Pernahkah kau mendamba cara mati yang indah jika sudah saatnya?
Liang-liang genangan aspal tampung jatuh kemurungan. Serupa gontai lelah langkah ibu yang menua. Kami susuri setapak demi setapak jalan untuk menyambung hidup, lari dari maut. Bagiku maut hanya sedekat ujung sungut. Maut adalah warisan yang terus terpungut. Rasanya tak ada makhluk di bumi ini senahas kami. Terlahir ke dunia hanya untuk dienyahkan begitu saja.
“Mengapa orang-orang membenci kita, Bu?”
“Mungkin karena miang, atau bagi mereka kita menjijikkan.”
“Apa kita najis?”
“Dari mana kau tahu istilah itu?”
“Dari kitab lama yang dibacakan tetua dulu.”
“Dalam kitab itu tak tertera nama kita. Bahkan anjing dan babi lebih beruntung nasibnya.”
Aku tahu kisah itu. Tentang anjing penghantar seorang wanita sundal masuk surga. Tentang anjing penghantar pemuda-pemuda alim penghuni goa yang bersembunyi dari kejaran tiran dan tertidur bertahun-tahun lamanya. Tentang babi yang patuh memamah kotoran-kotoran binatang dalam bahtera nabi saat banjir bandang.
Meskipun najis, mereka tercatat sejarah. Meski najis, manusia masih bisa bersuci tanpa harus membunuhnya.
Tapi manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, kata ibu suatu ketika. Petuah lama yang menghapus demarkasi lintas rantai makanan. Membuatku cepat dewasa dan sigap mencium segala ancaman yang bisa datang kapan saja. Bahkan oleh sesama. Maka dari itu gelap menjadi habitat paling masuk akal. Gelap adalah persinggahan dari dunia yang terjal.
“Adakah warna selain gelap, Bu?”
“Jika ada, kau membutuhkan cahaya. Apakah cahaya teman yang ramah bagi kita?” balas Ibu.
Bukan. Cahaya hanya dibutuhkan manusia untuk kehidupannya. Untuk eksistensinya. Cahaya hanya memantulkan warna-warna yang kemudian dihakimi sendiri maknanya. Warna-warna bendera. Wana-warna kulit. Hanya muncul sesaat di keramaian, sudah pasti kami akan langsung dihujat. Bila perlu dimusnahkan.
Bayangkan, hanya menampakkan diri saja dan kematian bakal memburu. Merajah epitafmu sendiri. Apakah kami seburuk itu?
Terkadang aku berkhayal. Jika nanti mati dan reinkarnasi, aku ingin terlahir kembali sebagai anjing penjaga istana. Atau anjing rumahan biasa. Setidaknya ada manusia yang rela menghabiskan waktunya untuk berbagi cinta. Andaikan cahaya tak membuat mata orang-orang membenci, tentu kami dapat hidup berdampingan tanpa sedikitpun rasa takut.
“Jalanilah hidup seadanya. Jangan dilebih-lebihkan, jangan pula dikurangi. Apa kau pikir hidup dalam kerangkeng istana memberi jaminan kebahagiaan? Apakah kemerdekaan bisa ditebus dengan sepotong daging dan roti? Berbanggalah dengan diri, Nak. Kita mampu mencari makan dengan tangan sendiri. Dengan keringat sendiri, meski maut bisa merenggutmu sewaktu-waktu,” urai ibu dahului fantasiku.
Bagiku ia malaikat. Ia bisa merentangkan nyalang di masa-masa gawat. Tapi sepasang sayap bukanlah senjata. Ia tersarung melingkupi tabah yang tertanam di dada. Ketabahan yang kulihat di matanya saat manusia itu membakar habis rumah kami beberapa waktu lalu. Ketabahan yang kurekam saat saudara-saudaraku semua tewas diracun kala terlelap. Kami tak lebih dari segerombolan hama. Ras rendahan tak bernilai yang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Dan mereka merasa mulia.
Sejak itulah kami nomaden. Beranjak dari satu ingatan menuju kemungkinan yang lain. Bagai perjalanan tak berujung. Singgahi setiap rumah baru tanpa sandaran.
“Kekuatan kita adalah adaptasi, Nak. Kita hidup di tempat manusia tak bisa hidup. Tuhan menyisihkan sedikit daya bekal untuk kita. Tak ada suatupun ciptaannya yang tak berguna.” Ucap ibu sembari membaui bacin sisa-sisa kaleng olahan. Menyauh hikayat kekuatan moyang melawan radiasi nuklir bom Hiroshima.
“Bila besar nanti, berkelana dan kejarlah taman Gulistanmu sendiri.”
Sungutnya bergoyang kesana-sini. Menyimpan lipid dan remahan tepung bagai ransum. Mataku nanap di hamparan kertas dan perabotan lapuk yang basah. Aroma lem menyeruak. Namun lapar tak harus meraja. Ibu senantiasa mengajariku untuk pandai menyimpan makanan kalau-kalau kelak musim mengganas.
“Apakah yang kita lakukan ini dosa?”
“Kita hanya mengambil sedikit sisa-sisa ampas semesta yang melimpah. Bukan tabiat laku yang serakah. Selebihnya kita serahkan pada Tuhan.”
Dari cerobong parit, tumpukan mobil bekas, wisma olahraga yang terbengkalai, langkahpun terhenti di balik pasang gundukan sampah. Sesosok makhluk beriak. Semakin didekati semakin terungkap wajah kuyu seorang lelaki tua. Ia mengais-ngais sesuatu. Bajunya compang-camping. Lusuh berbau kecut keringat. Ia tahu kami ada tapi tak sedikitpun menghiraukan. Matanya lekat mencari sisa-sisa sampah yang mungkin masih berharga. Barangkali ia merasa senasib dengan kami. Ibu lalu menuntunku pergi menjauh. Menapaki kubangan tanah merah menuju sebuah gudang tua.
Bangunan ini seperti sudah lama tak terpakai. Hanya tersisa tungkahan kayu dan mesin-mesin rusak dengan engsel berkarat dan atap yang nyaris roboh. Debu tebal selimuti glasir lantai tanpa sisa. Badanku lelah. Baru saja punggung hendak merebah tiba-tiba deru mobil menunda jeda. Kami tercekat, saling berpandangan. Ketukan sol sepatu mengancah. Bagiku tiada yang lebih angkuh dari suara ketukan sepatu. Dua orang mengendap-endap masuk ke dalam gudang. Satu berjas, bertutup kepala. Satu lagi berjaket tebal. Bersungut lebat.
“Rokok?” ucapnya keluarkan sebungkus kretek. Pria bertutup kepala di depannya raih sebatang.
“Aku tak sangka kau merokok.”
“Apa tawaranmu basa-basi?” timpalnya bergidik ngilu, “Jauh-jauh kita jalan. Tempat ini aman, kan?”
“Tenang. Tak kan ada yang dengar kecuali sekawanan pungguk di luar.”
Kepulan nikotin membumbung pelan. Sinar setengah bulan terobos jendela. Menyibak raut gugup pria bertutup kepala.
“Tak ada yang boleh lihat kita berdua, Ton.”
“Sudah Bang, jangan khawatir. Duduklah sebentar.” Pria berjaket tebal mengambil onggokan kayu di atas lantai. “Negosiasi sudah fix. Kami buat aturan. Anda ajukan aturan. Kita teken sama-sama. Tak ada lagi yang bisa sentuh kita. Sudah dipagari. Aman.”
“Tapi bakal ada demo, Ton. Masyarakat menolak.”
“Paling segelintir Bang. Komunis mereka itu.”
“Satu lagi yang merisaukanku,” matanya menerawang jauh ke luar.
“Joni?”
“Dia terlalu bocor. Kalau sampai proyek megah itu terbongkar semua nama bakal terseret, Ton. Nama-nama besar. Gila ini! Kau, aku, isteri-isteri anak-anak kita, hancur semua.”
“Jadi gimana. Bukannya sudah diamankan dia?”
“Maksudnya?”
“Kan sudah di muka. Masih kurang dia?”
“Lah buktinya. Dia nyerocos di mana-mana. Di media.”
“Kacau… Kalau sudah begini ya opsi terakhir. Apa lagi.”
“Maksudnya?”
“Habisi.”
Kresskk! Derit terompah memecah. Kedua pria itu sontak memburu asal suara. Sekelebat hitam hendak berlari namun jatuh lagi bersama gembolan di punggungnya. Seorang pemulung tua. Wajahnya kalut mengeang.
“Sial! Kau bilang aman. Gimana ini?!” pemulung tua itu diseret masuk. Tenaganya tak mampu melawan.
“Kau dengar apa barusan?!” hardik pria berjaket tebal.
“Kau kenal kami??”
“Eeee….anuu…tidak. Ampun paak. Saya ndak akan cerita-cerita….ampun. Biarkan saya pergi. Saya ndak ngerti apa-apa,” simpuhnya memelas ketakutan. Kedua pria itu gelisah. Panik. Lalu sesuatu terbang, mendarat di muka pria bertutup kepala. Ia histeris.
PREEKK!!!
“Binatang bangsat! Mampus kau, kampret! Sial bener!”
Sol sepatunya menginjak-injak tubuh seekor serangga. Isi perutnya terburai. Darah putih memuncrat. Kulit dagingnya berantakan.
“Cuma kecoak. Jangan teriak-teriak.”
“Dulu seorang walipun ada yang menyerupai cacing!” Ditendanglah bangkai itu sekuat tenaga sampai bergesekan dengan ubin.
“Ngawur. Udah jangan terlalu parno, Bang. Sekarang gimana ini orang.”
“Ikat dulu aja dia.”
Pria berjaket tebal lalu memotong seutas rafia.
“Cari tempat aja gak becus.”
“Aku sudah keliling. Lagi buntung aja kita. Mau ponsel kita disadap?” timpal pria berjaket tebal selagi mengeratkan ikatan.
Dari arah lain seekor lipas kecil siap-siap melayang. Sayap mungilnya mengibas limbung. Gerakannya serampangan bak kerasukan. Pria bertutup kepala refleks menarik potongan triplek di sampingnya. Saat meluncur menuju sasaran sebuah pukulan telak melempar jauh tubuh kecil itu ke sudut ujung ruangan. Badannya telentang. Kepalanya berusaha meronta bagai erangan. Sepasang sungut masih sanggup bergetar. Memasang dengar.
“Binatang brengsek. Kau tahu Ton, di rumah dinasku dulu itu awalnya sarang kecoa. Menjijikkan. Aku bakar aja semua. Lemari, perabot bekas diganyang habis sudah. Sela-sela rumah aku kasih racun serangga. Mampus,” ucap pria bertutup kepala. Napasnya terengah. Membetulkan posisi jas yang memiring kisut. Membakar setengah kretek yang belum tuntas.
“Sudahlah. Sekarang mau diapakan si tua ini? Membiarkannya gitu saja berarti kita tanggung resiko. Kita ini pejabat. Tak mungkin dia tak kenal. Kita bisa diperas.”
Kedua pria itu bicara sebentar. Berbisik-bisik. Sedikit berdebat. Tampaknya maut sedang mengantri untuk dipertaruhkan. Dan merekalah para hakim yang akan memutuskan. Agak alot sampai si pria bertutup kepala itu membuat Pak Tua sedikit melega.
“Pergilah. Tapi jangan macam-macam,” ucapnya datar.
Ikatannya dilepas. Pemulung tua itu beringsut pelan melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Memunggungi sepasang mata lancip yang mengawasi dari belakang. Liurnya tertelan degub jantung yang hampir terjun. Serasa baru lolos dari lubang jarum.
Langkah yang ringkih. Serupa gontaian lelah langkah ibu yang menua. Sang pria berjaket tebal telah mengepal beliut besi di tangan kanannya. Memperpendek jarak. Sebuah ayunan menutup adegan malam itu dengan dramatis. Membungkam gulita.
Adegan yang disaksikan sepasang pungguk yang bersila hening di hamparan ilalang. Hening yang merapal siulan dan didengar embusan angin malam. Desirnya menggelitik kerlip kunang-kunang di rimbun dedaunan hutan. Merayu paras cerlangnya. Mengumbar sentimentil. Merambat halus di akar-akar putri malu yang pura-pura memejamkan mata.
Mendaki bukit curam tapal keyakinan. Keyakinan itu meluruh di mata majemuknya membayangkan hidup yang akan sendiri, kesepian. Tanpa ibu yang selalu hadir setiap waktu.
Seberkas sinar lamat berpendaran. Sinar yang memberi rasa nyaman. Di dalamnya ia melihat ibu dan seorang lelaki tua. Lelaki itu tersenyum. Sebuah senyuman yang tak pernah ia dapatkan dari bibir manusia manapun di muka bumi ini. Ibunya kemudian berbicara sesuatu yang tak mampu ia cerna. Lalu senyap. Berganti gelap yang menusuki riam tukak. Tapi nyala api terlanjur berkobar di dadanya. Menggerakkan tekad separuh tenaga.
(Bojongsoang, 2018)
D. Hardi.
Menulis prosa, puisi, dan esai, alumnus HI Universitas Pasundan, menetap di Bandung. Tulisan tersebar di: Nyonthong.com, Pikiran Rakyat, Pewara Dinamika, Simalaba.com, Karepe.com, Kompasiana, Qureta, Geotimes, Litera.co, dan Poetry prairie.