ekonomi-politik, upaya militer untuk mencampuri ranah sipil harus dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan bisnis mereka. Hingga saat ini pun, militer masih memiliki kepentingan bisnis yang cukup besar. Bisnis yang dimiliki oleh militer seakan menjadi pendorong bagi mereka untuk berusaha menguasai ranah politik dan sipil. Melalui dwifungsi ABRI yang mendapat legitimasi oleh pemerintahan Orde Baru, militer dapat menancapkan dan mengembangkan kepentingan bisnis & politiknya. Walaupun pemerintah sejak kejatuhan Soeharto sudah tidak melegitimasi dwifungsi militer, militer tetap mencoba melakukan langkah-langkah politik agar tetap bisa menguasai masyarakat. Hal ini penting karena dengan mendapatkan legitimasi dari masyarakat, militer lebih leluasa untuk bergerak. Kemampuan militer untuk mencampuri urusan sipil hingga saat ini membuktikan bahwa pencabutan dwifungsi militer yang merupakan tuntutan Reformasi 1998 mengalami kegagalan. Tulisan ini menunjukkan bahwa selama kepentingan ekonomi militer masih bertahan, tuntutan tersebut akan sulit dicapai.
Daftar Pustaka
Crouch, H. (2007). The Army and Politics in Indonesia. Singapore: Equinox.
Hadiz, V. R., & Robison, R. (2013). The political economy of oligarchy and the reorganization of power in Indonesia. Indonesia. 96(1): 35-57.
Mietzner, M., & Misol, L. (2013). āMilitary Businesses in Post-Suharto Indonesia: Decline, Reform and Persistence. Dalam RĆ¼land, J. , Manea, M. G. , and Born H (eds) The Politics of Military Reform: Experiences from Indonesia and Nigeria. Heidelberg: Springer.
Human Rights Watch (2006) Harga Selangit: Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia. New York: Human Rights Watch.
Human Rights Watch (2010) āJanji Tak Ditepatiā Kegagalan Mengakhiri Bisnis Militer di Indonesia. New York: Human Rights Watch.
Indonesian Corruption Watch (2003). Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta.
Majalah Tempo (9 April 2018) Perang Bintang, Sengketa Tambang.
Said, S. (1987). The political role of the Indonesian military: past, present and future. Asian Journal of Social Science. 15(1): 16-34.
Tempo (27 Desember 2017) Pilkada 2018, Lima Jenderal Siap Maju Jadi Calon Gubernur.
Tempo (8 Februari 2018) DPR Tinjau Ulang Semua Nota Kesepahaman TNI.
Penulis: Olivia Prastiti dan Matthew Alexander
Penyunting: Alnick M. Nathan