
©Ayu/Bal
Ruang Panel 2 lantai 7 Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya mulai dipenuhi para hadirin sore itu, Minggu (28/10). Kebanyakan dari mereka adalah peserta simposium bertajuk “Menggerakkan Adat Melawan Boros” yang merupakan salah satu rangkaian Festival Sumba. Menghadirkan lima panelis, salah satunya adalah Fransiskus Apriwan, staf peneliti di Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada. Dalam penelitiannya, staf peneliti ini meneliti keterkaitan antara kemiskinan dan upacara adat di Sumba.
Iwan lantas menceritakan bahwa dalam penelitiannya di Sumba Barat, ia dan tim tidak ingin terburu-buru untuk segera mengaitkan antara keborosan ekonomi masyarakat dengan upacara adat. Walaupun begitu, Iwan mengakui adanya situasi yang berimpitan antara upacara adat dengan kemiskinan di Sumba. Situasi itu terlihat dengan ditemuinya beberapa orang putus sekolah pada hari berlangsungnya upacara adat. ”Untuk pergi ke sekolah seorang anak membutuhkan uang yang tidak mampu dia akses, banyak pula yang putus sekolah di situ,” ungkap Iwan.
Iwan menuturkan telah menemukan beberapa ukuran kemiskinan dalam data dan statistik yang dikumpulkannya sebelum ia ke Sumba. Di Tanarihu misalnya, ia mendapati adanya gizi buruk, tingginya angka putus sekolah, juga kriminalitas. “Di situ saya melihat memang ada beberapa ukuran kemiskinan yang memang berada di wilayah ini,” tutur Iwan.
Selain itu Iwan melihat adanya kontestasi dalam upacara adat di mana hal tersebut berkaitan dengan datangnya ekonomi global ke kehidupan masyarakat Sumba. Sejalan dengan brosur yang dibagikan membahas tentang keborosan yang terjadi pada sambungan antara sistem ekonomi pertukaran dan sistem ekonomi pasar di Sumba. Di sini Iwan melihat terdapat penanaman modal, pariwisata masuk, juga tanah-tanah yang sedang diperebutkan. Namun di satu sisi, masyarakat Sumba juga sedang mempertahankan moralitas pertukaran. Bagi orang Sumba sendiri moralitas pertukaran merupakan perwujudan hubungan antara Ina Mawolo dan Ama Marawi, yaitu perempuan dan laki-laki nenek moyang orang Sumba. Roh mereka dipercaya selalu ada diantara orang yang masih hidup dan keberadaanya disimbolkan dalam berbagai bentuk. Dalam moralitas ekonomi pertukaran, laki-laki menurunkan nama dan parang, sedangkan perempuan mendatangkan kerbau, kuda, babi, dan kain tenun.
Dalam penelitiannya, Iwan menemukan ada kontestasi lain dalam upacara adat untuk menunjukkan seberapa mampu seseorang. Baginya tidak menjadi masalah bila orang tersebut mampu menyembelih hewan dalam jumlah banyak. ”Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang harus memaksa diri karena ketidakmampuan,” tambahnya. Upacara adat yang membuat orang harus memaksakan diri itu memiliki tegangan untuk dapat mencukupi berbagai kebutuhan pada upacara adat tersebut. Ia juga menyebutkan bahwa upacara itu tidak harus dilakukan dan sebetulnya bergantung pada kemampuan seseorang meski secara tidak langsung hal ini memperlihatkan terjadinya perputaran hewan di masyarakat. Ia menambahkan, “Dengan adanya upacara semacam ini, orang seperti sedang berupaya mempertukarkan hewan yang semula sudah pernah diberikan.”
Dalam sesi tanggapan dan tanya jawab, Adi Pandarangga dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sumba Timur menyampaikan pendapat yang berbeda dari Iwan. Adi memaparkan bahwa orang Sumba sangat menghargai nilai dan tata krama. Ia memberi contoh ketika ada orang yang meninggal proses penguburannya sengaja diperlama supaya tuan rumah dapat mempersiapkan diri dalam mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan. ”Orang-orang Sumba sangat memegang tinggi nilai yang direpresentasikan dalam simbol,” papar Adi.
Di sisi lain Adi juga berbicara bagaimana masyarakat Sumba memenuhi kebutuhan sumber daya dalam pelaksanaan upacara adat yang ternyata tidak membuat orang untuk berpaksa diri dalam prosesnya. Adi juga mengungkapkan ketidaksetujuannya bahwa penyebab masyarakat Sumba miskin karena adat. “Faktor marginalisasi ekonomi di Indonesia lah yang menyebabkan kemiskinan di Sumba,” tegasnya.
Penulis:Â Gaudio Virgolilius (Magang)
Penyunting: Ayu Nurfaizah
1 komentar
Saya pun turut bahagia apabila adat Sumba, semakin terjaga, agar tidak berkurang istiadat luhur di negeri ini. #jejakbiru