Suara lalu lalang kendaraan siang itu (28-02) terus melintasi Museum Tino Sidin yang berlokasi di Jalan Tino Sidin 297, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Saat itu, tengah berlangsung Pameran Sketsa Batara Lubis yang digelar mulai tanggal 16 Februari-2 Maret 2018. Museum yang didesain menyerupai galeri ini memiliki tiga lantai dengan banyak jendela yang membuat sirkulasi udara terus berganti. Interiornya yang didominasi oleh kayu memberikan kenyamanan bagi siapapun yang singgah. Sebanyak enam puluh sketsa karya sang maestro terpajang di dinding-dinding ruangan lantai dua museum. Beragam sketsa yang disusun berjejer berhasil menarik para pengunjung untuk berswafoto.
Menurut Gina Lubis, putri Batara Lubis, nama Batara Lubis bagi penikmat seni generasi milenial memang masih terdengar asing. Padahal, puluhan sketsa dan lukisannya telah dikenal baik di tingkat nasional maupun mancanegara. Lahir di Sumatera Utara, Batara Lubis kemudian merantau ke Yogyakarta untuk belajar seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). “Selain di ASRI, ia juga berguru pada beberapa seniman hebat seperti Trubus dan Hendra Gunawan,” kata Dwi Marianto, selaku kurator pameran.
Pada awal masa belajarnya, gaya lukis spontan yang dimiliki Batara bertentangan dengan gaya lukis Trubus yang lebih realis. Batara kemudian dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai oleh Trubus karena gaya lukisannya yang tidak mirip dengan objek nyata. Menurut Dwi, hal tersebut tidak mengurungkan niat Batara untuk terus belajar. Batara kemudian bergabung di Sanggar Pelukis Rakyat (SPR), sanggar yang didirikan oleh Hendra Gunawan dan beberapa seniman lain. “Di sana, Batara dituntut untuk melukis di tempat-tempat terbuka, jadi harus banyak melakukan eksplorasi untuk mengenali situasi,” ungkap Dwi. Perlahan, Batara terus berkembang dan lebih banyak menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta, seperti di Pasar Ngasem, Beringharjo, hingga Pantai Parangtritis.
Menurut Dwi, sketsa Batara Lubis memiliki ciri khas garis spontan serta ketebalan yang berbeda di setiap garisnya. Dwi mengatakan bahwa sketsa adalah salah satu jenis seni rupa yang menggambarkan kejujuran. Melalui sketsa, dapat diketahui sifat dan perangai dari perupanya. Dwi menceritakan bahwa Batara Lubis adalah sosok pribadi yang merakyat. Hal ini terlihat pada sketsa-sketsanya tentang pasar, pedagang dengan bakul atau gerobak, dan berbagai kehidupan masyarakat Yogyakarta lainnya.
Selain itu, Dwi menjelaskan bahwa membuat sketsa akan terasa sulit apabila seorang pelukis tidak menyukai objeknya. Menurutnya, jika seorang pelukis mampu melebur dengan objek, maka dapat dikatakan pelukis tersebut memiliki rasa cinta terhadap objeknya. Melalui goresan-goresan pensil di sketsanya, Batara secara implisit mengungkapkan kecintaannya terhadap Yogyakarta. “Batara Lubis dapat dibilang sudah menyatu dengan Yogyakara melalui sketsanya,” ucap Dwi.
Sebut saja salah satu sketsa Batara Lubis bertajuk “Penari Bali” yang dibuat pada tahun 1955. Sketsa ini memiliki subjek tunggal, yakni, penari Bali dengan latar dedaunan. Menurut Dwi, terpancar keseimbangan dan kejujuran dari warna dan karakter pada sketsa tersebut. Pola gores hitam-putih dedaunan dibuat seirama dengan pola hias baju sang penari. Dwi menceritakan bahwa gerak dan posisi tangan si penari dibuat asimetris agar tampak dinamis dan mengesankan suatu pergerakan. Mata penari digambarkan melirik ke kanan, sehingga terkesan lebih hidup. Hal yang menonjol dari sketsa ini adalah tarikan garisnya yang kuat. “Ia berhasil menangkap esensi hubungan antara gerak, lengkung, dan ekspresi penari dalam satu keseluruhan,” jelas Dwi.
Berbeda dengan sketsa “Gedung Agung Yogyakarta”, sketsa yang dibuat pada tahun 1967. Sketsa ini menggambarkan lanskap halaman gedung yang luas sebagai objek utama. Di depan gedung, terdapat sebatang pohon bercabang dua yang berlatar pepohonan. Selain itu, tampak sebuah patung berada di antara dua cabang pohon. “Adanya patung dan dua cabang pohon tersebut membuat gedung terlihat lebih bersahaja,” kata Dwi. Dwi menambahkan, keagungan dan kedamaian dalam sketsa tersebut seolah direpresentasikan oleh pohon dan bentuk gedung.
Menurut Djoko Pekik, seniman lukis Indonesia, Gedung Agung Yogyakarta menjadi saksi bisu penangkapan Batara Lubis oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Akibat tuduhan komunis, Batara harus mendekam selama tujuh tahun dalam penjara. Batara sempat dianggap sebagai salah satu seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi kebudayaan poros kiri. Berbeda dengan Djoko Pekik, menurut Dwi, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa Batara Lubis tergabung dalam LEKRA. Dwi mengungkapkan, tidak ada sketsa yang mengandung tendensi politik tertentu. “Semua sketsanya lebih condong kepada aktivitas sosial budaya daripada pergerakan massa yang mewarnai gejolak sosial politik tahun 1965,” jelas Dwi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Gina, menurutnya, sketsa Batara Lubis lebih banyak menggambarkan situasi kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta dan tradisi di Sumatera Utara. Gina berharap pameran ini dapat memotivasi para seniman dan generasi muda untuk terus berkarya. Selain itu, pameran ini juga bertujuan agar masyarakat luas dapat menikmati karya-karya Batara Lubis yang selama ini hanya menjadi koleksi keluarga. “Semoga bisa menginspirasi dan merangsang tumbuh kembang kreativitas seniman-seniman muda Indonesia,” ungkap Gina.
Salah seorang pengunjung dari Sangking Art Space, Jenni Vi Mee Yei, memberikan apresiasinya atas pameran ini. Menurut Jenni, dibutuhkan publikasi karya kepada masyarakat luas seperti melalui pameran agar karya tidak usang. “Sekarang sudah ada media sosial dan internet, jadi juga bisa dimanfaatkan untuk publikasi,” tuturnya.
Penulis: Anisa Nur Aini, Rahma Ayu Nabila
Editor: Hasya Nindita