[columns size=”1/2″ last=”false”]
Judul Laut Bercerita
Penulis Leila S. Chudori
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
[/columns]
[columns size=”1/2″ last=”true”]
Tahun terbit 2017
Jumlah halaman : 379
[/columns]
Pasca Reformasi, kekerasan dan ketidakdilan rezim Orde Baru memang sudah sering dimuat ke dalam artikel, film, buku, bahkan lagu. Cerita mengenai teror dan redupnya demokrasi semasa itu hingga saat ini masih menyisakan ruang untuk perjuangan, begitupun untuk generasi yang lahir setelahnya. Leila S. Chudori, melalui bukunya yang berjudul Laut Bercerita, berupaya menghidupkan kembali roh-roh perjuangan serta mengingatkan bahwa kebebasan yang kita miliki sekarang tidak didapat secara cuma-cuma.
Berlatar pada tahun-tahun terakhir masa Orde Baru, buku ini mengisahkan tentang mereka yang hilang dan tak pernah kembali serta mereka yang selamanya berduka karena telah ditinggalkan. Tokoh sentral dalam cerita, Biru Laut, adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris yang pandai memasak, sedikit pendiam, dan idealis. Bersama kawan-kawannya, ia bergabung ke dalam organisasi Winatra dan Wirasena—ujung tombak perlawanan mahasiswa terhadap program-program pemerintah yang represif dan tidak demokratis. Laut yang pada saat itu berkuliah di Yogyakarta tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan bergabung dengan Winatra dan bertemu dengan orang-orang yang pada akhirnya menjadi bagian dari dirinya. Melalui organisasi tersebut, Laut dan kawan-kawannya merintis berbagai gerakan seperti mendistribusikan dan mendiskusikan buku-buku Pramoedya, menggelar diskusi mengenai strategi perlawanan, hingga aksi tanam jagung di Blangguan sebagai bentuk solidaritas kepada petani.
Gerakan-gerakan tersebut disusun secara berhati-hati agar tidak tercium oleh aparat, tetapi akhirnya gagal akibat pengkhianatan dari dalam tubuh Winatra. Anggota Winatra yang telah menjadi buron pun satu per satu berhasil ditangkap. Laut dan teman-temannya harus menghadapi keberingasan siksaan tentara dan juga kegelapan sel bawah tanah. Interogasi berjam-jam, pedihnya sengatan listrik, membekasnya tendangan sepatu bergerigi, dinginnya balok es yang menusuk tubuh, dan berbagai bentuk siksaan lain yang dialami tokoh-tokoh pada buku ini tidak hanya memberikan gambaran kejinya penindasan, tapi juga ikut mengajak pembaca untuk merasakannya. Namun semua siksaan itu hanyalah pengantar untuk menunjukkan kekuatan, kegigihan, dan rasa percaya terhadap kebaikan yang, entah bagaimana bisa, masih dipegang oleh sekelompok mahasiswa yang kelelahan dan dipenuhi luka.
Perjalanan Laut beserta teman-temannya—Sunu, Alex, Daniel, Kinan, dan Sang Penyair—dalam memperjuangkan kebebasan membawa mereka pergi ke berbagai tempat seperti Yogyakarta, Ciputat, Jawa Timur, hingga Sumatera. Semua tokoh dalam kisah ini memiliki nilai sentimentil tersendiri, tak hanya bagi Laut tetapi juga pembaca. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai tokoh-tokoh di atas, selain terlalu panjang, ada baiknya pembaca memiliki pengalaman dan kesan yang dibangun secara alami terhadap para tokoh pendukung. Namun satu hal yang pasti, setiap karakter memiliki nyawa dan membuat cerita ini menjadi hidup. Dan akhirnya ketika Laut dibawa pergi secara paksa, ia mati dengan cara yang paling tragis dan puitis sekaligus—ditenggelamkan untuk bersemayam di dasar lautan. Sementara itu, Asmara Jati (adik dari Laut), dan Anjani (kekasih Laut), bersama Komisi Orang Hilang terus menggali informasi dan mendorong pemerintah untuk menuntaskan kasus hilangnya Laut bersama para aktivis lainnya.
Matilah engkau mati
engkau akan hidup berkali-kali
Bait puisi di atas termuat pada halaman pertama buku ini dan terus menggema hingga ke halaman terakhir. Bapak, Ibu, dan Asmara tak pernah berhenti berharap agar Laut pulang dan kembali melakukan rutinitas keluarga yaitu makan Tengkleng buatan Ibu di hari Minggu sore. Bertahun-tahun setelah Laut dinyatakan hilang, Bapak tetap menata 4 piring di meja makan, dan berharap anak sulungnya akan kembali. Penderitaan tidak hanya dialami bagi mereka yang harus rela mati, tapi juga bagi mereka yang ditinggalkan. Rasa kehilangan yang dialami oleh orangtua membuat mereka hidup dalam penyangkalan, terus menerus tidak ingin menerima kenyataan bahwa anaknya telah tiada. Seorang adik yang kehilangan kakaknya harus berjuang mengatasi rasa sakit itu sembari menjaga kedua orangtuanya. Bagi mereka yang ikut ditangkap tetapi berhasil pulang pun mengalami trauma dan ingatan itu lebih menyakitkan karena harus menerima kenyataan bahwa mereka harus terus hidup sementara teman mereka telah meninggal. Perjuangan Asmara dan kawan-kawan yang tidak lelah dalam mencari jawaban telah menghidupkan Laut dalam ingatan dan perasaan yang abadi. Laut lahir berkali-kali dalam duka dan perjuangan orang-orang yang menyayanginya.
Novel ini tidak hanya mengisahkan tentang ambisi mahasiswa yang haus akan kebebasan, apalagi tentang kenaifan kaum muda yang merasa harus terus-menerus melawan. Lebih dari itu, novel ini berkisah tentang rasa cinta yang luar biasa dari orang tua yang kehilangan anaknya, seorang adik yang kehilangan kakaknya, kekasih yang kehilangan pasangan jiwanya, dan para sahabat yang akan selalu merasakan kekosongan. Bagian pertama yang diceritakan melalui sudut pandang Laut difokuskan tidak hanya ke proses sosial yang Ia alami sehingga bisa terlibat dalam gerakan, tapi juga proses kedewasaan yang terjadi di dalam dirinya yaitu bagaimana ia mengatasi keraguan dan ketakutan yang terus menerus muncul. Melalui Asmara, Anjani, Sunu, Alex, Sang Penyair, dan sahabat-sahabatnya yang lain, tokoh Laut pun bisa menjadi genap. Lalu pada bagian kedua melalui sudut pandang Asmara, cerita ini masuk lebih dalam ke ruang-ruang rapuh dari diri seseorang yang ditinggalkan. Bagian paling melelahkan adalah menunggu kepastian—di manakah Laut, apa yang telah terjadi padanya, masihkah Ia hidup? Sebagai sosok yang paling rasional dan pragmatis di dalam keluarga, Asmara bersusah payah menjaga perasaan orang tuanya sekaligus perasaannya sendiri. Dan jika sudah sampai di titik ia harus merelakan, semuanya begitu sulit dan terasa lambat. Kedua bagian ini saling melengkapi melalui relasi kakak-adik yang walaupun tidak terlalu mendapat porsi yang banyak, tapi tanpa disadari telah mengikat cerita ini menjadi satu kesatuan.
Novel ini berkisah dengan jujur tanpa diksi yang dilebih-lebihkan, saya pun bisa membayangkan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh pada cerita ini sangat mungkin dialami juga oleh mereka yang turut berjuang dalam menumpaskan rezim Orde Baru, atau sejarah rezim manapun yang otoriter dan represif. Penulisan yang difokuskan pada subyek memungkinkan pembaca untuk berempati pada tokoh dalam cerita, dan bukan memandang mereka sebagai obyek pada suatu peristiwa. Leila berhasil mempersempit jarak antara pembaca dengan tema yang menjadi pusat dari cerita. Sehingga, setelah membaca pun saya ikut bertanya-tanya; bagaimana dengan proses pencarian orang hilang di era reformasi, apakah sudah tertuntaskan? Lalu bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan, apakah setelah 20 tahun kekosongan itu bisa terobati dan mereka yang pergi sudah direlakan?
Hingga hari ini, tercatat masih ada 13 aktivis yang hilang, di antaranya adalah Noval Alkatiri, Herman Hendrawan, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, dan Wiji Thukul. Sejumlah aktor militer yang berperan dalam penghilangan paksa tahun ‘97/’98 masih menduduki jabatan dan belum mendapat perlakuan hukum yang tegas. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan rezim terdahulu masih belum terselesaikan dan para korban belum mendapat keadilan. Pada Bulan Mei kemarin, pada aksi Kamisan yang ke-540, untuk pertama kalinya keluarga korban diterima di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo. Tentunya ini adalah suatu kemajuan yang harus diapresiasi, tetapi jangan sampai kita puas begitu saja pada suatu langkah kecil dalam pekerjan rumah yang masih menumpuk. Bangsa ini memiliki sejarah pelanggaran HAM yang panjang dan beberapa di antaranya masih tersembunyi dalam rak yang berdebu.
Sebagai generasi yang lahir di masa reformasi, saya tidak memiliki referensi pengalaman secara langsung mengenai rezim Orde Baru. Di lingkungan kampus, pembicaraan mengenai Soeharto dan kekuatan rezimnya selalu memiliki ruang tersendiri, baik dalam bentuk diskusi, aksi, maupun pemutaran film. Sayangnya, tidak sedikit mahasiswa yang terjebak dalam euforia perjuangan—sekejap merayakan lalu setelahnya melupakan. Laut Bercerita tidak hanya membangkitkan ingatan tapi juga memberi peringatan terhadap kita para pembaca yang mungkin seringkali menyia-nyiakan kebebasan. Kita, anak-anak reformasi, selamanya berutang budi kepada mereka yang berjuang tanpa henti hingga harus kehilangan nyawa. Kita, anak-anak reformasi, selamanya berutang budi pada mereka yang harus menerima kenyataan bahwa sahabat dan keluarga mereka tidak akan pernah pulang. Tapi kita seringkali melupakan itu, lalu sibuk menggunakan kebebasan untuk kepentingan pribadi. Ketika sejarah bangsa ini mudah tenggelam dalam hutan beton dan gemerlap kehidupan yang serba bebas, Leila S. Chudori mencoba mengangkatnya kembali melalui sebuah novel yang ditulisnya dengan penuh perasaan dan mudah untuk dibaca berbagai kalangan. Semoga cerita ini akan terus hidup dan menjadi pemantik kesadaran bagi kita semua.
Anastasya Lavenia
Mahasiswa Sosiologi UGM Angkatan 2016