Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta melaksanakan aksi solidaritas di Tugu pada Minggu malam (13-05) sebagai bentuk pernyataan sikap atas aksi terorisme pengeboman tiga gereja di Surabaya. Aliansi ini merupakan badan yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Aksi yang berlangsung sejak pukul 19.00 WIB ini dimulai dengan beberapa orasi perdamaian dari pihak masyarakat, penyalaan lilin, dan ditutup dengan doa bersama.
Pihak-pihak yang melakukan orasi perdamaian yaitu Hamzal Wahyudin dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Anastasia Kiki dari Aktivis Perempuan, Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada, dan Hairus Salim HS dari Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial. “Ada bagian dari tubuh bangsa kita yang mengalami korsleting. Tapi jangan biarkan hal itu semakin menjalar, kita harus menyatakan bahwa kita tetap satu,” seru Hairus Salim dalam orasi perdamaiannya.
Aksi solidaritas ini dihadiri oleh komunitas-komunitas di Yogyakarta, seperti Forum Jogja Damai, Gusdurian Jogja, Srikandi Lintas Iman, Young Interfaith Peacemaker Community, Angkatan Muda Ahmadiyah Indonesia, Komunitas Sant’Egidio Yogyakarta, HEREPeace Yogyakarta, dan Solidaritas Perempuan Kinasih. “Bukan kami yang mengumpulkan mereka, tapi momentum. Mendengar berita pagi tadi, semua ikut prihatin, dan sama-sama terpanggil untuk hadir,” jelas Mukhibullah, koordinator aksi Aliansi Masyarakat Sipil Yogyakarta, dalam wawancaranya dengan Tim Balairung.
Latar belakang pelaksanaan aksi ini ialah pengeboman tiga gereja di Surabaya pada Minggu pagi, 13 Mei 2018. Tiga gereja tersebut adalah Gereja Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, GKI di Jalan Diponegoro, dan GPPS Jemaat Sawahan di Jalan Arjuna. Ledakan yang diyakini merupakan aksi bunuh diri itu menewaskan 13 orang dan membuat 41 orang lainnya mengalami luka-luka.
Orasi-orasi perdamaian tersebut ditutup dengan pengajuan enam butir tuntutan dari Mukhibullah. Tuntutan pertama yaitu meminta Kepolisian Indonesia untuk menindak tegas aksi teror. Kedua, meminta pemerintah untuk memperkuat perlindungan hak konstitusional warga negara. Ketiga, mewaspadai penurunan gerakan demokrasi di Indonesia. Keempat, meminta masyarakat untuk tetap tenang dan waspada, serta tidak memanfaatkan situasi dengan memberikan komentar yang bersifat sentimental. Kelima, meminta masyarakat untuk sadar bahwa sudah selayaknya setiap elemen bangsa dan negara berkontribusi dan menjaganya dari hal-hal yang dapat mengoyak rasa kesatuan. Keenam, meminta masyarakat untuk bersama-sama memperkuat kehidupan yang rukun sehingga ideologi kebencian tidak mendapat pendukungnya.
Setelah pernyataan keenam tuntutan tersebut, pada pukul 20.00 WIB, sejumlah lilin dibagikan kepada orang-orang yang hadir di sekitar Tugu. Mereka mengenakan pakaian berwarna hitam sebagai seragam untuk aksi solidaritas ini. Setelah lilin dinyalakan, instrumen biola mengiringi semua peserta aksi untuk mengheningkan cipta dengan lagu Gugur Bunga.
Aksi solidaritas ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang pastor. “Terima kasih untuk Saudara sekalian karena telah mengungkapkan kepedulian terhadap korban pengeboman di Surabaya,” katanya sebelum memimpin doa.
Salah satu peserta aksi solidaritas, Nida Fauzia, mengungkapkan kesannya selama mengikuti aksi tersebut. “Kondisi Indonesia sekarang sedang tercerai-berai. Kita harus berupaya untuk merangkul satu sama lain,” ujarnya. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa semua orang tetap saudara meskipun berbeda agama.
Mengenai aksi solidaritas ini, Mukhibullah mempertegas agar masyarakat Indonesia tidak perlu takut dengan aksi teror yang telah terjadi. “Tidak ada agama yang mengajarkan terorisme. Melalui aksi ini, kami berharap masyarakat dapat hidup berdampingan dengan rukun,” tutupnya. Aksi solidaritas berakhir pada pukul 20.30 WIB.
Penulis: Rasya Swarnasta
Penyunting: Hutri Cika A Berutu