Pengembangan perkebunan kelapa sawit mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, di sisi lain menyebabkan timbulnya kerusakan lingkungan.
Program peningkatan produksi sawit nasional terus dilakukan agar Indonesia mendapat keuntungan yang lebih besar. Di sisi lain berbagai kebijakan yang dirancang tidak melibatkan industri sawit justru berpotensi menghambat program hilirisasi dan peningkatan daya saing. Berbagai kebijakan tentang pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menuai kritik. Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut akan berdampak terhadap iklim investasi di industri sawit. Kerugian investasi bakal mencapai Rp 136 triliun dengan penurunan perolehan devisa 6,8 miliar dollar AS per tahun. Selain itu, akan terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap 340.000 tenaga kerja (www.kemenperin.go.id, 2015).
Begitu juga dengan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. UU itu melarang perusahaan membeli tandan buah segar petani swadaya dari hasil hutan yang berkaitan dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bagi pengusaha kelapa sawit. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat dan perusahaan. Hambatan perdagangan CPO (Crude Palm Oil) di pasar dunia juga terus terjadi, hal ini disebabkan adanya stigma negatif mengenai dampak yang ditimbulkan dari ekspansi kelapa sawit (www.kemenperin.go.id, 2015)
Diawali dengan empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa Belanda dari Mauritius tahun 1848. Kelapa sawit mulai ditanam pada lahan seluas 0,4 ha tahun 1875 di tanah Deli. Tahun 1911 kelapa sawit dibudidayakan secara komersial oleh Adrien Haller, pengusaha swasta dari Belgia. Tahun 1940 perusahaan perkebunan swasta ini telah mengekspor minyak sawit sebesar 250.000 ton ke Eropa. Pemerintah Indonesia mulai terlibat dengan usaha perkebunan pada tahun 1957 dengan cara pengambil alihan perkebunan swasta asing (Arjuna, tanpa tahun).
Pada awal pemerintahan orde baru, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 119.660 ha, yang terdiri atas 79.209 ha dikuasai Pemerintah dan 40.451 ha oleh perusahaan swasta. Tahun 1979 rakyat mulai terlibat dalam kepemilikan lahan perkebunan dengan luas 3.125 ha, sementara kebun Pemerintah 176.408 ha dan kebun milik swasta 81.405 ha. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan kelapa sawit mencapai 294.560 ha dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus berkembang pesat, terutama perkebunan rakyat karena didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat perkebunan (PIR-bun) (Arjuna, tanpa tahun).
Pesatnya pertumbuhan tanaman Afrika ini diawali masuknya modal dari ADB (Asian Development Bank) tahun 1980. Mereka mendukung program Perkebunan Inti Rakyat perkebunan (PIR-Bun) yang dimulai dari Sumatera Utara. Dukungan ini diperlukan untuk mengembangkan daerah perbatasan dan daerah terpencil dengan mengandalkan sumber daya manusia peserta transmigrasi. Direktorat Jendral Perkebunan (Ditjenbun) mencatatkan bahwa PIR kelapa sawit dimulai pada 1980/81 di Labuhan Batu dan Langkat, Sumatera Utara. Selanjutnya pengembangan PIR kelapa sawit menyebar ke berbagai daerah seluruh penjuru tanah air seperti Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Jayapura. Hingga 1989 pengusaha swasta memiliki kebun sawit sedikit lebih luas dari milik negara dan rakyat memiliki kebun hampir 23% dari seluruh lahan perkebunan sawit seluas 973.528 ha (Arjuna, tanpa tahun).
Tahun 1990 luas perkebunan kelapa sawit mencapai 1,126 juta ha yang tersebar di berbagai sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan. 4,158 juta ha adalah luas perkebunan sawit Indonesia tahun 2000. Dilanjutkan 8.385 juta ha tahun 2010. Berdasarkan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian (Ditjenbun), luas perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan mencapai 4,76 juta ha. Jumlah ini terdiri dari perkebunan rakyat seluas 4,76 juta ha, perkebunan swasta 6,15 juta ha, dan perkebunan negara sebanyak 756 ribu ha (ditjenbun.pertanian.go.id, 2016).
Ekspansi perkebunan kelapa sawit berdampak positif pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat pedesaan. Pembangunan perkebunan swasta mendorong konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat, perubahan pola nafkah petani, dan migrasi tenaga kerja ke daerah-daerah perkebunan sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat dan mempercepat pembangunan wilayah. Konversi lahan sawah dan lahan kering menjadi kebun kelapa sawit rakyat, telah menyebabkan perubahan di berbagai sektor (Ishak dkk., 2016).
Pembangunan di bidang perkebunan ini pada tahapan tertentu akan membuka ruang pengembangan agribisnis dan investasi di suatu wilayah. Masuknya investor dalam bisnis ini akan menjadi stimulus berdirinya pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal maupun pendatang. Berdirinya perusahaan perkebunan kelapa sawit berdampak terhadap perekonomian nasional maupun perekonomian masyarakat lokal. Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat, diperoleh dari pajak perusahaan dan pabrik. Perubahan ekonomi juga dirasakan dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan maraknya bisnis lainnya (Ruslan, 2014).
Pembangunan perkebunan kelapa sawit juga berdampak terhadap perubahan sosial masyarakat. Tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal menjadi lebih baik, angka putus sekolah berkurang dan asupan gizi bagi anak-anak dapat dipenuhi. Menurut Badan Pusat Statistik pada Tahun 2016, terdapat 4 juta tenaga kerja yang terserap di sektor perkebunan sawit. Hal ini didukung adanya minyak sawit CPO (Crude Palm Oil) yang menjadi komoditas dengan sumbangan ekspor terbesar kedua di Indonesia, di mana pada 2016 ekspor CPO sebesar USD 14,36 miliar. Hasil sawit Indonesia menjadi penyumbang 10% dari total ekspor Indonesia pada tahun 2016 (BPS, 2016).
Di sisi lain industri kelapa sawit juga memiliki dampak buruk. Berbagai penolakan muncul oleh aktivis lingkungan karena industri kelapa sawit dinilai menurunkan kualitas lingkungan hidup Indonesia. Greenpeace mengecam keras industri kelapa sawit di Indonesia karena gagal memenuhi janji untuk menghentikan deforestasi. Indonesia telah memasuki era ketergantungan terhadap kelapa sawit yang turut mendorong percepatan deforestasi pada lahan gambut (Mata-mata Politik online, 2017).
Deforestasi di lahan gambut dinilai menyumbang emisi karbon paling tinggi di Indonesia yang bisa mempengaruhi iklim global. Dari total lahan gambut yang dimiliki Indonesia, terdapat lebih dari setengah luas yang harus dipulihkan. Dalam buku “Strategy for Responsible Peatland Management“ yang diterbitkan oleh International Peat Society (IPS), terdapat dua istilah yang digunakan dalam perbaikan lahan gambut yaitu rehabilitasi dan restorasi. Rehabilitasi didefinisikan reparasi proses ekosistem, produktivitas dan manfaat dari semula lahan gambut, tetapi tidak berarti pembentukan kembali satuan biotik yang sudah ada, dalam hal komposisi, jenis, dan struktur komunitas. Sedangkan restorasi didefinisikan sebagai proses membantu pemulihan lahan gambut yang telah rusak atau rusak untuk sedekat mungkin dengan kondisi alam aslinya (Clark dan Rieley, 2010)
Indonesia menjadi sorotan negara lain akibat besarnya emisi gas rumah kaca yang tercipta dari kebakaran lahan gambut. Hal ini disampaikan dalam Konvensi Kerangka Kerja United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang perubahan iklim pada tahun 2015 (Nurtjahjawilasa dkk., 2015). Pemerintah Indonesia kemudian berkomitmen untuk memperbaiki lahan gambut melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan target restorasi seluas hampir 2,5 juta ha. Indonesia juga berambisi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga mencapai 0,672 giga ton. Kebijakan ini didukung oleh beberapa pemerintah daerah, korporasi, dan LSM dalam rangka menyelamatkan lahan gambut. Berbagai lembaga internasional turut menunjukkan respons positif melalui kerja sama riset, pendidikan, dan pendanaan restorasi gambut (BRG, 2017) .
Terganggunya tata air yang disebabkan oleh kelapa sawit telah merebak sebagai isu lingkungan. Penanaman kelapa sawit dinilai sebagai penyebab berkurangnya ketersediaan air tanah dan dapat menurunkan permukaan air tanah. Hal ini dikarenakan tumbuhan sawit tidak dapat menyerap air hujan dan tidak dapat menyimpan cadangan air bawah tanah ketika terjadi musim kemarau (kompasiana online, 2011). Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit berdampak berkurangnya ketersediaan air. Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan tanaman yang paling banyak membutuhkan air dalam proses pertumbuhannya, yaitu sekitar 4,10-4,65 mm per hari. Sedangkan, tanaman hutan membutuhkan air sekitar 5,02-6,32 mm per hari dan tanaman semusim membutuhkan air sekitar 1,83-4,13 mm per hari untuk pertumbuhan dan produktivitasnya (Widodo, 2011). Kelapa sawit memerlukan air berkisar 1.500-1.700 mm setara curah hujan per tahun untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksinya. Tumbuhan ini memang termasuk tanaman yang memerlukan ketersediaan air relatif banyak. Kebutuhan air kelapa sawit hampir sama dengan kebutuhan air untuk tebu yaitu 1.000–1.500 mm per tahun, tetapi tidak setinggi kebutuhan air untuk tanaman pangan berkisar 1.200 – 2.850 mm per tahun atau per 3 musim tanam, seperti padi, jagung, dan kedelai (Harahap dan Darmosarkoro, 1999).
Dari sisi masyarakat, upaya konservasi lingkungan sering dihadapkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang tidak berdaya, yang terpaksa, atau justru sadar atas kontribusinya bagi kerusakan alam akibat kelapa sawit. Masyarakat yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit dapat terlibat secara langsung dalam upaya penyelamatan yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti program desa peduli lingkungan. Kegiatan rehabilitasi lahan memerlukan waktu, tenaga, serta biaya yang tidak sedikit. Dengan menyadari hal ini, masyarakat dan pemerintah diharapkan akan lebih bijaksana dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Penulis: Setyaningsih
Editor: Jihadir Rahman
Daftar Pustaka
Arjuna, Jaya. KELAPA SAWIT, MANFAAT DAN PERMASALAHANNYA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP DI SUMATERA.pdf
Badan Restorasi Gambut, Mengawali Restorasi Gambut Indonesia, Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: Badan Restorasi Gambut, 2017).
Badrun, M (2013), Saatnya Menerapkan Pertanian Berbasis Kelapa Sawit: Dari limbah ke Limbah Menuju Ekonomi Biru, Gapki, Jakarta
Donald Clark dan Jack Rieley, Strategy for Responsible Peatland Management, (Jyvaskyla, Finland: International Peat Society, 2010).
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Pengelolaan Lahan Gambut: Permasalahan, Tantangan dan Harapan, Berita Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, 2016, diakses dari: http://fkt.ugm.ac.id/id/kuliah-umum- pengelolaan-lahan- gambut-permasalahan-tantangan-dan- harapan/, pada tanggal 14 Maret 2018
Greenpeace Kecam Indonesia Karena Gagal Hentikan Deforestasi oleh Industri Kelapa Sawit diakses dari https://www.matamatapolitik.com/greenpeace-kecam- indonesia-karena- gagal-hentikan-deforestasi- oleh-industri- kelapa-sawit/ di akses pada tanggal 16 Maret 2018.
Harahap I. Dan Darmosarkoro. 1999.Pendugaan Kebutuhan Air Pertumbuhan Kelapa Sawit di Lapang dan Aplikasinya D alam pengembangan Sistem Irigasi , Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 4 (3) : 121 – 134
IGM. Subiksa, dkk, (Bogor: Membalik Kecenderungan Degradasi Lahan dan Air, 2010)
Ishak. Andi dkk., EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN PERLUNYA PERBAIKAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG.pdf, 2016
Kebijkan Sawit Kurang Tepat diakses dari www.kemenperin.go.id/artikel/11254/Kebijakan-Sawit-Kurang- Tepat/, Pada Tanggal 10 Maret 2018
Natural Resources Development Center, Modul: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim, (Jakarta: Program Terestrial the Nature Conservancy Indonesia, 2013).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Pengelolaan dan Ekosistem Gambut
Ruslan, Ismail. Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Akibat Perkebunan Kelapa Sawit. pdf
Sawit Bukan Hanya Minyak Goreng ; Meningkatkan Diversifikasi Ekspor Indonesia diakses Forbil institute.org pada tanggal 15 Maret 2018
Ternyata Sawit Penyebab Banjir dan Kekeringan di akses dari https://www.kompasiana.com/derichardhputra/ternyata-sawit-penyebab-banjir-dan-kekeringan_5500e956a333111e735126a6.
Undang – Undang Republik Indonessia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pembrantasan Perusakan Hutan.
Widodo (2011).Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit.Karya Ilmiah. Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Widodo (2011). Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit. Karya Ilmiah. Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.