Di Indonesia, daerah terluar seperti Pulau Siberut jarang muncul di perbincangan nasional akibat keruwetan politik di pusat pemerintahan. Kita lupa bahwa ada masyarakat lokal yang dirugikan dari praktik ekploitasi  maupun konservasi hutan di daerah penghasil pundi-pundi rupiah untuk negara ini.Â
Judul Buku Berebut Hutan Siberut
Penulis Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal xxxvi+ 459 halaman
Cetakan Oktober, 2012
Dalam konteks keindonesiaan yang dipenuhi dengan hiruk-pikuk wacana politik perkotaan, berita korupsi, serta sentimen keagamaan, nama Siberut, pulau terbesar di Kabupaten Mentawai, seakan tak mendapat porsi yang layak untuk diperbincangkan oleh media nasional ataupun khalayak perkotaan. Pun jika masuk ke perbincangan khalayak perkotaan, seringkali Siberut hanya berupa imajinasi tentang eksotisme daerah terluar dengan masyarakat yang polos serta hutan yang hijau nan subur. Siberut tidak lain sebagai ekskapisme kaum urban di tengah kesibukan pembangunan hutan beton di sekitar mereka. Oleh karenanya, tak mengherankan jika wacana yang dikeluarkan masyarakat perkotaan terkait Siberut hanya melihat soal ritual mereka yang unik, âketerbelakanganâ mereka di hadapan modernitas, atau mitos kearifan masyarakatnya dalam menjaga alam secara harmonis.
Wacana-wacana tersebut lebih sering salah dibanding benar. Berpangkal dari kemalasan berpikir dan minimnya akses pengetahuan tentang Siberut, masyarakat perkotaan cenderung menerima stereorip-stereotip tentang Siberut tanpa menggunakan nalar kritisnya. Beruntungnya, Darmanto Simaepa dan Abidah B. Setyowati mampu mendekonstruksi âbayanganâ tentang daerah Siberut yang selama ini dianggap sebagai wilayah eksotis yang identik dengan keterbalakangan dan harmoni menjadi sebuah karya tulis nan bernas. Melalui buku berjudul “Berebut Hutan Siberiut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi”, mereka berhasil membongkar stigma terhadap masyarakat adat di Siberut yang selama ini kerap digambarkan secara hitam-putih sebagai masyarakat terbelakang yang menghambat pembangunan namun memiliki kearifan dalam menjaga hutan. Darmanto dan Abidah mampu memberikan gambaran yang lebih berwarna. Dengan kata lain, sepuluh bab dalam buku ini mampu menampilkan wajah manusia Siberut sebagai entitas heterogen dengan segala intrik dan kepentingan yang berkontestasi di dalamnya.
Secara umum, sepuluh bab dalam buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mengenai aspek sosial dan kultural masyarakat lokal yang terdiri dari beberapa umaârumah panjang yang dihuni oleh klan besarâserta kondisi geografis hutan tropis Siberut. Kedua, perubahan kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru yang menyebabkan industrialisasi dan hadirnya kaum kapitalis perkotaan yang menarget hutan Siberut sebagai komoditas melalui ekploitasi hutan secara besar-besaran. Ketiga, kebijakan desentralisasi pasca Orde Baru yang justru menyebabkan para elite lokal, LSM, serta masyarakat setempat beradu kepentingan dalam menjalankan praktik konservasi maupun ekploitasi hutan.
Menurut kedua penulis, titik tolak permasalahan Siberut adalah intervensi kaum industrialis kota dari Sumatera dan Jawa pada tahun 1970-an. Pada rezim Orde Baru ini, konsesi diberikan kepada kaum kapitalis perkotaan untuk mengelola hutan-hutan Siberut. Dengan dikeluarkannya konsesi tersebut Siberut yang semula jarang masuk ke perbincangan kaum industrialis, bertransformasi menjadi salah satu pulau terluar Indonesia yang menjadi target garapan kelompok penguasa dan para pemburu uang di Padang maupun Jakarta. Layaknya pemberian konsesi pengelolaan hutan di tempat-tempat lain, kebijakan tersebut bukannya tanpa efek samping. Sebagaimana kita tahu pemberian konsesi pengelolaan hutan dari pemerintah kepada para pemodal dari perkotaan membuat ekosistem Siberut terancam rusak. Oleh karena itu, berbagai tekanan diberikan oleh berbagai akademisi dan LSM nasional maupun internasional yang peduli terhadap kelestarian alam dan budaya Siberut; alhasil pemerintah Orde Baru terpaksa menghentikan konsesi pengelolaan hutan pada tahun 1993.
Akan tetapi, ironi justru terjadi pada era Reformasi yang awalnya diharapkan mampu memberikan peluang besar bagi pelestarian hutan. Dengan kebijakan desentralisasnya, era Reformasi memberikan akses lebih kepada pemerintah daerah, sehingga izin konsesi pengelolaan hutan yang semula diurus oleh pemerintah pusat berubah menjadi wewenang bupati. Alih-alih meneruskan penghentian konsesi, para âraja-raja lokalâ tersebut justru menggunakan posisinya demi mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara memberi izin konsesi baru terhadap kaum kapitalis perkotaan dari Jakarta ataupun Padang. Dalam praktik adu kepentingan ini, sebagian masyarakat lokal dengan bantuan LSM mulai menggunakan wacana adat untuk mendapatkan hak-haknya yang dulu dirampas melalui praktik eksploitasi ataupun konservasi.
Wacana adat yang mulai menguat selepas runtuhnya Orde Baru seringkali dikaitkan dengan sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal Siberut. Sayangnya, penulis lebih sering mengkaji konsep kekerabatan masyarakat setempat dalam konteks pewarisan atau perubahan konsep kepemilikan tanah akibat penetrasi kapitalisme global di Siberut. Dengan kata lain, mereka gagal menjabarkan tradisi oral sebagai penguat identitas kekerabatan masyarakat Siberut secara memadai. Padahal menurut Juniator Tulius dalam disertasinya di Universitas Leiden yang berjudul Family Stories: Oral Tradition, Memories of the Past, and Contemporary Conflict over Land in Mentawai-Indonesia (2012) tradisi oral di Siberut merupakan aspek penting dalam proses migrasi, klaim atas tanah/hutan, konflik antaruma, serta resolusinya.
Darmanto dan Abidah menutup buku ini dengan kesimpulan bahwa relasi antara manusia Siberut dengan hutan di sekitar mereka selalu dilandasi oleh masalah produksi dan kekuasaan. Dengan demikian, segala bentuk reaksi masyarakat Siberut pasca kedatangan kaum industrialis dan enviromentalis dari luar merupakan sebuah upaya guna mempertahankan hutan sebagai arena produksi dan kekuasaan yang mereka milikki.
Secara umum buku ini mampu memberi gambaran yang begitu baik tentang Siberut. Melalui riset empiriknya, penulis mampu menjabarkan bahwa masyarakat lokal Siberut bukanlah komunitas homogen yang masih lugu dan polos; sebaliknya perubahan demi perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Siberut merupakan upaya mereka dalam beradaptasi terhadap cara âcara pemerintah Indonesia, kaum industrialis perkotaan, aktivis lingkungan, serta lembaga-lembaga internasional yang kerap mengintervensi Siberut dengan agendanya masing-masing.
Dengan buku ini pula, pembaca disadarkan bahwa upaya-upaya menjaga kelestarian alam di daerah terluar tidaklah sesederhana kita datang ke suatu tempat yang jauh dari hiruk-pikuk industri manufaktur lantas menanam pohon dalam jumlah banyak dan meminta masyarakat lokal untuk menjaga kelestariannya. Lebih dari itu, dengan buku ini, para pembaca yang tinggal di perkotaan harusnya sadar bahwa menitipkan tanggungjawab menjaga alam kepada masyarakat adat di daerah terluar merupakan tindakan egois, sebab yang pertama kali melakukan perusakan alam secara masif dalam waktu cepat justru kaum industrialis perkotaan yang konon lebih beradab dari mereka.
Sayangnya, meski salah satu penulis buku ini adalah seorang perempuan, bab per bab yang ditampilkan terlampau menonjolkan laki-laki. Seolah-olah di Siberut tidak ada relasi antara laki-laki dan perempuan. Kecenderungan tersebut bahkan sudah tampak di sampul buku yang hanya menampilkan sosok laki-laki Siberut. Namun demikian, buku ini harus tetap dibaca agar kita sadar bahwa bumi yang semakin panas dan masyarakat adat yang kerap dilabeli dengan sterotip negatif sebagai masyarakat terbelakang bisa terselamatkan.
*Tulisan ini merupakan olahan lebih lanjut dari lomba resensi buku yang penulis ikuti dalam acara “Konferensi Tenurial” tahun 2017
Venda Pratama
Saat ini bekerja sebagai peneliti lepas dan jurnalis di Kagama.co
Bisa dihubungi di vendapratama1@gmail.com