Menyambut 20 tahun reformasi, BALAIRUNG kembali mengunggah arsip mengenai dinamika yang kerap terjadi selama Orde Baru. Kali ini, BALAIRUNG mengangkat pembahasan mengenai pemenjaraan aktivis-aktivis mahasiswa, hingga anatomi tahanan politik. Artikel ini pernah dimuat Majalah BALAIRUNG No. 17/TH. VII/1993, dalam rubrik Laporan Khusus yang mengulas secara mendalam isu tertentu. Demi keterbacaan artikel, kami melakukan penyuntingan minor yang meliputi diksi dan bahasa sebelum mengunggah di laman ini. Berikut adalah artikelnya.
Penangkapan dan pemenjaraan terhadap mahasiswa oleh Pemerintahan Orde Baru tidak pernah lengang pada tiap kurun zaman. Bermula dari pemenjaraan besar-besaran mahasiswa anggota organisasi aliansi PKI pada awal berdirinya Orde Baru, penangkapan tak kurang dari 700-an orang dan pemenjaraan sekitar 45 orang pelaku peristiwa Malari, dan pemenjaraan belasan mahasiswa pelaku aksi menentang NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi KemahasiswaanâRed) tahun 1978-1979. Daftar itu semakin panjang ketika pada akhir paruh dekade 90-an penangkapan dan pemenjaraan kembali berlangsung berlangsung serentak di tiga kota. Bandung, Yogyakarta dan Jakarta. Penangkapan dan pemenjaraan yang terakhir menjadi menarik karena kualitas hukuman yang diterima mahasiswa tertangkap meningkat bahkan terkesan berlebihan.
Lapsus BALAIRUNG kali ini mencoba mengungkap penangkapan dan pemenjaraan mahasiswa pada momentum terakhir tersebut. Laporan digarap bersama oleh tim yang terdiri dari Yuswohadi, I Putu Mandau, Mardiyah, Rahmi Lestarini, Suyono Prihantoro dan Dewi Ratnawulan.
Kurun waktu 1988-1990 merupakan tahun-tahun maraknya gerakan mahasiswa. Kurun waktu tersebut bahkan menjadi akumulasi dan kulminasi dari gerakan mahasiswa 80-an (era NKK-BKK), sebagai kelanjutan dari momentum Malari 1974 dan aksi mahasiswa 1978-1979. Gerakan tersebut menggelombang dengan aksi-aksi yang cukup besar. Aksi-aksi itu berlangsung merata di Yogyakarta, Bandung, Malang, Semarang, Jakarta, Ujung Pandang, dll. Seperti momentum sebelumnya, gerakan tersebut berakhir sama, yaitu pemenjaraan aktivisnya.
Kalau pada momentum Malari muncul Hariman Siregar dan Aini Chalid. Aksi 1978 dengan Heri Akhmadi, Bram Zakir, maka pada kurun waktu 1988-1990 muncul âwajah-wajah baruâ. Mereka adalah Bambang Isti, Bonar Tigor, dan Bambang Subono di Yogyakarta; Jumhur Hidayat, Enin Supriyanto, Fadjroel Rahman, Arnold âUcokâ Purba, Ammarsyah, Bambang Sugianto, dan Syahganda, mahasiswa ITB, Bandung. Sementara itu, di Jakarta terdapat Bambang Beathor Surjadi, Fauzi, menyusul Fernando De Araujo dan Arnando, mahasiswa UNUD (Universitas UdayanaâRed) Bali. Dua yang terakhir terlibat aksi demonstrasi Peristiwa 12 November, di Jakarta.
Mereka dipenjara dengan berbagai dakwaan. Bonar, Isti, dan Bono, misalnya, dituduh melakukan tindak subversif dengan menjual dan menyimpan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, mereka juga dituduh menyebarkan ajaran komunisme-leninisme melalui Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta (KSSPY) yang didirikan oleh Isti pada tahun 1985. Penangkapan tersebut bermula ketika Bono menjual buku Rumah Kaca dan Gadis Pantai karya Pram pada pertunjukan Teater Alam di Sport Hall Kridosono, 9 Juni 1988.
Rupanya hasil interogasi terhadap Bono melibatkan Isti yang ditangkap sepuluh hari berikutnya dan Bonar yang baru ditangkap lebih setahun kemudian. Mereka bertiga adalah aktivis Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta (KSSPY). âSaya menjual buku tersebut untuk membiayai kuliah. Di samping itu, saya membeli karena memang saya sangat mengagumi karya-karya Pram,â kata Bono menanggapi penangkapannya.
Mereka bertiga terkena pasal UU Anti-Subversi (UU No. 11/PNS/1963) dan dihukum masing-masing tujuh, delapan, dan delapan setengah tahun. Jaksa mendakwa mereka menggunakan KSSPY untuk merongrong ideologi Pancasila dengan diskusi-diskusi yang dilakukan secara teratur tahun 1985-1988. âSaya tidak meletakkan diskusi itu sebagai suatu yang muluk, hanya semacam kegembiraan intelektuallah,â ujar Isti. Sementara Bonar berpendapat, âApa yang kami diskusikan di KSSPY beragam. Mulai dari masalah ketenagakerjaan, masalah wanita, pers, sampai budaya rakyat.â Pada tahun 1985-1988 KSSPY telah melaksanakan 17 kali diskusi termasuk diskusi buku. Diskusi itu dilaksanakan di UGM, Gedung PWI (Persatuan Wartawan IndonesiaâRed), Perpustakaan Hatta, Gedung Sanisono, dan sebagian besar di rumah Isti sendiri dengan peserta 5 sampai 10 orang. Dalam keterangan resmi bulan September 1989, Pangdam Diponegoro, waktu itu Mayjen Wismoyo Arismunandar, mengemukakan versi pemerintah menanggapi kasus ini.
âPenyebaran paham komunisme ini bermula ketika pada tahun 1978 Bambang Subono (BonoâRed) menghadiri makan malam keluarganya. Ia bertemu dengan pamannya yang bernama Sukarno, eks-tapol Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena melihat Bambang Subono bicaranya intelektual, pamannya tertarik memasukkan paham komunis,â jelas Wismoyo waktu itu.
Sementara itu, penangkapan tujuh mahasiswa ITB bermula ketika Sabtu sore 5 Agustus 1989, Mendagri Rudini hadir pada pembukaan penataran mahasiswa baru. Kehadiran Rudini rupanya tak dikehendaki oleh beberapa aktivis mahasiswa. Mereka mengorganisir diri, ada yang mengadakan aksi poster dan spanduk, aksi pembakaran ban dan happening art, pembacaan petisi, ada juga yang mengorganisir aksi walk out dari ruang penataran. Akibatnya, sore itu juga militer masuk kampus dan beberapa mahasiswa ditangkap.
Pemeriksaan KODIM menghasilkan  putusan bahwa enam orang harus menghadap pengadilan. Keenam mahasiswa tersebut adalah Arnold Purba (Geofisika), Jumhur Hidayat (Fisika), Bambang Sugianto (Sipil), Ammaryah (Elektro), Enin Supriyanto (Seni Rupa dan Desain), dan Fadjroel Rahman (Kimia), menyusul Syahganda yang memprotes penangkapan teman-temannya. Rektor sendiri merasa dipermalukan dengan peristiwa tersebut. âBagi oknum-oknum yang bikin kacau,â kata Wiranto Arismunandar, âPemecatan sangat layak.â Maka, tindakan tegas pun dilaksanakan. Sebelas mahasiswa dipecat dan 30-an dikenai skors.
Di pengadilan, keenam mahasiswa tersebut berhadapan dengan pasal 154 KUHP sebagai dakwaan primer, dengan tuduhan melakukan perbuatan mengeluarkan pernyataan dalam bentuk penghinaan terhadap pemerintah yang sah. Mereka divonis tiga tahun, kecuali Bambang Sugianto 3 tahun 3 bulan. Namun, ditingkat banding, Bambang mendapat keringanan tiga bulan. âWaktu itu kami melakukan penyadaran kepada penguasa agar mau memperhatikan situasi masyarakat bawah, terutama masalah pertanahan,â kata Jumhur, salah satu yang ditahan.
Memang, pada waktu itu kasus tanah terjadi secara bersamaan, mulai dari Badega dimana Jumhur memimpin aksi protes, kasus Kacapiring, Cimacan, sampai kasus Kedungombo. Mengenai dakwaan penghinaan terhadap pemerintah, Jumhur menanggapi, âTak ada term menghina dalam perubahan sosial. Yang ada adalah kritik. Kritik sebaik apapun, kalau mau dibelokkan menjadi penghinaan bisa saja, untuk mengecilkan arti sebuah gerakan. Xanana (Xanana GusmĂŁo, Mantan Gerilyawan Pembebasan Timor LesteâRed) dibilang tikus (kecil). Aneh kan. Orang yang biasa menggoyang Indonesia dikatakan kecil. Itu âkan untuk mengecilkan makna saja,â ujar Jumhur yang saat ini ngantor di Gedung BPPT Thamrin sebagai aktivis ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim IndonesiaâRed).
Menganalisis persitiwa 5 Agustus, Kabakin Mayjend Soedibyo mengatakan, âKejadian tersebut tak sempat menimbulkan gejolak politik. Hanya mempengaruhi ketertiban umum saja.â
âNyatanya pamflet sudah berhamburan di luar,â jawabnya singkat ketika ditanya wartawan mengenai peluberan aksi tersebut ke luar kampus, (Media Indonesia 29-9-89)
Di Jakarta, Beathor, 32 tahun, sarjana ekonomi UNAS (Universitas NasionalâRed), ditangkap di rumahnya di Matraman pada 5 September 1989. Ia ditangkap setelah beberapa hari sebeumnya menyebarkan selebaran gelap dan undangan Rapat Akbar 9 September 1989 di halaman parkir Fakultas Kedokteran UI, Salemba. Tema yang akan dibawakan adalah UU Monopoli dan pemerataan oleh Dr. Sjahrir, dan masalah ekonomi kerakyatan oleh Sri Edi Swasono. Namun, belakangan terbukti rapat akbar tersebut tidak ada. Sementara itu, selebaran berisi tulisan yang menyebutkan bahwa utang luar negeri Indonesia lebih dari Rp108 triliun. Selebaran itu juga mengatakan seolah-olah utang tersebut dibagi-bagi para pejabat tinggi pemerintah. Itu menurut Jaksa. Bagaimana dengan versi Beathor?
âAksi 5 Agustus di Bandung dan penangkapan tiga mahasiswa di Yogya, membuat semangat teman-teman aktivis turun. Mulai Agustus 1989, kita mengkoordinir aksi yang lebih besar dengan mengangkat isu-isu di daerah seperti kasus Kedungombo, Kacapiring, dan Cimacan. Untuk itu, kita mengundang mahasiswa melalui selebaran,â ungkapnya. Beathor lebih lanjut menjelaskan, karena aksinya itu, ia mula-mula dihadapkan pada delik subversi, tapi menolak dan memang pada akhirnya terbukti tidak memenuhi. Kemudian digunakan pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden, dan pasal 154, melakukan tindak huru-hara. Namun, pasal 134 pun tak memenuhi karena dalam selebaran terungkap dia melakukan penghinaan terhadap pribadi presiden bukan lembaga presiden. Dia akhirnya divonis 4 tahun 5 bulan dan Januari 1993 kemarin bebas. Walau masih wajib melapor sampai Desember 1994.
Beathor adalah aktivis mahasiswa yang radikal, berani, dan konsisten. Pada bulan April sampai Agustus 1989, dia mengkoordinir âtrilogiâ aksi menentang kenaikan harga listrik dengan membentuk Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listrik (KMPTL). Pada aksi tersebut, ia bersama teman-temannya aktif mendatangi kantor-kantor pemerintah yang berakhir di Gedung DPR/MPR. Karena aksi tersebut, ia ditangkap bersama puluhan temannya, Juni 1989. âSaya ditahan dua puluh hari di Polda Metro Jaya waktu itu,â ujarnya.
Di LP Cipinang, Jakarta, Beathor mengatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang menjadi tahanan politik dengan besar hukuman berkisar satu sampai dua puluh tahun. Mereka adalah Erlangga dari Universitas Jayabaya, divonis 7 tahun, Umar Kartiri (Universitas Muhammadiyah Jakarta, 14 tahun), Ani Wijaya (Universitas Muhamadiyah, 10 tahun), Joe (Universitas Atma Jaya, 10 tahun), dan Faudzi (Akademi Statistik, 20 tahun). Di samping itu, Araujo dan Arnando, dua mahasiswa UNUD terkena masing-masing 1 tahun 9 bulan. Mereka terlibat dalam berbagai kasus antara lain kasus peledakan BCA, kasus âbuku putihâ, maupun demonstrasi memprotes antisipasi Demonstrasi 12 November Dili, di Jakarta.
Di samping pemenjaraan terhadap mahasiswa yang melalui proses hukum, terdapat juga pemenjaraan yang tidak melalui proses peradilan. Pemenjaraan jenis ini diduga banyak terjadi karena sebagian besar aksi mahasiswa waktu itu berakhir dengan penangkapan para aktivisnya. Tercatat misalnya, peristiwa âKusumanegara Berdarahâ di Yogyakarta, demonstrasi kasus tanah di Badega, Kacapiring, Cimacan di Bandung atau demonstrasi KMPTL di depan Gedung DPR-MPR Jakarta. Dalam unjuk rasa KMPTL, Beathor menyebut terdapat puluhan mahasiswa ditahan Polda Metro Jaya, empat belas mahasiswa di antaranya harus tetap tinggal di penjara sampai 20 hari.
Di Semarang, kota yang biasanya adem ayem dengan aksi mahasiswa, tercatat Lukas dan Poltak, aktivis pers kampus UNDIP, ditangkap pada bulan Mei 1992. Mereka terpaksa tinggal di penjara selama satu bulan. âWaktu itu kami memperingati Hari Kebangkitan Nasional, dengan pembacaan puisi dan pentas teater mengkritik pemerintah,â ujarnya.
Celakanya, penangkapan tanpa proses pengadilan ini memang dimungkinkan UU Anti-Subversi. Karena, di sana tercantum, aparat keamanan dapat memenjarakan seseorang untuk waktu paling lama 1 tahun untuk kepentingan pencegahan.
Etalase
âKami ini âkan seperti etalase,â ujar seorang tapol mahasiswa di LP Wirogunan, Yogyakarta. Sementara itu, Fadjroel Rahman, mantan tapol, pelaku peristiwa 5 Agustus senada mengatakan, âAksi-aksi mahasiswa di Bandung waktu itu banyak sekali terjadi dan secara beruntun, termasuk peristiwa 5 Agustus. Nah, mungkin pemerintah merasa khawatir kalau hal ini bisa mengakumulasi massa. Mereka berpikir bagaimana memotong akumulasi massa yang semakin hari semakin meningkat. Jadilah kami dipenjara dan dipecat. Suatu sanksi yang berlebihan, saya kira.â Pendapat kedua tapol ini dikuatkan oleh Nuku Sulaiman, aktivis yang banyak mengkoordinir aksi-aksi mahasiswa di Jakarta waktu itu.
Para tapol tersebut berpendapat bahwa mereka dijadikan semcam âpercontohanâ dengan sanksi yang berat untuk mengerem gelombang aksi mahasiwa yang bergejolak. Kekhawatiran pemerintah adalah tumbangnya Orde Lama oleh aksi mahasiswa â66 akan terulang, demikian analisis mereka.
Analisis dan estimasi mereka tidaklah berlebihan kalau kita mengamati bagaimana panasnya suhu politik mahasiswa waktu itu, baik di dalam maupun di luar negeri. Secara kebetulan, pada kurun waktu 1988-1990, massa mahasiswa bergejolak di seluruh dunia. Waktu itu terjadi berbagai aksi untuk menumbangkan rezim-rezim berkuasa, beberapa di antaranya berhasil. Tercatat waktu itu di Thailand, Filipinaâdengan tumbangnya Marcos, Burma (Myanmar), dan Korea Selatan. Puncaknya ketika sekitar 20.000 Tentara Pembebasan Rakyat didukung tank-tank dan kendaraan Militer membantai ribuan mahasiswa di Lapangan Tiananmen, Cina, 8 Juni 1989. Bonar Tigor, misalnya, ditangkap persis seminggu setelah peristiwa Tiananmen pecah, justru lebih dari setahun setelah penangkapan Bono (perkara mereka terkait). Sementara itu, Fadjroel dkk. ditangkap tidak ada sebulan setelahnya.
Kondisi di dalam negeri sendiri tak jauh berbeda gentingnya. Aksi mahasiswa terjadi di mana-mana sebagai reaksi dari beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap sewenang-wenang, khususnya menyangkut masyarakat bawah. Dimulai dari Yogyakarta, 28 Oktober 1988, sekitar 125 mahasiswa menuntut pencabutan NKK-BKK ke DPRD Yogyakarta. Setelah peristiwa ini, aksi-aksi lain berurutan muncul ke permukaan. Pada tanggal 5 November, sejumlah mahasiswa ITB menyerahkan pernyataan kepada Fuad Hasan, Mendikbud,, menuntut pencabutan NKK-BKK. Pada 20 november, kembali Fuad Hasan disambut poster-poster di Kampus ISI untuk masalah yang sama. Pada 9 Desember, kasus Badega Garut diprotes mahasiswa Bandung; 27 Desember, Koesnadi Hardjasoemantri mengantar mahasiswa ke DPRD memprotes peredaran SDSB (Sumbangan Dana Sosial BerhadiahâRed). Satu bulan kemudian, 6 Februari 1989, sekitar seratus mahasiswa Yogyakarta, Semarang, Solo, Salatiga, masuk ke daerah genangan Waduk Kedungombo, tapi tak diijinkan sehingga terjadi aksi poster. Lalu pada tanggal 26 Â di bulan yang sama, Aksi Anti Kekerasan memprotes âPeristiwa Lampungâ pecah di Kampus Bulaksumur. Pada 23 Maret, dua ratus mahasiswa di Bandung turun ke jalan memprotes kasus tanah di Badega, Pada 12 April, kasus tanah Kacapiring tampil ke permukaan, beberapa mahasiswa Bandung melakukan unjuk rasa. Dan terakhir, kasus 5 Agustus sendiri sebagai protes lanjutan dari kasus Kedungombo, Badega, Cimacan, dan Kacapiring.
Aksi-aksi tersebut terjadi secara beruntun seperti terdapat jaringan dan koordinasi antarperistiwa tersebut. âJaringan tersebut dimungkinkan karena para aktivis pers sebagai pelopor gerakan telah membina kerjasama antarkota,â kata Toriq, bekas Pemred BALAIRUNG dan Ketua Form Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta ketika itu. Akumulasi aksi-aksi inilah, menurut Fadjroel, yang menyebabkan pemerintah khawatir akan terulangnya Peristiwa â66. Dan kelanjutan dari anteseden-anteseden tersebut adalah sanksi yang tak wajar bagi pelaku-pelaku peristiwa Bandung. Tiga tahun penjara dan dipecat sebagai mahasiswa!
Sementara kasus Bonar, Bono, dan Isti mengambil tempat dan ceritanya sendiri. Selain terjadi gelombang protes mahasiswa, kurun waktu itu juga ditandai oleh menjamurnya kelompok-kelompok studi (KS) akibat tak betahnya sejumlah mahasiswa dengan organisasi formal kampus bikinan NKK-BKK. âAktivis mahasiswa bisa digolongkan dalam dua golongan besar waktu itu. Yaitu mahasiswa yang pro aksi dan yang tidak,â kata Bonar. Ia bersama Isti dan Bono masuk golongan kedua, yang lebih banyak mengasah daya kritis dan melakukan gerakan moral di ruang-ruang diskusi.
Di Yogyakarta, misalnya, terdapat kelompok studi Palagan, Teknosufi, dan Dasakung yang terkenal dengan risetnya mengenai Kumpul Kebo, juga kelompok Penghitung Binatan (YB Mangunwijaya). Di samping itu juga terdapat LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) UGM yang membawa hasil diskusinya turun ke jalan. Di Jakarta terdapat LPN UNAS, Formaci alias Forum Mahasiswa Ciputat, juga KS Proklamasi pimpinan Denny JA. Di Bandung terdapat KS Pertanahan, KS Sabtu, Thesa Sukuluyu juga PSIK. Dalam KS tersebut mereka mengkaji mulai dari masalah tanah, SDSB, pers, ekonomi, tak jarang juga mengkaji pemikiran âOm Jenggotââsebutan popular Karl Marx di kalangan mahasiswa. Mengenai fungsi strategis kelompok studi, Denny JA berpendapat, âDulu kita bergerak dalam format aksi massa, kini âaksi informasiâ. Dulu kita mengembangkan âgugatan politik praktisâ, kini âgugatan konsepsionalâ atas sistem sosial yang ada.â Tampaknya âaksi informasiâ melalui kelompok studi ini tak kalah kerasnya âmenyengatâ pemerintah. Maka jadilah KSSPY sebagai âetalaseâ, seperti dikatakan salah seorang aktivisnya yang saat ini berada di LP Wirogunan. Strategi tersebut rupanya berjalan baik. Setelah kedua peristiwa tersebut, kelompok studi serta merta menyusut, Â begitu pula dengan aksi turun ke jalan. Meskipun demikian, Syahganda dan Ondos tetap melakukan aksi untuk memprotes penangkapan teman-temannya. Beathor di Jakarta turut membangkitkan kembali kebekuan ini pada September 1989, tapi ternyata ia keburu ditangkap.
Ketertiban Umum Sampai Komunis
Fenomena penangkapan dan pemenjaraan mahasiswa bukan hanya monopoli Indonesia, tapi terjadi merata di seluruh dunia pada tiap kurun zaman. Ariel Heryanto, pengajar UKSW (Universitas Kristen Satya WacanaâRed) Salatiga dan aktivis Hak Asasi Manusia, mengidentifikasi tiga persamaan pada rezim-rezim penguasa di dunia dalam menekan rakyatnya (termasuk di dalamnya mahasiswa) untuk melegitimasi status-quo kekuasaannya. Pertama, penjungkirbalikan bahasa dengan ungkapan-ungkapan yang manis dan menentramkan hati, seperti âStabilitasâ, âDemokrasiâ, âKeamanan Nasionalâ, atau âBahaya Ekstrem Kiri/Kananâ, dsb. Kedua, adanya propaganda akan adanya ancaman bahaya subversif, ekstremis, fundamentalis agama, komunis dsb. Rezim-rezim di Asia, Afrika, Amerika Latin, tak terkecuali di negara-negara maju di Eropa, umumnya menyebarkan rasa takut pada masyarakat tentang ancaman bahaya-bahaya tersebut. Ketiga, adanya sensor dan teror terhadap organisasi nonpemerintah, lembaga pendidikan, agama, media massa, dsb. (Bernas, 8-12-92)
Selain Indonesia dengan UU Anti-Subversi-nya, di Malaysia dan Singapura saat ini masih bergentayangan apa yang dinamakan Internal Security Act (Peraturan Keamanan Dalam Negeri). Kekejaman tenar di Argentina pada tahun 70-an dipayungi oleh Nasional Security Doctrine (Doktrin Keamanan Nasional), Afganistan di bawah Uni Soviet dengan Da Afganistan da Gato da Satalo Adara (Jawatan Perlindungan Kepentingan Afganistan), dan semasa Indonesia kolonial dengan Rust en Orde (Ketertiban dan Keamanan). Di Cina kita tentu masih ingat bagaimana Deng Xioping membantai ribuan mahasiswanya sendiri di lapangan Tiananmen. Ini dimungkinkan karena adanya penghapusan sembilan belas pasal konstitusi Cina yang menjamin hak-hak sipil menjadi hanya empat butir. Umumnya, rezim-rezim itu berdalih bahwa hak asasi manusia adalah konsep barat, dan seperti dikatakan Deng setelah peristiwa Tiananmen, âCina memiliki konsep HAM sendiri yang âspesifikâ. Berbeda dengan konsep barat.â
Menanggapi kondisi di Indonesia, Adnan Buyung Nasution, pengacara yang baru saja memperoleh gelar doktor di negeri Belanda, mengatakan, âKekhawatiran mengenai komunisme itu berlebihan, bahkan di luar kewajaran dan akal sehat. Hal ini sebenarnya tak perlu terjadi karena kesadaran kita untuk kembali kepada demokrasi berlandaskan UUD 45 dan Pancasila sudah kuat.â Mengenai pemberlakuan UU Anti-Subversi, pernyataan terakhir dikemukakan oleh Ismail Saleh, Menteri Kehakiman, dalam seminar mengenai kejahatan perkotaan awal Februari lalu di Yogyakarta. Ismail Saleh mengatakan bahwa pemerintah belum merasa perlu mengganti UU Anti-Subversi. Ishariyanto, SH, MH, pakar hukum pidana khusus UGM, ditemui BALAIRUNG berpendapat, âUU ini memang secepatnya harus diganti dengan UU yang baru, karena pembentuk UU tersebut memang menghendaki agar secepatnya diganti.â Mengenai pasal-pasal KUHP yang mengatur tindak pidana terhadap keamanan negara (dimana pelaku peristiwa Bandung dan Beathor terkena pasal ini) memang saat ini sedang diperbaharui dengan RUU KUHP yang siap dibahas di DPR. Tapi, belum apa-apa Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua YLBHI, berang, âRumusan pasal-pasal tindak pidana terhadap keamanan negara dalam naskah akademis RUU KUHP baru perlu direvisi karena sifat rumusannya âkaretâ dan tidak mengandung unsur kejelasan,â ujarnya lantang. (KOMPAS, 11-2-93)
Anatomi Tapol Mahasiswa
Ada beberapa persamaan dari mereka-mereka yang pernah dipenjara karena kasus politik (Malari 74, Aksi â78, dan Aksi â89). Mereka biasanya sangat cerdas, memiliki komitmen tinggi pada masalah-masalah kenegaraan terutama nasib rakyat bawah, dan seorang aktivis baik organisasi formal kampus maupun nonformal yang disegani teman-teman sesama mahasiswa. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara tapol mahasiswa sebelum dan sesudah NKK-BKK. Tapol-tapol mahasiswa sebelum NKK-BKK, umumnya aktivis pada lembaga-lembaga formal kampus. Hariman, misalnya, adalah ketua Dema UI ketika ditangkap, Heri Akhmadi, ketua Dema ITB, atau Bram Zakir, wakil ketua Dema UI. Sementara itu, setelah pemberlakuan NKK-BKK, tampil orang-orang dari luar lembaga resmi kemahasiswaan, bahkan tak satupun tapol mahasiswa pada Aksi 1989 berasal dari lembaga kemahasiswaan resmi. Bonar, Bono, dan Isti adalah aktivis kelompok studi, sementara pelaku Peristiwa 5 Agustus Bandung dan Beathor di Jakarta masuk dalam kelompok yang menyebut dirinya âkelompok proaksiâ yang aktif turun ke jalan melakukan demonstrasi.
Mereka umumnya justru datang dari golongan yang mapan secara ekonomi. Ini sesuai dengan komentar Arbi Sanit dalam menanggapi para pelaku aksi-aksi â89. âMahasiswa dalam golongan menengah ke bawah biasanya kuliah untuk memperbarui hidup dan cepat selesai. Karena itu, mereka nggak macam-macam.â Aksi yang membuat mereka dipenjara biasanya adalah aksi menentang ketakadilan yang terdapat di lingkungannya. Jumhur memperjuangkan nasib rakyat yang tergusur di Badega. Fadjroel memprotes kasus Kacapiring. Beathor memimpin aksi penurunan tarif listrik kelas kecil dan menengah. Indro Tjahyono dan Zakir memperjuangkan peran politis mahasiswa sebagai kekuatan alternatif, agar tidak dikekang penguasa. Begitupun Harimun, Aini Chalid, dkk. yang menentang campur tangan asisten presiden berlebihan, protes pejabat korup, juga menentang modal Jepang.
Tuduhan yang dikenakan kepada mereka tidak beranjak dari penyebaran paham komunisme-leninisme (kasus Yogyakarta, 1989), melakukan kegiatan huru-hara yang mengacaukan ketertiban umum (Malari 1974 dan KMPTL 1989), maupun penghinaan terhadap pemerintah atau presiden (kasus Bandung 1989 dan Aksi 1978). Itu sebabnya pasal 154, 135 KUHP dan UU Anti-Subversi menjadi sedemikian akrab di kalangan aktivis mahasiswa.
Persamaan lain adalah adanya sikap apriori dan tidak percaya objektifikasi lembaga pengadilan. Ini terlihat pada pleidoi-pleidoi mereka di pengadilan dari Malari sampai kasus 1989. Bentuk sikap apriori mereka macam-macam. Enin Supriyanto, salah seorang pelaku Peristiwa 5 Agustus, misalnya, menggunakan pleidoinya sebagai ajang karya karikatur dan desain mutakhirnya (lihat, âFenomena Eninâ).
Di pengadilan biasanya terjadi juga Jaksa Penuntut âtidak memahamiâ pleidoi dan sanggahan terdakwa, dan sulit berargumentasi dengan mereka. Hal ini terjadi karena terdakwa menjelaskan perkaranya dengan bahasa akademis, dengan referensi teori-teori yang mereka peroleh di bangku kuliah, sehingga tak jarang tokoh-tokoh macam Weber, Habermas, Hutington, Fromm, Sanit, dsb. âtampilâ di pengadilan. Dalam pengadilan salah satu kasus di Yogyakarta, misalnya, Jaksa Penuntut mengungkapkan kejengkelannya terhadap bahasa âsulitâ terdakwa dalam pengantar jawabannya atas pleidoi terdakwa dengan, âTerlihat terdakwa hanya menunjukkan kecongkakan akademis belaka.â
Persamaan terakhir adalah bahwa penjara biasanya tidak membuat mereka jera, tapi justru mempertegas sikap dan keyakinan mereka, tidak seperti napi lainnya.
Pemerintahan Orde Baru memang tak pernah lengang dalam melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap mahasiswa. Dimulai dari dini sekali, persis ketika Orde Baru lahir, dimana ribuan mahasiswa anggota organisasi afiliasi PKI ditangkap, dipenjara, dan âdibersihkanâ secara intensif. Seorang saksi mata, mahasiswa Geografi UGM waktu itu, saat ditemui BALAIRUNG mengatakan penangkapan tersebut sebagai âmenakutkanâ dan âtak terkoordinirâ.
Tak lama setelah itu, banyak aksi-aksi mahasiswa sporadis yang berakhir dengan penangkapan para aktivisnya. Misalnya, dalam âPerkara Miniâ, dimana Arief Budiman dan HJC Princen tertangkap, juga demonstrasi anti korupsi yang dipimpin Arief Budiman, Sjahrir, dan Marsilam, dimana Rendra, seorang penyair, ditangkap. Berbagai aksi tersebut memuncak pada peristiwa Malari dimana tak kurang dari 45 orang mahasiswa dan orang yang dicurigai sebagai dalang, ditangkap. Mereka antata lain Hariman Siregar, Sjahrir, Aini Chalid, Rizal Ramli, Rahman Tolleng, Mahder Ismail, Buyung, Prof. Sarbini, Princen, dsb. Mereka menghadapi pengadilan dengan tuduhan melakukan makar terhadap pemerintah yang sah. Empat tahun kemudian, kembali lagi Kampus Ganesha dan Salemba dirundung duka. Beberapa aktivisnya terpaksa harus masuk bui. Mereka adalah Heri Akhmadi, Ketua Dema ITB, Lukman Hakim, ketua Dema UI, Bram Zakir, wakil ketua Dema UI, Indro Tjahyono, Al Hilal, Nizar Dahla, Ramles Silalahi, Nasim Ali Imron, dsb. Di pengadilan, mereka dituduh melakukan penghinaan terhadap presiden dan dikenai hukuman berkisar 1 sampai 2 tahun penjara.
Dengan semakin terlegitimasi dan mapannya Pemerintahan Orde Baru, penangkapan dan pemenjaraan terhadap mahasiswa pun meningkat secara kualitas. Penangkapan-penangkapan mahasiswa pada tahun 1989 membuktikan hal ini. Peristiwa 5 Agustus di Bandung, aksi Beathor, juga diskusi-diskusi Isti, yang sangat kecil dibandingkan aksi Malari maupun Aksi 1978, terpaksa berakhir dengan vonis fantastis, 3 sampai 8,5 tahun.
Di belahan bumi manapun, mahasiswa menjadi musuh dari rezim yang sewenang-wenang. Seorang Ismail Sunny mengatakan, kalau di Barat, pers sebagai pilar keempat demokrasi, di negara berkembang pilar keempat itu adalah mahasiswa. Di Cina, Myanmar, Korut, Amerika Selatan, mahasiswa adalah âmomokâ bagi mereka. Goenawan Mohammad, seorang sastrawan, menulis âmomokâ tersebut dengan ungkapan yang manis, âmahasiswa dengan buku asingnyaâ, dan seperti kata Soe Hok Gie, mereka adalah orang-orang yang selalu âkesepianâ hidup dalam belantara kelaliman.
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Cintya Faliana dan Sanya Dinda
1 komentar
Makasar( ujung pandang ) tak tersentuh….kami tidak dianggap… sementara tidak kalah serunya dan pengorbanan dari kami