Gelagat Nyorog
Rantang menenteng gabus pucung.
Mata puisi memandang gelap jiwa dalam kuah.
Tiga tumpuk mangkuk menyusun doa.
rempah menyentuh lidah puisi bersama
rasa pedas dan ingatan sedih.
Gabus memulihkan luka di tubuh puisi,
setelah menghapus dahaga seperti
menghabiskan ikan kecil di rawa-rawa.
Hati yang bungah memasuki bulan
yang gurih. Tangan puisi menyentuh
hangat, mengenakan diksi yang segar
Puisi melahap sayur bagai
menyantap siraman rohani.
Pamahan
kota tidak lebih dari kelontong 24 jam
setelah sorot lampu mobil membelah sawah
dan resto cepat saji melesatkan persinggahan.
kurelakan segala yang tidak bernilai
laron-laron mati di teras rumah penuh debu
kembang cinta layu di pekarangan belakang
nangka busuk jatuh dari pohon di kebun tetangga
pamahan melihat hidup dengan mata pancing
dalam keruh air, tidak jemu menunda nasib buruk.
Di Jati Asih
Di Jati Asih, Purnawarman bangkit
ditiup amarah, melempar 6000 tombak,
tersusun panjang. Bukan sungai yang
Membelah. Tangis petani sayur mengairi
Panen terakhir.
Di Jati Asih, Masa kecil menghilang dari
tubuhmu.Tergelincir di pematang
sawah dalam ingatan petani sayur.
Di Jati Asih, angkot merah sewarna darah
bersiap mengagkut dukamu, melalui jalan
bebas hambatan ke kota lain.
Di Jati Asih, tubuhmu lelah
Membajak petak-petak ingatan.
Catatan Kematian
Buni menulis kematian
di atas tembikar merah mesir
bersama gerabah india selatan.
Raja-raja tarum dilarung
dalam keheningan sungai.
Surga bersembunyi di balik
Pintu batu, di gembur tanah.
Bising deru kereta terdengar
bagai tarikan nafas terakhir.
Tentara jepang tak bernama
Sasak kapuk mengutuk prajurit sinkh
Inggris mengutus takdir ke Ujung
Harapan untuk memutus nyawa.
Penyair mati dalam puisi
di antara celah kata-kata,
pembaca mencari makna
di antara mayat-mayat.
Dharmayawarman
Istirah putra rajadirajaguru dalam lindung cahaya bulan. Berpendar menari di atas biru sungai suci yang meliuk serupa sloka–aksara yang kehilangan dayanya. Di pusara paling rahasia, doa dilarung pada dewi Laksmi. dari muara maha luas, selama ibu bumi mengeja palawija niscaya air mengalir.
Selepas abdi, Lumah ri chandrabhaga abadi dalam hening tanah. Melalui gemercik parit, doa menjelma sayur, padi, dan nasib baik di subur sawah petani.
Pramodana
Lahir di Jakarta, 19 Maret 1999. Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Bergiat di Komunitas Selepas Senja. Dapat dihubungi di twitter @ibnsetyadi