āLiterasi mendadak diperbincangkan khalayak Indonesia setengah dekade terakhir setelah lembaga survei internasional seperti PISA, IEA, dan PIRLS merilis peringkat kecakapan literasi negara-negara di duniaā
Pada tahun 2012, Programme for International Student Assessment (PISA) mengumumkan posisi Indonesia, yakni peringkat lima dari bawahādengan total 65 peserta negaraādengan skor 396 untuk kategori membaca. Padahal, rerata skor internasional yang dibakukan PISA adalah sebesar 500[1] yang berarti skor Indonesia masih jauh dari nilai ketuntasan minimal. Subjek penelitian yang digunakan PISA ialah siswa-siswi kelas 4 SD.
Rapor merah peringkat literasi pelajar Indonesia kemudian digeneralisasikan. Masyarakat Indonesia, baik muda maupun tua, dianggap nirliterasi. Problem ini didasarkan atas kelesuan mereka untuk membaca dan menulis. Pendidikan dianggap tak becus menangani persoalan nirliterasi sejak di bangku sekolah.
Kurikulum nasional dikambinghitamkan karena tak eksplisit menyertakan pembelajaran literasi secara formal. Benang kusut yang demikian kemudian diteropong oleh media massa, baik daring maupun luring, sebagai bentuk diskursus yang aktual dan viral diperbincangkan selama lima tahun terakhir. Selain kurikulum, guru mendapat sorotan tajam sebagai pihak yang wajib bertanggung jawab atas persoalan kontemporer ini.
Kalaupun literasi diderivasikan ke dalam pembelajaran di sekolah formal, ia sekadar dimaknai sebatas kecakapan membaca dan menulis. Padahal, pengertian literasi berkembang mengikuti perkembangan zaman.[2] Dewasa ini ia tak lagi diartikan sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi bagaimana manusia dapat memosisikan teks secara kritis. Bila sekadar membaca dan menulis, maka definisi itu tak memenuhi jagat kompleksitas teks di era milenial.
Hari ini teks bagai ombak dahsyat yang gelombangnya menerpa di media sosial.Ā Buih-buihnya tak lagi putih, akan tapi beraneka warna. Implikasinya saling sengkarut. Antara ketercerahan dan keterpurukan. Keduanya beririsan penuh distorsi. Teks-teks dengan mudahnya dipermainkan sesuai kepentingan masing-masing orang. Teks di jagat media sosial pada gilirannya serupa pedang sekaligus tameng guna menghunus liyan.
Subyek yang dikatakan literat (melek literasi) bukan lagi dilihat sejauh mana ia dapat membaca dan menulis, melainkan seberapa mendalam orang itu mampu meneroka struktur dan kultur yang membentuk teks. Pengertian teks di sini tentu tak sekadar āapa yang tertulisā tetapi āapa yang terjadiā, suatu situasi sosial dan kultural yang menjadi pijakan subjek dalam menghadapi ādunia luarā seutuhnya.
Dengan kata lain, di luar kata terdapat konsep abstrak yang berkedudukan secara konvensional karena saling dimengerti pelbagai pihak yang memiliki kesamaan bahasa. Meskipun begitu, ādunia luarā yang dimaksudkan di sini tak persis sama seperti pemahaman tiap orang. Hal ini karena, bagaimanapun, situasi kultural meniscayakan pusparagam tafsir. Keberbedaan inilahāpemahaman atas heterogenitas interpretasiāmerupakan unikum yang kerap diabaikan jamak orang.
Bentuk kata dan konteks di mana kata itu berfungsi berkedudukan inheren sehingga membentuk kepaduan yang absolut. Ia saling berkelindan dan membentuk pola tarik-menarik: teks mustahil terlepas konteks, sedangkan konteks mustahil ada tanpa teks.[3] Posisi ini mutlak sebagaimana konsep strukturalisme bahasa ala Saussure. Linguis klasik ini mengajukan jejaring kata dan konteks yang ternyata menjadi karakteristik bahasa di mana pun.
Bangunan struktur terikat ini kerap diabaikan manusia modern. Bahkan, ia sengaja dipisahkan atas nama kepentingan sektoral. Posisi literasi mencakup semuanya. Ia berada di antara teks dan konteks. Subyek yang pandai memainkan keduanya dianggap sebagai literat. Dengan menandai posisi teks dan konteks, orang yang literat itu dapat berpikir sistematis karena acap mencari genealogis kata berikut jangkauan epistemologisnya.
Ambil kasus di media sosial yang sering terjadi. Seorang pengguna dengan lekas membagikan berita tanpa mengklarifikasi kebenaran isinya hanya karena tergoda judul yang dibubuhkan. Orang itu memiliki latar belakang pendidikan formal yang prestisius. Namun, ia tak memiliki kemampuan kritis untuk mendedah lapisan-lapisan teks secara mendalam. Ini menandakan pemahaman orang terhadap teks dan konteks tak acap berpaut erat dengan latar belakang sosial seseorang.
Setelah dibagikan, ternyata warta itu menyulut polemik lantaran mengandung hoaks. Banyak distorsi informasi yang sengaja dikonstruksi penulis berita. Orang itu, dalam pengertian ini, nirliterasi meski berderet gelar disabet. Realitas demikian banyak ditemui di jagat media sosial dewasa iniāsebuah potret memilukan bagi sekelompok āorang yang dikatakan pintarā tetapi terjebak pada persoalan elementer.
Kemampuan literasi tak berhubungan langsung oleh mereka yang mengaku mampu memborong gelar akademik di perguruan tinggi.[4] Seharusnya akademikus, peneliti, guru, maupun dosen memiliki kecerdasan literasi lebih tinggi ketimbang masyarakat biasa. Namun, jamak kasus di lapangan berkebalikan total.
Mereka yang melegitimasi sebagai orang yang berintelektual justru mudah terpengaruh informasi sampah di jejaring sosial. Banyak variabel kenapa ia terjerumus pada problem sepele semacam itu. Yang jelas, selain mudah terprovokasi, ia juga tak memiliki kecakapan literasi kritis.
Daya kritis yang semestinya dimiliki justru tergadaikan oleh api amarah karenaāsebagai contohāmengglorifikasikan tokoh atau tema partikular yang didambakannya. Akibatnya, kecermatan pikiran yang dimilikinya tergelincir ke situasi bawa perasaan (baper). Pada konteks ini terlihat jelas bahwa orang yang kritis dan orang yang baper memiliki relasi yang bertolak belakang.
Di sini wacana literasi bersemayam dan menjadi hal penting untuk diulas lebih lanjut. Selain sebagai wacana apik untuk diteliti, ia dikategorikan ke dalam wilayah disiplin ilmu yang memungkinkan untuk dipelajari siapa sajaāterutama bagi mereka yang ingin waras dalam berpikir dan berdialektika. Literasi, dengan demikian, merupakan ilmu yang jauh dari kesan eksklusif dan bukan berdiri di atas menara gading.
Literasi sebagai Laku
Mengejawantahkan kemampuan literasi bisa dimulai dari kesadaran verifikatif. Sikap awas terhadap pelbagai bentuk informasi meniscayakan manusia mampu memilih dan memilah apa yang datang dari luar dirinya. Kesadaran ini bukan berarti sinis, melainkan memposisikan diri untuk terus mengklarifikasi kebenaran informasi. Meragukan kebenaran informasi yang datang dari sumber apa pun dan mana pun adalah cara terbaik untuk membangun sikap kritis.
Secara ontologis, kedudukan informasi dibangun atas dasar premis āsegala sesuatu yang tertulis dan terucap niscaya mengandung limitasiā karena penulis maupun penutur informasi itu terikat oleh keterbatasan manusiawi. Preferensi demikian tak jamak disadari sebagian besar orang karena menganggap informasi serupa warta yang jelas kebenarannya. Padahal, kebenaran itu sendiri baru dikatakan benar bila telah diverifikasi secara sistematis atau dikomparasikan dengan informasi lain.
Sikap verifikatif terhadap informasi sebetulnya telah dijelaskan secara komprehensif dalam ranah penelitian kualitatif maupun kuantitatif.[5] Akan tetapi, banyak orang hanya memahaminya sebatas prosedur penelitian lapangan. Ia kurang dimanifestasikan ke dalam laku sehari-hari. Memanifestasikan sikap ilmiah, karenanya, diperlukan internalisasi dari teori ke laku.
Bila kecenderungan verifikatif dimulai dari subyek maka dentuman informasi yang mengandung toksin sekalipun tak akan mempan menderanya. Itu kenapa kecakapan literasi perlu dibina sejak di bangku pendidikan dasar agar peserta didik mampu menerangi pikirannya sendiri di tengah belantara kegelapan informasi.
Andaikan literasi sebagai laku diterapkan secara empiris, media sosial yang berisi kecaman sekaligus pertarungan verbal pun tak akan pernah ada. Apa yang terjadi di jejaring sosial dewasa ini hanya hilir dari kesempitan berpikir. Sedangkan kesempitan berpikir, dengan kata lain, adalah efek dari nirliterasi.
Literasi, karenanya, berkedudukan signifikan terhadap penengah dan pereduksi konflik horizontal di masyarakat. Dengan kemampuan literasi, mereka memiliki sikap hormat dan rendah hati antar sesama. Kendati demikian, potret semacam itu baru sebatas konsep das sollen (harapan) di dalam ceruk pemikiran penulis.
Rony K. Pratama
Penulis lahir di Yogyakarta, 23 Juni 1993. Saat ini penulis sedang bekerja sebagai seorang peneliti pendidikan literasi. Kritik dan saran kepada penulis mengenai tulisan dapat melalui ronykamtis@gmail.com.
Referensi
[1] Lebih lanjut baca Literasi Indonesia yang Belum Merdeka, Tirto.id, diakses pada 27 Maret 2018.
[2] J. Ong, Walter. 2002. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. New York: Routledge.
[3] Smith, F. 1992. To Think in Language, Learning and Education. London: Routledge.
[4] Webster, A. 1986. Deafness, Development and Literacy. London: Methuen.
[5] Willinsky, J. 1994. Introducing the New Literacy dalam B. Stierer dan J. Maybin (Ed.). Language Literacy and Learning in Educational Practice. Clevedon: Multilingual Matters Ltd in Association with The Open University.
1 komentar
Mari kita lihat, apakah masih ada cibiran juga di sini? ššš aha… thank bung Ronny… Good job š