Memasuki bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa, BALAIRUNG akan menerbitkan wawancara dengan salah satu sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Akrab dipanggil dengan singkatan namanya, SDD, adalah seorang penyair, penulis, juga akademisi. Lahir pada tanggal 20 Maret 1940, SDD sampai sekarang masih aktif menulis puisi, cerita pendek, novel, hingga esai. Wawancara ini pernah dimuat dalam rubrik Insan Wawasan Majalah Balairung No. 28/TH.XIII/1998, ditulis oleh Eka Rinanda, Hatta, dan Bekti Dwi Andari. Demi menjaga keterbacaan artikel, kami melakukan penyuntingan bahasa dan diksi tanpa mengubah substansi tulisan. Berikut Insan Wawasan Sapardi Djoko Damono.
Sapardi Djoko Damono adalah penyair yang identik dengan kesederhanaan. Semua terungkap lewat cara bertutur dalam puisi-puisinya, maupun dalam keseharian. Kesederhanaan itu diolah dengan manis, menjadi senjata andalan bagi keseluruhan karyanya. Menulis puisi sejak remaja, Sapardi dikenal luas melalui puisi-puisinya yang mengolah tema-tema abadi seperti cinta, ketuhanan dan kematian. Walaupun sebagaimana yang diungkapkan olehnya dalam wawancara dengan BALAIRUNG di rumahnya di Ciputat, banyak puisinya yang lain dengan beragam tema juga mendapat sambutan yang luas. Terbukti dengan sejumlah penghargaan yang ia terima baik dari dalam maupun dari luar negeri, serta usaha-usaha penerjemahan karyanya dalam beberapa bahasa.
Dalam tiga jam wawancara dengan BALAIRUNG, profilnya sebagai pengajar sastra di UI (sekaligus menjabat Dekan Fakultas Sastra UI, 1995-1999–Red) tercermin dalam gaya yang khas ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Termasuk dalam menganalisa masalah dan dengan sabar menggiring konsep-konsep pemahaman yang ia maksudkan. Di awal pembicaraan, Sapardi banyak mengungkap kesan-kesannya tentang dunia pendidikan tinggi saat ini berserta seluruh dinamikanya.
Berbicara masalah pendidikan tinggi, apa kira-kira perbedaan yang mendasar dengan waktu dulu?
Perbedaannya kalau mahasiswa dulu kuliahnya tidak dibatasi seperti sekarang. Masuk tidak diabsen, ujian hanya setahun sekali. Menurut saya pembatasan-pembatasan itu ada baiknya, karena sebenarnya mahasiswa kuliah itu kan dibiayai oleh rakyat. Sekarang maunya pendidikan tinggi harus efisien, jadi tidak bisa seperti dulu. Misalnya anda dibiayai mereka. Maka dibuat aturan, perguruan tinggi harus diselesaikan dalam empat tahun. Semakin lama anda kuliah semakin membebani rakyat. Itu kalau ditinjau dari segi biaya.
Kalau dari segi kualitas bagaimana?
Itu lebih berat lagi. Kalau anda menghabiskan tujuh tahun hanya untuk mencapai S1, maka di luar negeri dalam jangka waktu selama itu anda sudah menyelesaikan S2. Saya selalu katakan pada mahasiswa dan pada dosen-dosen bahwa S1 saja tidak cukup.
Masyarakat sendiri berharap banyak pada lulusan S1, artinya terpaku pada ide-ide lama bahwa orang mencari pengetahuan dalam bentuk paket, lalu setelah lulus bekerja. Bagaimana dengan penyikapan seperti ini?
Saat ini yang dikejar adalah titel kesarjanaannya. Lihat saja, lulusan pertanian atau teknik bisa bekerja di bank. Akhirnya yang tercipta adalah lulusan-lulusan yang “serba bisa” seperti itu. Jelas ada sesuatu yang salah dalam konsepsi masyarakat dan cara berpikir kita tentang perguruan tinggi dalam menghadapi tuntutan yang kontradiktif ini. Tidak jelas S1 itu mau dibawa kemana. Apakah dijadikan sekrup – artinya digunakan untuk mengisi jabatan-jabatan yang dibutuhkan masyarakat – atau memasuki kelompok intelektual. Tapi menjadi kelompok intelektual hanya dengan gelar S1 akan ditertawakan. Kalau di luar negeri, mahasiswa S1 atau undergraduate itu sama dengan kelompok mahasiswa hura-hura, sedang kelompok intelektual disendirikan dan diberi fasilitas sendiri. Sementara di Indonesia undergraduate ini dituntut terlalu tinggi.
Bagaimana bila itu dikaitkan dengan kesadaran intelektual dan sikap kritis yang coba ditanamkan dalam gerakan mahasiswa?
Gerakan mahasiswa kan berkembang. Masyarakat kita sejak dulu memandang tinggi mahasiswa. Apa yang dilakukan mahasiswa akan sangat dihormati. Berbeda dengan di Amerika misalnya. Tidak akan ada gerakan mahasiswa seperti yang terjadi di Indonesia. Gerakan mahasiswa di sana cenderung bersifat gagasan. Contohnya pada tahun ‘60-an muncul gerakan flower generation, yang bukan gerakan fisik melainkan pemikiran. Begitu pula seharusnya dengan gerakan di sini. Seharusnya ada satu gagasan besar yang melibatkan kalangan intelektual dan mendasari seluruh gerakan itu. Itu yang tidak ada di negara berkembang. Misalnya, ada tujuan yang jelas ingin menumbangkan Soeharto. Ketika ini sudah tercapai, mereka bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Akhirnya timbul banyak pendapat ini-itu. Gagasan pemikiran di Amerika tahun ‘60-an berhasil mencapai tujuannya karena ada landasan yang jelas. Misalnya kaum Hippies memberontak ingin keluar dari sistem yang teratur.
Anda sendiri bagaimana? Semangat seperti apa yang paling menguasai selama menjadi mahasiswa?
Pada tahun 60-an yang terjadi di Indonesia sebaliknya, di mana kita malah menciptakan sistem kekuasaan yang mengekang, misalnya pengangkatan presiden seumur hidup. Sistem ini kemudian didobrak oleh Orde Baru, namun ternyata juga menciptakan sistem yang sama. Pada waktu itu, setiap mahasiswa yang baru masuk akan segera diperebutkan oleh badan-badan kegiatan mahasiswa seperti HMI, GMNI, Kodema, dan sebagainya. Saya sendiri memilih untuk tidak melibatkan diri.
Lalu, di mana Anda memposisikan diri?
Saya menjadi semacam pemikir independen. Saya berkumpul dengan siapa saja. Main drama, teater, bahkan hingga menyutradarainya. Saya juga punya kelompok sendiri di Sospol (Fakultas Ilmu Sosial dna Ilmu Politik–Red). Walaupun tidak menaruh perhatian terlalu dalam, kita juga berbicara soal politik.
Penyair itu selalu bersenjatakan sekaligus bertempur dengan kata, baik ketika memilih lalu menyusunnya. Bagaimana caranya menyiasati kata sehingga puisi itu tidak “jatuh” menjadi puisi yang berbunga-bunga?
Paling penting, yang selalu saya tekankan adalah penguasaan bahasa. Sastrawan itu adalah orang yang bisa menyiasati dan menguasai kita. Kelebihan seorang penyair dibanding penulis lain adalah kemampuannya menggunakan kata sehingga karyanya bisa masuk ke dalam hati sanubari pembacanya. Tidak harus selalu berawal dari ide atau gagasan penulisan yang besar. Misalnya, tentang sebuah pemerkosaan, bisa saja disampaikan dalam sebuah puisi. Dalam bentuk berita biasa, mungkin hanya akan terdengar seperti sebuah karya ilmiah tentang pemerkosaan. Tetapi dengan kata, puisi menembus pertahanan yang paling dalam. Untuk itu, syaratnya kita harus menguasai tata bahasa. Kalau tidak kita tidak bisa bermain dengan kata. Seperti menendang bola, miring sedikit akan beda hasilnya. Contoh lain, dalam pengungkapan cinta. Bisa saja diungkapkan dengan sekadar “aku cinta padamu”. Tapi saya memilih mengungkapkan dengan “aku ingin mencintai dengan sederhana.”
Bagaimana kita belajar menyiasati dan menguasai kata ini?
Kalau saudara mengerti bagaimana prosesnya belajar menari Jawa seperti di Keraton, ya.. seperti itu. Terus menerus berlatih, sampai tidak terasa proses latihannya. Sambil terus menulis, gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kemampuan.
Tidak semua orang membaca puisi bahkan di kalangan anak muda malahan jarang sekali..
Puisi itu kan tidak hanya seperti yang Saudara baca. Puisi itu kan seperti kata. Gampangnya begini, seperti seni tari. Ada Tayub, ada Bedaya Ketawang. Masing-masing punya penikmat yang berbeda. orang yang menyukai Tayub tidak akan menganggap Bedaya Ketawang sebagai bentuk kesenian. Selama tiga jam tarian Bedaya Ketawang itu bagi mereka tampak monoton. Begitu pula sebaliknya. Semuanya merupakan bentuk kesenian sebenarnya. Sekarang juga ada tulisan-tulisan grafiti. Semua itu sangat segar dan bernilai bagi penikmatnya masing-masing. Sampai pada taraf Rhoma Irama, kan sebenarnya dia juga menulis puisi. Jadi kalau kita bicara bahwa kesenian itu, misalnya puisi, terbatas peminatnya, itu salah. Puisi yang saya tulis itu mungkin untuk Saudara, hanya Saudara yang mampu menikmatinya. Saya jadi tidak akan mengharapkan seorang pedagang beras di kampung untuk menikmati puisi saya. Bentuk kesenian yang berbeda akan membawa kearifan hidup yang berbeda pula. Belum tentu novel-novel populer itu tidak bermanfaat bagi pembacanya. Karya Romo Mangun akan dibaca dan bermanfaat bagi kalangan yang lain lagi. Begitu pula karya Marga T., misalnya. Bedanya adalah bahasa yang digunakan. Dalam lirik-lirik lagu yang kita sebut pop, kata-katanya kan begitu-begitu saja. Tapi dengan demikian, komunikasi bisa dijalin karena orang mengenal bahasa yang seperti itu.
Anda juga menulis tentang persoalan-persoalan lain di luar sastra?
Ya, saat ini saya menulis sebuah artikel mengenai masalah etnis Cina, tetapi saya enggan untuk mempublikasikannya. Sebenarnya saya takut.
Apa yang Anda takutkan?
Mungkin kedengarannya saya itu rasis. Saya menganggap semua orang itu rasis, memasang rasa curiga terhadap ras lain. Saya pikir itu naluri manusia, apalagi, pola ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dulu, yang sudah merasakan pengalaman dengan ras lain. Jadi ini tidak bisa hilang. Penyikapan kita terhadap ras lain itu sudah ada sejak dulu, kita warisi dari nenek moyang kita. Misalnya saja, dalam menghadapi bule atau londo. Londo itu adalah orang yang pintar, yang ditakuti, yang dihormati penjajah, walaupun pemahaman ini datang kemudian. Penyikapan ini masih ada, atau paling tidak masih tersisa. Kalau tidak, mengapa kita memilih bintang film yang bule. Ini karena pengalaman bertahun-tahun. Jadi dalam masalah etnis Cina, kita yang terpaksa jadi pribumi akan terus disalahkan. Kalau kita kembali ke zaman Belanda dulu, ada kelas-kelas dalam masyarakat. Yang pertama adalah kaum kolonial, kemudian orang-orang timur asing, kemudian baru masyarakat pribumi di lapisan paling bawah. Pada saat-saat tertentu ini pasti akan meledak, akan muncul apakah direkayasa atau tidak. Ini akan menyusahkan kita semua. Kita yang terpaksa jadi pribumi kan harus menanggung itu semua. Walaupun itu disebabkan oleh orang lain, kita tidak tahu siapa, tetapi yang salah tetap pribumi. Pikiran-pikiran seperti ini berbahaya sekali. Padahal ini nyata. Saya kenal betul dengan keturunan Cina karena dulu ibu saya diangkat anak oleh orang Cina. Hubungan keluarganya baik sekali. Tetapi pribumi tidak bisa disalahkan terus setiap kali ada masalah. Kenapa tidak ditanggung bersama-sama.
Kalau memang toh harus dikerjakan bersama-sama, dengan cara bagaimana?
Ya, jangan menyalahkan pribumi terus kalau ada masalah. Kalau terus begitu, konflik ini tidak akan ada habisnya. Apakah ini pribumi yang ada dalam pengertian kita? Apakah ini bukan hanya sekadar direkayasa? Kalau begini, kita akan disalahkan terus karena kita terpaksa jadi pribumi. Mereka juga kapok jadi non-pribumi. Masalah ini muncul di mana-mana, di Australia muncul partai yang anti orang Asia. Di Amerika ada yang menyeret orang kulit hitam sampai protol kabeh (putus semua–Red) anggota badannya. Apakah ini betul-betul rasis atau hanya watak beberapa orang saja? Tetapi jelas bahwa suatu bangsa akan menaruh curiga terhadap bangsa yang lain. Kalau kita pergi ke Jepang atau ke Cina mungkin kita juga akan mengalami hal yang sama. Mereka kan tertutup, susah untuk ditembus karena bahasanya juga sulit. Di sana hampir tidak ada orang asing. Susah sekali untuk menembus kebudayaan mereka.
Bagaimana Anda melihat cara yang kita pakai dalam memperlakukan bahasa asing dalam persoalan dubbing misalnya?
Ya, menurut peraturan baru yang diperlakukan sekarang ini sinetron dilarang memakai dubbing dalam bahasa Indonesia. Semua orang ikut bicara, termasuk organisasi yang sangat intelektual. Ketika masalah ini dibawa ke Pusat Bahasa untuk diajukan kepada pemerintah, saya katakan bahwa bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat informasi berbentuk apapun dalam bahasa Indonesia. Baik siaran televisi, pidato di RT, sampai menulis disertasi, karena itu adalah bahasa kita. Jadi kalau ada film dalam bahasa asing, merupakan kewajiban pemerintah untuk men-dub film itu ke dalam bahasa Indonesia, kecuali beberapa jam dalam bahasa asing.
Tapi bagaimana dengan film asing yang memuat esensi dan nilai artistiknya dalam bahasa asing. Artinya ketika men-dub nya kita akan membuat campur tangan terhadap sebuah karya dan itu akan mempunyai implikasi artistik yang berbeda.
Ya, tentu saja. Mengapa kita menyetujui karya terjemahan? Mengapa kita boleh mementaskan karya terjemahan? Karya seni itu ditulis dalam bahasa yang dikenal oleh masyarakat. Shakespeare menulis dalam bahasa yang dikuasai masyarakatnya. Lalu Shakespeare mati, pendukungnya mati, tetapi karyanya mengembara ke mana-mana menembus ruang dan waktu, hadir di tengah penonton yang berbeda. Mereka tidak akan menangkap inti kisah ini sebagaimana penontonnya yang pertama dulu. Di Inggrispun Hamlet diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang dikuasai banyak orang. Justru di sinilah letak kecanggihan kesenian itu. Kesenian itu ditransfer ke dalam masyarakat lain, dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk diceritakan kembali agar bisa dinikmati, bukan sebagai barang antik. Coba saudara bayangkan, kalau film-film Walt Disney itu tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia apa gunanya, siapa yang akan menonton. Akan sayang sekali karena film-film itu mengandung pendidikan yang berguna. Kita harus menggali konsep-konsep yang dimiliki oleh bangsa lain. Dalam sastra sudah banyak dilakukan, tetapi bahasa lisan kita belum mencoba menangkap konsep-konsep yang dimiliki bangsa lain. Bila itu dilakukan, khasanah bahasa kita akan menjadi semakin kaya.
Bagaimana dengan pengajaran sastra dalam sistem pendidikan kita?
Kita harus mulai dengan merumuskan sastra itu apa, dan apa yang ingin kita berikan. Kesusastraan itu terentang dari mulai klasik, artinya kekayaan kesusastraan dunia, hingga kesusastraan kuno kita sendiri. Juga dongeng, legenda turun temurun dan sebagainya. Lalu kita rumuskan mana yang mau kita berikan, dan dengan cara bagaimana. Anak kelas tiga SD belum tentu tidak bisa diberikan Siti Nurbaya. Kalau memang dibutuhkan kita bisa mengadaptasinya. Petualangan Guliver yang lebih dikenal sebagai cerita anak-anak itu aslinya terdiri dari lima ratus halaman dan itu sebuah kritik keras terhadap situasi politik pada saat itu. Kita juga perlu khasanah sastra dunia. Kita pilih, kita terjemahkan, dan kita adaptasi bila perlu. Dan kita perlu memberikannya sejak usia dini, dengan penyesuaian-penyesuaian yang saya maksud tadi. Dan yang harus disadari adalah sastra klasik itu sukar disampaikan tanpa mitologi, sementara kita itu lepas dari mitologi.
Apa hubungannya dengan mitologi?
Lho, bahasa itu bisa padat kalau diacukan pada hal yang disepakati bersama. Sastra itu bisa bergaung dengan baik bila dasarnya adalah mitologi. Cerita akan nyanthel pada mitologi-mitologi itu. Kalau tidak, tidak akan bisa jalan.
Tapi akan ada banyak hal yang mengalami krisis dan pergeseran makna, yang membuatnya tidak lagi bisa dijadikan rujukan bersama.
Ya, justru karena itu. Sastra bisa membongkar mitos, tetapi pertama kali harus ada mitosnya dulu. Kalau tidak, mau membongkar apa. Mitos itu bukan untuk diiyakan. Malin Kundang itu selama ini dijadikan sebagai sesuatu yang buruk. Tapi oleh Goenawan Mohamad, Malin Kundang akan memiliki makna yang berbeda. Harus ada mitosnya, baru kemudian dibongkar.
Tapi ada banyak hal yang carut marut dalam kebudayaan kita yang membuat pembongkaran-pembongkaran mitos ini tidak bisa berlangsung selinter yang Anda katakan.
Carut marut itu bagi orang yang nggak tahu. Kalau bagi yang benar-benar paham kan nggak carut marut. Surat untuk Bidadari itu mitologis banget. Kalau soal teknisnya itu soal lain. Tetapi justru itu, dia menciptakan tokoh-tokoh berdasarkan mitologi, meskipun namanya lain. Dan mitologi kebanyakan pinjaman dari luar. Wayang itu pinjaman. Mau nggak mau itu yang kita pakai. Tanpa sikap demikian akan susah sekali untuk menggaungkan sastra. Nyanyian Angsa-nya Rendra akan susah ditangkap keindahannya tanpa kita tahu mitologi Katolik. Mitos itu bisa merupakan pengetahuan, juga konsep. Pengetahuan mengenai musim, mengenai cuaca, itu juga merupakan mitos. Tanpa pengetahuan mengenai musim, Anda tidak akan bisa menikmati Hujan Bulan Juni.
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Cintya Faliana dan Ahmad Fauzi
1 komentar
Wow, thank God, thanks to youre article, I was able to complete my college assignments. thank you.
good luck and keep working.
my name is Astrid Fajriyanti Fadillah ISB Atmaluhur