Narasi-narasi mengenai Revolusi Industri 4.0 terus digaungkan oleh pemerintah maupun institusi pendidikan di Indonesia, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM). Hal ini terlihat dari diselenggarakannya Seminar Nasional dan Call for Papers Revolusi Industri 4.0 pada 13 Oktober 2018. Dalam seminar tersebut, Prof. Dr. Catur Sugiyanto, M.A., Guru Besar FEB UGM, mengatakan bahwa 75-375 juta manusia di dunia terancam beralih profesi di era Revolusi Industri 4.0. Di sisi lain, pemerintah bahkan telah menyiapkan antisipasi untuk menghadapi dampak revolusi industri 4.0. Mengutip dari Kompas.com Presiden Indonesia pun telah meresmikan āpeta jalanā atau roadmap yang disebut Making Indonesia 4.0. Namun, bagaimana kerja Otomasi Industri? Apa yang dimaksud Revolusi Industri 4.0?
Berangkat dari narasi-narasi tersebut, seorang peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor Jurnal IndoProgress,Ā Hizkia Yosie Polimpung, membahas narasi revolusi industri 4.0 dalam kajian dan penelitiannya. Salah satu tulisannya yang berjudul Agenda Otomasi, membahas revolusi industri 4.0 dengan perspektif sosialis. Pada Minggu (28-10), BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Hizkia secara daring melalui Skype. Dalam wawancara ini ia menawarkan perspektif berbeda dalam memandang otomasi dan revolusi industri 4.0 yang gencar disuarakan di Indonesia. Pemikiran kritisnya mungkin mengubah cara kita menyikapi isu-isu ini. Berikut hasil wawancara kami.Ā
Hadirnya revolusi industri 4.0 di Indonesia ditandai dengan otomasi dan digitalisasi. Lalu, apakah otomasi dan digitalisasi saling berkaitan?
Otomasi itu sebenarnya cara sebuah kerja dilakukan secara otomatis. Kerja secara otomatis berarti penciptaan nilai yang dilakukan tanpa sebuah proses kesadaran. Hal itulah yang membuat proses otomasi berbeda dari proses kerja yang dilakukan oleh manusia. Jadi, jika kita melihat otomasi, poin saya ialahĀ jangan silau melihat otomasi dari teknologi, gawainya, komputer, atau coding, akan tetapi kita harus melihat bahwa otomasi yang dimaksud adalah otomasi kerja. Otomasi kerja itu otomasi dalam penciptaan nilai. Pertanyaannya, otomasi penciptaan nilai seperti apakah yang otomatis? Jawabannya adalah penciptaan nilai yang tidak berbasiskan pada intensionalitas, kesadaran, kesengajaan, yang berarti semuanya itu sudah teratur dalam sebuah mekanisme yang sifatnya mekanik.
Digitalisasi itu ialah ādigitā secara teknologis. Kalau look selalu terjadi dalam sebuah space, maka dunia sendiri yang berbentuk dunia maya pun akan terbentuk. Sehingga negara-negara yang sekunder ini pun bisa kita bayangkan. Digital itu lebih ke dunia yang sekunder, karena otomasi jugaĀ bisa terjadi di dunia yang sekunder ini. Sedangkan di dunia yang sekunder, penghuni-penghuninya itu bukanĀ seperti manusia yang biasa kita lihat, tapi penghuni yang berasal dari dunia digital adalah kode. Kode yang membantu dalam proses-proses otomasi dengan kode-kode, algoritma, dan bahasa-bahasa pemrograman. Itu semua yang masuk dalam digitalisasi yang menuju ke otomasi.
Apa yang membuat otomasi 4.0 berbeda dari yang lainnya?
Otomasi sudah terjadi sejak manusia ingin mengefisienkan kerjanya, lalu dia menciptakan alat untuk menggantikan kerjanya, dengan kata lain ia sedang mengotomasi kerjanya. Jadi dia mengeksternalisasi proses kerja ke dalam sebuah benda, seperti pesawat sederhana. Jadi, proses seseorang menciptakan alat atau mesin untuk menggantikan dirinya bekerja itu harus kita lihat sebagai proses otomasi. Hanya saja, hal yang membuat otomasi 4.0 berbeda dari yang lainnya adalah otomasi ini dilakukan secara masif. Bedanya ialah ia menggunakan teknologi-teknologi yang bersifat komputasi. Dari komputasi itu kita masuk ke dalam teknologi-teknologi yang sifatnya digital dan seterusnya.
Apakah wacana revolusi Industri 4.0 di Indonesia telah dipahami dengan tepat?
Sejauh penelitian yang pernah saya lakukan di media, revolusi industri 4.0 di Indonesia umumnya masih dipahami secara salah kaprah. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang punya pengetahuan tentang hal itu, baik yang sifatnya teoritis maupun praktis. Bagi kebanyakan orang yang lebih tua, mereka menganggap bahwa revolusi industri 4.0 adalah hal apapun yang berkaitan dengan komputer. Padahal, komputer tidaklah selalu tentang revolusi industri 4.0. Ketika saya meneliti teman-teman pekerja media di Jakarta, saya lihat mereka masih menggunakan piranti lunak yang bersifat low processor. Jadi, kita belum melihat teknologi khas dari revolusi industri 4.0 yang digunakan teman-teman wartawan. Maka, tetap saja mereka menggunakan low processor. Bedanya ia hanya lebih first detail, lebihĀ dinamis, karena mereka harus mulai terbiasa mengetik di gawai dan seterusnya.
Jadi, secara umum, diskursus revolusi industri 4.0 di level pemerintah sampai masyarakat justru lebih banyak gimmick dan reaksi terhadap perkembangan di internasional yang dibawa masuk. Hal tersebut pun terjadi di Indonesia. Misalkan kita lihat beberapa startup unicorn yang menggunakan revolusi industri 4.0 yang benar-benar masif, pun pertanyaan yang perlu kita ajukan secara kritis adalah, dari mana mereka datang? Walaupun katanya startup unicorn itu kebangsaan Indonesia, apakah memang itu dari Indonesia semua? Jadi saya melihat seakan-akan ada keterputusan pemahaman mengenai revolusi industri 4.0 antara anak muda (masyarakat yang disebut kelas kreatif), pemerintah, pengambil kebijakan, dan biasanya masyarakat yang berumur agak tua.
Kemenristekdikti mengatakan bahwa saat ini dunia tengah memasuki era disrupsi teknologi yang bergeser pada era Revolusi Industri 4.0, apakah hal itu benar?
Era disrupsi itu terlalu overrated, terlalu dibesar-besarkan. Menurut saya, setiap perubahan teknologi yang sifatnya paradigmatik sudah pasti menciptakan disrupsi. Disrupsi dalam artian akan ada perubahan-perubahan sosial. Seperti saat kemunculan revolusi industri 1.0, terjadi disrupsi yang disebabkan oleh penemuan teknologi Spinning Jenny, alat pemintal. Bahkan pembuat alat pintal itu sampai dikejar-kejar, hingga hampir dibunuh. Jadi, isu mengenai era disrupsi itu sebenarnya terlalu berlebihan. Karena, setiap teknologi terbaru yang dihadirkan akan mengubah tatanan dan selalu ada perlawanan dari pihak pekerja. Kenapa selalu ada perlawanan pihak pekerja? Karena pihak pekerja adalah orang-orang yang digantikan tenaga kerjanya. Tergantikannya tenaga kerja membuat mereka tidak punya cara untuk mendapatkan pemasukan. Sehingga menurut saya, revolusi industri 4.0 ini lebih mengarah ke era distraksi ketimbang disrupsi.
Distraksi yang berarti hal-hal yang dari dulu sama tetapi, menjadi tidak terlihat karena orang terlalu silau dengan robotnya, terlalu silau dengan algoritmanya, atau terlalu silau dengan Internet of Things (IoT). Sementara, hal primitif seperti ketimpangan antara kepemilikan akses produksi, relasi upah, atau relasi kekuasaan unequal di dalam kerjaan itu tetap ada. Bahkan sampai hari ini, hal (primitif) itu menjadi fitur yang enggan dipertanyakan, ditambah dengan semakin banyaknya orang ikut āributā membicarakan robotnya. Sebenarnya saya tidak masalah kalau yang meributkan itu pemerintah atau pengusaha. Tapi kalau masyarakat sipil, rakyat pekerja, atau serikat pekerja tetap sibuk melihat robotnya, maka mereka akan terus terdistraksi oleh cara penguasa dan pemodal ini menggiurkan wacana, menggiring fokus dan atensi kita. Lalu hal itu membuat kita kabur dari masalah yang mendasar, yaitu relasi kepemilikan robot-robot ini. Sehingga hal itulah yang membuat saya berpikir bahwa revolusi industri 4.0 lebih ke arah distraksi ketimbang disrupsi.
Apakah berarti pekerjaan manusia akan tergantikan oleh mesin?
Pekerjaan manusia digantikan mesin adalah feature constant dalam sejarah. Seperti saya, malas, saya tidak mau kerja, saya maunya robot-robot yang mengerjakan, bukankah itu bagus? Maka takut kehilangan pekerjaan adalah ketakutan yang sifatnya borjuis. Ketakutan yang tidak punya imajinasi diluar kerja, diluar relasi upah. Lantas yang kita lakukan adalah panik pada saat ada sesuatu yang menggantikan pekerjaan kita. Agar tidak timbul kepanikan, kita harus jelasĀ mendudukkan persoalan otomasi. Ketakutan saya adalah saat nanti kerja-kerja terotomasi, kerja-kerja digantikan robot, tapi hanya memperkaya sedikit orang. Jadi ketakutan kita bukan seharusnya takut kehilangan pekerjaan, tapi justru ketakutan karena robot-robot ini tidak dikelola secara kolektif, tidak dikelola secara sosial, disitulah permasalahannya.
Tidak kerja kan bagus, yang kerja robot, kita bisa baca filsafat, membuat pemikiran yang abstrak tentang ekonomi, belajar seni, dan tidak perlu kerja tiap hari. Sehingga, poin yang selalu saya tekankan adalah ketika takut kehilangan pekerjaan menandakan betapa kita sangat-sangat miskin secara imajinasi dalam melihat dunia tanpa kerja. Dunia yang kita bisa bebas berekspresi tanpa harus masuk jam delapan pulang jam lima, tanpa harus menerima gaji bulanan. Karena sistem seperti itu selalu berdasarkan pada ketidaksetaraan, ketimpangan kekuasaan.
Lantas, bagaimana cara kita mengahadapinya?
Jadi, solusi praktis yang pertama adalah, revolusi industri 4.0 tidak terelakkan. Kita harus menghadapi perusahaan-perusahaan besar. Pemerintah pun memihak pengusaha-pengusaha besar, serta kapital yang gelontoran dananya besar. Dengan kata lain, otomasi dilakukan secara masif, tapi bukan untuk kepentingan pekerja, bukan untuk kepentingan masyarakat. Maka kita perlu semacam blok teknologi baru yang sifatnya sosial, kolektif, dan itu dibangun masyarakat. Sehingga itu menjadi misi masyarakat untuk mulai paham tentang teknologi, sains, serta pengetahuan yang disebut-sebut pengetahuan 4.0. Maka, itulah pentingnya gerakan sosial masyarakat yang progresif dan kritis untuk mulai menggalang teman-teman yang paham keadaan tersebut. Karena pertarungan kita adalah pertarungan memperebutkan command control. Pada saat robot yang mengerjakan semua, siapakah yang mengendalikan robot? Apabila yang memiliki robot itu penguasa dan pemodal, maka ada satu hal yang terjadi, penguasa mempergunakannya untuk memperkuat kekuasaannya dan pemodal memperkuat kapitalnya. Tidak ada masyarakat dalam sangkut paut mereka. Sehingga pertanyaan kita adalah, apa strategi kita merebut kendali robot-robot itu?
Efisiensi teknologi tidak membebaskan rakyat pekerja dari pekerjaan yang bisa dilakukan dengan robot. Justru mereka lebih terbebani lagi dengan pekerjaan-pekerjaan yang baru. Karena mereka tidak bisa hidup dengan uang yang biasa mereka dapatkan. Jadi, kalau kita ikut pada diskursus umum bahwa dampak otomasi itu adalah lay-off, dan seterusnya, itu benar. Namun, saya lebih melihat ke perspektif urban, yang dirasakan masyarakat urban pada saat teknologi otomasi itu masuk, mereka justru bertambah lagi.Ā Faktor yang di sub-urban, saya tidak memiliki cukup kapasitas dan kompetensi untuk berbicara masalah itu. Semakin teknologi itu merangsak di kehidupan manusia, manusia pekerja, semakin canggih, semakin otomatis, maka semakin sibuk. Mereka tidak melakukan hal lain yang lebihĀ bermakna. Itu menandakan bahwa kemajuan teknologi justru semakinĀ menjauhkan diri kita dari pekerjaan yang non-kapitalis.
Bagaimana anda memandang fenomena startup dalam otomasi industri?
Startup dalam otomasi industri itu kalau menurut saya seperti sapi perah. Di tengah ketidakmenentuan ekonomi, kalau misal saya kapital besar, saya akan butuh anak-anak muda yang idealis, utopis, yang bersemangat, yang sangat kreatif, yang siap untuk kerja tanpa dibayar, untuk mikir tanpa dibayar, untuk coba-coba tanpa dibayar. Itulah yang disebut startup, spesies-spesies tampak di mata die capitol. Pada saat anak-anak startup ini berhasil, langsung saya beli. Tapi kalau tidak berhasil, ya sudah āapesmuā. Coba lihat apa yang terjadi dengan gojek, apa yang terjadi dengan grab, dan seterusnya. Semuanya mulai dari kecil dan berakhir dengan dibeli oleh perusahaan-perusahaan besar itu. Jadi, mitos bahwa startup adalah bentuk baru ekonomi, hal itu bagi saya cuma kontes kecantikan di hadapan para penopang modal atau pemodal besar untuk dibeli. Mereka berjalan di catwalk āooh saya cantik, saya cantik, belilah saya, belilah sayaā.
Saya sedikit shock, ketika pertama kali membaca risetnya The Economics, majalah yang sangat liberalis itu, yang mengatakan bahwa impian dari startup-startup anak muda ini tujuannya hanya untuk dibeli perusahaan besar. Realitas ini pun āmerembesā ke pemikiran para āstartup-startup maniaā ini. Mereka itu benar-benar petualang, āoke saya bikin satu (lalu setelah) jadi, dibeli. Saya pindah yang lainā. Jadi tidak ada komitmen jangka panjang. Semuanya hanya main-main. Mereka hanya main, mereka mencari hal-hal yang menarik. Tidak pernah melihat sesuatu hal itu penting. Bukan berarti saya anti terhadap startup. Akan tetapi, yang ingin saya tekankan adalah bagaimana (cara) sebuah entrepreneurship yang sociopreneurship dan startup-preneurship ini sebenarnya punya komitmen yang sifatnya visioner, jangka panjang, yang benar-benar akan mengubah total wajah ekonomi. Tidak berbasis pada perusahaan-perusahaan besar, tetapi benar-benar dari perusahaan-perusahaan yang sifatnya sosial, sifatnya membangun dari masyarakat, berbasis komunitas. Ketimbang mereka berakhir kepada pangkuan dan peluk-pelukan dari penguasa-penguasa dan pemodal-pemodal besar. Sehingga pertanyaan mendasar berikutnya adalah: Bagaimana kita bisa menggalang sendiri startup, untuk beberapa gerakan startup yang sifatnya lebih mengakar pada masyarakat?
Menteri Ketenagakerjaan, Muhammad Hanif Dhakiri, S.Ag., M.Si., mengatakan bahwa bonus demografi berkaitan erat dengan persiapan revolusi industri 4.0, benarkah?
Sebenarnya wacana bonus demografi dengan revolusi industri itu agak melompat logikanya, kalau saya lihat discourse yang berkembang. Karena pada saat bonus demografi itu ditakutkan tidak adanya lapangan pekerjaan, lalu tidak ada yang bisa memanfaatkan surplus, sehingga akhirnya jadilah pengangguran dan kriminalitas. Dari sisi lain juga pendekatan-pendekatan yang sifatnya manajemen-manajemen dan psikologi-psikologi populer pseudo-science sering mengatakan bahwa bonus demografi kali ini sedikit berbeda. Masyarakat kecenderungannya milenial, generasi Z, dan lain-lain yang sifatnya technologi native dan sebagainya. Sehingga sedikit bertentangan dengan generasi yang lebih tua, yang tidak paham teknologi, atau yang sedikit gagap dan seterusnya. Sehingga ketakutannya adalah ketidakcocokanĀ dalam dunia kerja, dalam organisasi, dan seterusnya. Jadi menurut saya semua itu (hanya) asumsi-asumsi semata, yang melandasi hubungan antara kedua hal tersebut (revolusi industri 4.0 dan bonus demografi). Jadi, saya tidak, atau mungkin saya belum cukup melihat korelasi antara bonus demografi dan revolusi industri 4.0 itu. Mungkin saya salah, hanya saja saya tidak begitu melihat korelasi di antara keduanya.
Lantas apa yang harus kita persiapkan menghadapi zaman yang terus berubah ini?
Terkait otomasi, sejak dulu yang selalu saya tekankan ke teman-teman di level gerakan adalah; kita harus mulai aware dengan teknologi, kita harus mulai aware dengan science yang sifatnya āsangat kerasā. Selama ini āanak-anakā sosial humaniora selalu berbicara bermodalkan āababā. Hanya bicara (bermodal) āababā, lalu (ditambah) penalaran-penalaran logika sederhana yang kemudian ditempel-tempel dengan nama-nama filsuf besar, seolah-olah analisis mereka menjadi analisis yang melangit. Jadi kita mesti lebih empirik, lebih konkrit, dalam artian memahami situasi. Penting untuk kita bersungguh-sungguh menyeriusi science. Jadi, mungkin bisa dari level intelektualnya. Saya tidak bilang mahasiswa saja, namun saya juga yang ada di dalamnya. Saya selalu sampaikan ke kawan-kawan sekalian bahwa kita harus mulai memikirkan bagaimana science ini punya implikasi terhadap cara kita memahami masyarakat, cara kita memahami konsep-konsep filsafat dan seterusnya.
Lalu, di sisi politik, yang perlu kita pertimbangkan juga ialah cara kita merebut agenda otomasi yang tidak hanya (dikuasai) penguasa modal. Tetapi dengan cara memperkuat basis-basis produksi yang sifatnya teknologis, sehingga mau atau tidak mau kita harus paham. Kita harus paham hal-hal yang sifatnya teknologis, digital, 4.0 dan seterusnya.
Kita juga harus mulai mengonsolidasikan kemandirian ekonomi kita yang berbasiskan hal-hal tersebut (pemahaman mengenai teknologi 4.0). Karena kalau kita tidak punya basis kemandirian ekonomi, maka politik apapun tidak mungkin ada. Oleh karenanya, kita harus take on the challenge of auto-machine, challenge of industrial-social revolution untuk kemandirian ekonomi hari ini. Itulah alasan kenapa berdiskusi dengan teman-teman yang selama ini jauh dari gerakan mahasiswa, khususnya seperti anak-anak teknik, anak-anak sains, anak-anak matematika menjadi strategis. Hal itu yang seharusnya mulai kita pikirkan, untuk konsolidasi ke fakultas-fakultas tersebut. Daripada terus-menerus di FISIP, terus-menerus di fakultas filsafat, dan fakultas lainnya. Kita tidak akan kemana-mana kalau di situ. Ya mungkin itu saja.
1 komentar
Membentuk visi untuk mendidik kehidupan berbangsa dan bermassa rakyat adalah dengan membentuk kurikulum pendidikan mengenai sosiopreneur dan atau melengkapi kurikulum sejak sekolah menengah tentang pentingnya ber-filsafat sejak dini sehingga dapat membentuk kelas selanjutnya dengan cara pandang yg kokoh dan tidak mudah di kambing hitamkan.