Jumat (04-05), ruang pertemuan Hotel Indies Heritage dipenuhi peserta jumpa pers dan diskusi bertajuk “Platform Seniman Perempuan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola bekerjasama dengan Kedutaan Denmark. Acara ini merupakan salah satu rangkaian acara diskusi dan evaluasi perkembangan karya seni penerima hibah. Evaluasi tersebut dilakukan untuk mengetahui usaha dan karya seni yang dihasilkan. Tiga pemantik diskusi yang hadir yaitu Melati Suryodarmo seniman perempuan, Ita Fatia Nadia sebagai aktivis dan peneliti perempuan dan Amna Kusumo sebagai pendiri Yayasan Kelola.
Yayasan Kelola merupakan yayasan yang bergerak di bidang kesenian dengan fokus utama memberikan hibah seni untuk seniman di Indoneisa. Hibah seni tersebut berupa dana bantuan dari kedutaan Denmark untuk membiayai satu karya seni yang dihasilkan seniman. Yayasan Kelola kemudian membentuk program Hibah Seni yang dikhususkan untuk seniman perempuan, yaitu Hibah Cipta Perempuan dalam seni pertunjukan. Hibah Cipta Perempuan merupakan program lanjutan dari Empowering Woman Artist (EWA), program tiga tahun sekali ini sudah berjalan sejak 2007, dikarenakan keterbatasan dana EWA kemudian diberhentikan pada 2013. Berdasarkan berita rilis, program tersebut dibentuk sebagai respon dari evaluasi Program Hibah Seni yang menunjukkan jumlah pelamar seniman perempuan sedikit berkisar antara 20-25% setiap tahunnya. “Diskusi ini untuk melihat isu gender dan berbenah demi program hibah seni yang lebih baik.”
Diskusi dibuka oleh Rasmus A. Kristenten, kedutaan Denmark yang turut menjelaskan pentingnya kesetaraan gender dalam agenda internasional. “Jika melihat pekerja seni di beberapa museum di dunia dari tahun 1990, hanya terdapat sedikit seniman perempuan,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa secara global, hanya terdapat 10% perempuan yang merupakan pekerja seni.
Sejalan dengan yang diungkapkan Rasmus, berkaitan dengan isu pekerja seni perempuan di Indonesia, Melati mengambil contoh Solo sebagai daerah yang budayanya sangat didominasi oleh kaum pria. Budaya Solo yang tidak melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan seni memungkinkan seniman perempuan tidak dituliskan dalam catatan sejarah. “Walaupun Solo aktif di bidang seni pertunjukan, kita jarang melihat seniman perempuan muncul,” imbuhnya.
Di samping itu, Ita menjelaskan posisi perempuan dalam pandangan historis tatanan gender di dalam praktik sosial masyarakat. Praktik genderisasi politik telah berlangsung sejak Orde Baru pada 1965. Peraturan mengenai konstruksi sosial terhadap perempuan hingga saat ini belum dihapuskan dan kemudian mengilhami seluruh peraturan politik. “Perempuan hanya memiliki lima peran yaitu sebagai ibu, sebagai pendidik, sebagai yang melahirkan, kemudian orang kedua yang mencari nafkah, dan sebagai warga negara,” terangnya.
Dari perspektif feminis, Melati berpendapat bahwa gerakan feminisme untuk mencapai kesetaraan gender dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Lebih lanjut, Melati memaparkan bahwa kesetaraan gender dapat tercapai melalui aktivitas-aktivitas kecil di rumah, seperti ketika perempuan berdiskusi dengan suami untuk mencapai keputusan dalam rumah tangga.
Di akhir diskusi, Melati mengungkapkan bahwa terdapat upaya yang sedang dilakukan oleh Yayasan Kelola untuk menyetarakan gender seniman perempuan. Salah satunya adalah berusaha membangun jejaring untuk mendukung efektivitas pengembangan karya-karya penerima hibah khusus perempuan. “Dengan adanya jejaring, penerima hibah seni dapat saling berbagi pengalaman dan memberi kritik positif untuk meningkatkan kualitas mereka,” tutup Melati.
Penulis : Lailatul Zunaeva, Hutri Cika
Penyunting: Nur Rohman